Sep 172015
 

saham rakyat acehPada bulan januari 2011 lalu, saya didatangi oleh seorang kerabat saya sesama pengabdi di lingkungan kampus. Beliau terlihat serius sekali memperlihatkan sehelai kertas kuitansi jadul asli yang tulisannya masih sangat jelas dibaca, sebagian diketik dan sebagiannya bertulis tangan, lengkap dengan stempel basah yang sudah tampak kabur dimakan usia.

Beliau menceritakan bahwa kertas tersebut secara turun-temurun diwariskan oleh nenek nenek nenek mereka hingga sampai ke tangan beliau. Dengan agak malu-malu beliau menanyakan kepada saya apa betul Garuda Indonesia mau dijual? Saya pun tercenung sejenak… Apa urusan beliau ini dengan penjualan saham Garuda?

Setelah kami berdiskusi sejenak, saya berkesimpulan bahwa beliau mengikuti berita tentang Penawaran Umum Perdana (IPO/ Initial Public Offering) saham PT. Garuda Indonesia yang dilakukan oleh PT. Bahana Securities, PT. Danareksa Sekuritas, dan PT. Mandiri Sekuritas selaku Penjamin Pelaksana Emisi Efek.

Beberapa saat setelah mendengar cerita beliau barulah saya faham apa kaitannya dengan kertas lusuh yang dia bawa itu. Ya, kertas itu ternyata kuitansi tanda terima uang dengan judul kop nya, “Tanda Penerimaan Pendaftaran”, yaitu pendaftaran hutang, tercantum tulisan “Matjam Hutang: Pindjaman nasional”

Masih ingatkah kita, nuun… Pada tanggal 16 Juni 1948, entah apa yang dikatakan Soekarno di hadapan para saudagar dan rakyat Aceh sehingga rakyat Aceh waktu itu seperti dihipnotis secara serentak memiliki rasa yang sama untuk berkorban demi kelangsungan nafas negeri ini.

Soekarno menangis di depan Daud Beureueh dengan mengancam beliau (Soekarno) tidak akan mau makan jika rakyat Aceh tidak memberikan dana untuk pengadaan pesawat. Rengekan Soekarno ini membuat luluh hati rakyat Aceh ketika itu, dan akhirnya mengamini permohonan Soekarno. Maka beramai-ramailah saudagar dan rakyat Aceh menyumbangkan harta mereka sehingga terkumpul dana untuk pembelian pesawqat yang diberi nama Seulawah RI 001 yang kemudian diperasikan secara komersil di Burma di bawah bendera perusahaan “Indonesia Airways”, dan menjadi cikal bakal Garuda Indonesia Airways.

Proses pengumpulan dana tersebut memakan waktu yang panjang, karena penghimpunan dana dilakukan tidak hanya di Banda Aceh, tetapi sampai ke seluruh daerah di Aceh berbondong-bondong menyerahkan uang dan emas mereka. Termasuklah salah satu nenek buyut dari kerabat saya ini ikut menyumbangkan uangnya sejumlah Rp. 100.- (Seratoes Rupijah) Demi tegaknya kedaulatan Indonesia. Itu terjadi pada tanggal 29 Agustus 1950, dimana, Seratoes Rupijah itu sama dengan harga seekor kerbau pada saat itu.

Mendengar Garuda melakukan penawaran saham perdananya, dalam pengertian lain bagi sebagian masyarakat, “dijual”, maka kerabat saya ini meminta untuk dicarikan jalan agar negara tahu bahwa itu perusahaan pesawat “milik” Aceh, dan selama ini tidak ada kompensasi apapun yang mereka terima dari laba yang telah diperoleh oleh Garuda, bahkan mungkin tidak ada pejabat yang mewakili Aceh sebagai “pemegang saham” yang dilibatkan dalam mengambil keputusan penawaran IPO tersebut.

Mungkin sangat berlebihan bagi sebagian orang, tetapi kenyataannya dalam kuitansi tersebut jelas tertera siapa penyumbang dan bagaimana sifat sumbangannya. Salah satu copi kuitansi yang saya dapat dari salah satu keluarga dari penyumbang di Aceh Barat itu, tertulis dalam kuitansi bahwa dana tersebut merupakan “Pinjaman Negara”, dalam dunia investasi, ini sama dengan surat hutang negara, atau sering kita dengar dengan istilah obligasi, dimana negara akan menerbitkan sertifikat obligasi sebagai upaya pemerintah menghimpun dana dari masyarakat dengan memberikan kupon sebagai imbalan “bagi hasilnya”.

Tapi, sudahlah, ini soal sumbang-menyumbang, dari dulu masyarakat Aceh pun tidak menuntut hal-hal yang bersifat material dari garuda, masyarakat Aceh hanya butuh pengakuan, pengakuan sejarah yang tidak boleh dilenyapkan, dan kekhawatiran ini semakin hari-semakin mendekati kebenaran. Dalam beberapa artikel dan catatan tentang sejarah Garuda, terjadi pengaburan sejarah asal-muasal garuda, bahkan menurut salah satu teman sosmed saya brother Dua Bintang, beliau membaca Brief of History Garuda Indonesia, disana tidak disebutkan lagi asal-muasal pesawat Garuda itu… Ini sangat menyedihkan…

Kuitansi yang lusuh dan asli itu pun sekarang tetap beliau simpan, dan akan diwariskan lagi kepada anak cucu mereka sampai tujuh turunan, untuk menuturkan cerita tentang perjuangan indatu mereka yang gagah perkasa menopang tubuh negeri ini yang dulu hampir terkapar… Mereka tidak dianggap pahlawan, karena tak bisa ciptakan syair perjuangan, tak pandai cari media yang bisa memoles citra mereka, dan tidak mengharapkan belas kasih dari selembar kertas lusuh itu, mereka hanya ingin orang tahu, bahwa negeri ini harus tetap berdiri dan tetap tahu diri…”