Mar 112017
 

Menjaring Wisatawan TimtengTarget kunjungan wisata mancanegara dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun 2016 lalu memang tidak menjadi prioritas. Dari 12 juta wisman yang diproyeksikan dari 12 negara, jika dilihat dari jumlah kunjungan yang diproyeksikan, pemerintah Indonesia memprioritaskan pada lima negara dengan jumlah di atas 1,1juta, dan tiga peringkat utama negara target yakni; Singapura (1,8 juta), Malaysia (2 juta), dan Great China sebayak 2,1 juta yang terdiri dari Tiongkok 1,7 juta, Taiwan 275 ribu, dan Hongkong 125 ribu. Tidak tanggung-tanggung, untuk membangun branding Indonesia, pemerintah menunjuk Philip Kotler (Bapak Marketing Dunia) menjadi Brand Ambassador WONDERFUL INDONESIA pada kesempatan ASEAN Marketing Summit, 9 Oktober 2015 yang lalu di Jakarta.

Adapun Timur Tengah hanya ditargetkan sebesar 300 ribu wisman persis sama dengan Amerika Serikat. Barangkali, inilah salah satu penyebab, mengapa wisman Timur Tengah tidak “menghabiskan” uang belanja wisata mereka di Indonesia, padahal dari seluruh wisatawan global, wisatawan Arab Saudi mencatat pengeluaran tertinggi saat bepergian ke luar negeri dengan catatan 6.666 dolar AS per orang setiap berlibur. Berbeda dengan pengeluaran rata-rata keluarga asal Inggris (Eropa) yang mengeluarkan biaya 5.800 dolar saat liburan tahunan. Dengan kata lain, pemerintah memang belum memprioritaskan atau memang tidak menggarap secara serius wisman Timur Tengah yang potensinya sangat menjanjikan secara ekonomi.

Saat ini, warga Bali, terutama masyarakat pariwisatanya tentu bersukacita menyambut kedatangan Raja Arab Saudi Sulaiman bin Abdulazis Al-Saud pada tanggal 4-9 Maret 2017. Enam hari kunjungan Sang Raja tersebut, bahkan menurut kabar diperpanjang beberapa hari lagi, akan menjadi momentum yang luar biasa bagi peningkatan potensi pariwisata Bali di mata dunia, terutama masyarakat Timur Tengah yang selama ini masih belum menjadikan Bali sebagai destinasi utama wisata mereka.

Tak dapat dipungkiri bahwa aura pariwisata Bali akan semakin menguat pasca kehadiran raja Salman karena seluruh chanel media-media internasional menayangkan berita dan bahkan menyediakan waktu khusus untuk membahas seluruh kegiatan rombongan raja selama berada di Indonesia. Indonesia memperoleh keuntungan promosi gratis wisata Bali untuk dunia. Setidaknya dapat mendongkrak posisi peringkat lokasi yang dianggap tempat terbaik untuk liburan dibandingkan destinasi wisata dunia lainnya, dimana menurut penelitian US News & World Report, Bali tidak masuk 10 besar, hanya mampu bertengger di posisi ke 22 berada di bawah British Virgin Islands pada peringkat 21 dan San Francisco, California di peringkat 23, sedangkan posisi teratas diraih Great Barrier Reef, Australia. Pemeringkatan ini didasarkan pada penelitian terhadap 250 tujuan destinasi wisata dunia dengan menggunakan metodologi yang menggabungkan analisis dan pendapat para ahli.

Bali bisa saja menjadi entry point bagi target Wonderful Indonesia 2017 yang ditingkatkan menjadi 15 juta wisman. Jejak Raja Salman di sepanjang pantai Bali akan menjadi salah satu monument of mind bagi pelancong dari negara-negara lain. Bahkan Bali telah pula berkomitmen mengusung wisata halal sebagai konsep pariwisatanya untuk menunjukkan sambutan hangat bagi potensi ekonomi wisman asal Timur Tengah yang selama ini hanya hinggap di Eropa.

Begitu penting kah Timur Tengah? Tentu saja peting. Hal ini bukan sesuatu yang berlebihan mengingat besarnya porsi belanja wisata dunia yang dikeluarkan oleh Timur Tengah dalam kurun waktu terakhir ini serta relevansinya dengan pertumbuhan populasi di kawasan teluk. Economist Intelligence Unit bahkan memperkirakan populasi penduduk di kawasan Teluk akan meningkat menjadi 53,5 juta jiwa pada 2020, dan 24 persen diantaranya masih berusia di bawah 15 tahun. Data tersebut menunjukkan besarnya potensi wisata keluarga di kawasan Teluk pada masa mendatang dan akan menjadi pertimbangan bagi negara-negara tujuan wisata untuk menarik perhatian wisman Timur Tengah ini.

Cahaya Aceh Redup

Sebagai daerah yang memilki potensi wisata yang luar biasa, Aceh belum mampu mendongkrak secara konsisten capaian jumlah kunjungan wisman guna membantu mendatangkan “uang tambahan” untuk memutar gerigi ekonomi Aceh. Bahkan menurut keterangan Ketua BPS Aceh Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui pintu kedatangan di Aceh pada Januari 2017 berjumlah 2.528 orang atau menurun 30,57 persen dibandingkan Desember 2016 yang berjumlah 3.641 orang. Jumlah wisman pada Januari 2017 juga menurun 56,32 persen dibandingkan Januari 2016 yang berjumlah 5.787 orang (Serambi, 2 maret 2017). Warga negara yang paling bayak mengunjungi dan yang menjadi andalan wisman di Aceh adalah Malaysia, sebagaimana kita ketahui, malaysia sendiri saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi sehingga secara otomatis berdampak pada menurunnya kunjungan warga negeri jiran tersebut ke Aceh.

Berkaitan dengan kedatangan Raja Salman ke Indonesia, kita tidak melihat dan mendengar adanya upaya-upaya serius pemerintah Aceh untuk merayu bahkan hanya untuk menyapa pemerintah pusat agar melakukan komunikasi yang lebih intens untuk me-reschedule kunjungan rombongan Raja Salman tersebut agar dimasukkan Aceh dalam daftar kunjungan mereka, sama sekali hampa dari hiruk-pikuk ini. Padahal Aceh sedang gencar-gencarnya menjual paket “The Light of Aceh”, Cahaya Aceh, sebagai upaya promosi Aceh sebagai daerah wisata. Jika Timur Tengah tidak menjadi sasaran target wisman The Light of Aceh, maka sangat disayangkan, bahwa konsep pariwisata kita masih berputar-putar pada ruang lingkup lokal, dan belum begitu mampu melihat peluang dan peta potensi ekonomi global yang selama ini semakin menjanjikan.

Indikator lain yang dapat diidentifikasi sebagai kurangnya upaya maksimal meningkatkan aksi mencari perhatian terhadap pariwisata adalah ketersediaan infrastruktur yang begitu minim seperti komponen-komponen publik yang mencakup bangunan tempat menginap yang tidak standar dan kapasitas yang kecil sehingga tidak mampu menampung orang dalam jumlah banyak baik yang diadakan oleh pemerintah maupun pihak swasta (investor). Hal ini menjadi ironi dimana di satu sisi promosi pariwisata digalakkan tetapi di sisi lain Aceh belum mampu menyediakan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang memadai untuk mendukung impelementasi pariwisata global.

Kita berharap pemerintahan Aceh ke depan harus berfikir keras agar ekonomi masyarakat dapat segera diperbaiki, salah satunya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan pariwisata bervisi global. Proyeksi pariwisata Aceh di tahun 2016 yang mematok pada jumlah 100 ribu wisman dapat diperbarui jika seluruh komponen masyarakat Aceh bahu membahu dan memiliki keinginan yang kuat membentuk branding the light of Aceh sebagai konsep pariwisata yang khusus dan khas dengan nilai-nilai ke-Aceh-an; Syariat Islam.

Pemerintah bersama dinas pariwisata atau institusi lainnya yang terkait harus dapat memotret peta ekonomi global guna melihat dan mengidentifikasi potensi-potensi belanja dunia untuk kepariwisataan serta seberapa besar porsi belanja kepariwisataan dunia dapat disedot ke Aceh. Jika kita masih gamang menghadapi dunia global karena kekhawtiran benturan kultural, maka bisa memproyeksikan target parisiwata untuk negara-negara yang nilai budaya dan norma-norma masyarakatnya masih beririsan dengan nilai dan norma serta budaya ke-Aceh-an. salah satu yang dapat dipertimbangkan barangkali adalah Timur Tengah. Tapi melihat kenyataan momen penting seperti kehadiran raja Salman ke Indonesia dan kurang responnya Aceh, dapat ditengarai sebagai redupnya Cahaya Aceh di Negeri Wahabi tersebut.

Namun demikian, Cahaya Aceh bukan menjadi alasan bahwa aktifitas-aktifitas perekonomian yang didorong dari besarnya APBA terulang lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. dengan APBA yang mencapai 12,7 triliun ternyata tidak bernyali memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat yang masih menorehkan angka pengangguran mencapai 844 Ribu dengan peringkat pertumbuhan ekonomi terburuk kedua di regional Sumatera. Hal yang sangat memalukan jika dibandingkan dengan provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang sama seperti Sumatera Barat yang hanya memiliki APBD 4,5 triliun tetapi ekonominya tumbuh mencapai 5,8% dengan jumlah pengangguran 149,69 ribu jiwa pada tahun 2016.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di kolom Opini Harian Serambi Indonesia, Sabtu, 11 Maret 2017

Baca juga :

Sep 262016
 

wisata-halal-dan-islamofobiaData yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2015 mencatat bahwa penduduk mancanegara yang berkunjung ke Indonesia (wisatawan mancanegara dalam arti luas) mencapai 10,41 juta kunjungan, dengan rincian 9,73 juta kunjungan wisatawan mancanegara reguler, 370.869 kunjungan warga negara asing (WNA) yang memasuki wilayah Indonesia melalui Pos Lintas Batas (PLB), serta 306.540 merupakan kunjungan singkat WNA atau kunjungan khusus lainnya.

Data kunjungan ini masih sulit diidentifikasi karena pencatatannya dilakukan secara umum, sehingga tidak dapat diketahui jenis kunjungan untuk kepentingan apa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Pengamat Pariwisata Ida Bagus Surakusuma, yang menyatakan bahwa pencatatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia masih dicampur penduduk mancanegara di pos lintas batas.

Walau demikian, setidaknya kita masih dapat mengetahui besaran devisa yang masuk atas kunjungan wisman tersebut. Di tahun 2015 jumlah kunjungan wisman sebanyak 10 juta; jumlah perjalanan wisnus 255 juta; kontribusi pariwisata terhadap PDB Nasional sebesar 4%; devisa yang dihasilkan sekitar Rp 155 triliun, dan lapangan kerja yang diciptakan sebanyak 11,3 juta ; angka indek daya saing naik signifikan 20 poin menjadi ranking 50 dari 141 negara. Dan ditahun 2016 ditargetkan mencapai 12juta kunjungan dengan proyeksi devisa 172 trilyun, kontribusi pariwisata naik menjadi 5%, hanya 1% dari tahun sebelumnya. Ini tentu angka yang sangat pesimistis jika dilihat dari potensi wisata luar biasa yang dimiliki Indonesia. Salah satu kelemahan yang terlhat dari rasa pesimis ini disebabkan karena tidak adanya data statistik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bentuk, jenis dan ragam wisata yang berlangsung di Indonesia, sehingga dalam kampanye pariwisata tidak menyentuh pada sasaran yang benar-benar memiliki potensi belanja wisata yang optimal sesuai segmentasi pasar yang ada. Jenis pariwisata saat ini semakin beragam dan memiliki pasar yang semakin tersegmentasi. Salah satu pasar wisata global yang memiliki potensi belanja yang besar adalah wisata halal.

Dalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan berpenduduk muslim, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat non-muslim.

Selain fenomena pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia, dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan Perda yang ditengarai berbau syariah di beberapa daerah selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Faktanya memang segmentasi pasar syariah tumbuh sangat pesat sehingga permintaan terhadap produk-produk halal otomatis semakin meningkat. Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda berbau syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang lahir dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3.000 trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia. Belum lagi untuk belanja muslim di luar dua kawasan tersebut sebagaimana data pertumbuhan ummat Islam dunia di atas.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Indonesia, sebaliknya, Indonesia juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah adalah; (1) membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. (2) Memperkenalkan potensi wisata Indonesia sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Indonesia dengan seluruh cakupan wilayahnya sangat indah yang juga dihuni oleh warga yang ramah. (3) Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke tempat-tempat destinasi wisata di seluruh Indonesia dengan perasaan aman dan nyaman. (4) tidak terjebak pada perangkap isu-isu islamofobia yang kecenderungannya dalam perspektif bisnis ingin mengalihkan potensi pasar syariah ke negara-negara lain yang.

Sangat disayangkan, jika Indonesia tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat dalam perspektif bisnis syariah. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global. Issu-issu islmaofobia yang dihembuskan, mestinya kita tengarai sebagai upaya untuk meruntuhkan percaya diri masyarakat bisnis Indonesia yang ingin bergelut dalam bisnis halal, karena kenyataan yang kita lihat saat ini, produk-produk halal (syariah) diproduksi oleh negara-negara lain yang penduduknya bukan mayoritas muslim. Jadi, tidak perlu “inferior” dengan label halal atau syariah, karena inferioritas yang tertanam dalam diri masyarakat Indonesia justeru dimanfaatkan oleh negara lain untuk memperkuat superior mereka dalam konteks bisnis halal/syariah.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan. Epaper Waspada dapat diakses melalui link Waspada

Baca juga

Jul 262016
 

wisataHalalDalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan Islam, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Menurut the Almanac Books of facts, pertumbuhan ummat Islam mencapai 235%, atau lima kali lipat laju pertumbuhan Kristen yang hanya 46%, dengan prediksi bahwa di tahun 2030 kelak 1 dari 3 penduduk dunia adalah muslim. Konsekuensi dari kondisi ini adalah permintaan terhadap produk-produk halal secara global dipastikan juga meningkat.

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakt non-muslim.

Dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Aceh dan Syariat Islam

Sebagai salah satu provinsi yang memiliki keistimewaan, Aceh telah mendeklarasikan diri sebagai wilayah syariat Islam. Wisata Halal bukanlah menjadi hambatan sama sekali, bahkan bisa menjadi modal utama dalam merespon kondisi global yang semakin menuntut tersedianya produk halal.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan syariah Islam di Aceh selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Namun demikian, konteks syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh bukan lah sekedar mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah semata, tetapi juga harus fokus pada pengaturan muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan; seperti jual-beli, sewa, dsb (Munawwir, 1997). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (hablunminannas), hubungan manusia dengan alam, ekonomi, termasuk sistem dan mekanisme perdagangan dan bisnis sudah harus menjadi pembahasan serius.

Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang diturunkan dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3ribu trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Aceh, sebaliknya, Aceh juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi dengan status Aceh sebagai daerah Syariat Islam, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. Memperkenalkan Aceh sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Aceh sangat indah. Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke Aceh.

Sangat disayangkan, label syariah yang kita miliki tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global.

Baca juga: