Jul 282019
 

Kata Halal dalam makna tunggal disebutkan satu kali dalam Alqur’an, sedangkan kata Thayyiban dalam makna tunggal disebutkan dua kali dalam Alqur’an. Dari aspek jumlah penyebutan seakan-akan thayyiban lebih ditekankan dibandingkan halal, tetapi dalam beberapa literasi halal juga menjadi persyaratan sesuatu dikatakan baik (layak konsumsi), karena sesuatu dikatakan thayyib jika sifatnya sempurna dari segi proses memperolehnya dan baik zatnya. Dengan demikian halal dan thayyib merupakan kata yang saling melengkapi kesempurnaan suatu entitas.
Al-Raghib Al-Aṣfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an mendefinisikan halal dengan ‘hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.’ Atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan thayyiban berarti sesuatu yang lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama. Para ahli tafsir dalam menjelaskan kata thayyib dalam konteks makanan adalah makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluwarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya (As’ad Umar, 2014).

Islam mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan sebagaimana termaktub dalam surat Al-A’raf : 31, “Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan.” Ayat ini oleh Ibnu Katsir ditafsirkannya dalam konteks kesehatan dengan kalimat “Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.”

Frasa halalan thayyiban selama ini selalu dikaitkan dengan makanan dan kesehatan, padahal sebenarnya halalan thayyiban memiliki dua implikasi sekaligus bagi kemaslahatan manusia; (1) maslahat kesehatan, dimana proses memperoleh sesuatu secara benar terhadap sesuatu yang thayyib menyebabkan seseorang semakin sehat, atau sebaliknya menjadi mudharat bagi kesehatan jika prosesnya tidak benar dan zat entitasnya tidak baik dikarenakan munculnya feeling guilty pada saat mengkonsumsi sehingga secara psikologis akan mempengaruhi fikiran dan berdampak pada kesehatan. dan (2) maslahat ekonomi, yakni maslahat yang diusung oleh konsep halalan thayyiban melalui pesan pembatasan mengkonsumsi sesuatu agar tidak berlebihan.

Aspek Ekonomi
Halalan thayyiban secara lebih luas bukan hanya bermakna memakan makanan, tetapi sebagaimana tafsir Al-Maraghi dan Jalalayn, halalan thayyiban juga dimaknai dengan ‘menikmati’ semua yang ada di muka bumi. Artinya apa saja yang ingin kita raih dan nikmati di muka bumi ini baik dalam bentuk barang, tempat atau pekerjaan, harus diperoleh dengan proses yang wajar, sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak mengurangi hak orang lain yang bukan menjadi haknya. Jika dikaitkan dengan pesan Al-Qur’an yang melarang manusia mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan karena akan menimbulkan kemurkaan Allah, maka tersirat makna adanya perintah untuk menjaga keseimbangan.
Nilai yang dikandung dalam konteks keseimbangan merujuk pada kondisi dimana jika salah satu pihak memiliki kelebihan maka berarti ada pihak lain yang kondisinya dalam kekurangan sehingga akan menimbulkan kesenjangan yang bisa berdampak pada munculnya penyakit sosial berupa keresahan dan kekacauan. Kondisi ini tidak diinginkan oleh seluruh negara-negara di dunia, oleh karenanya untuk menjaga keseimbangan diatur dalam berbagai perangkat aturan perundang-undangan untuk menjamin agar warga suatu negara dapat mencapai kesejahteraan.

Dalam Islam, keseimbangan diatur sangat ketat, bahkan menjadi salah satu rukun Islam, yaitu menunaikan Zakat, yang menjadi rukun Islam yang ke-4. Zakat bukan hanya sekedar penekanan pada kewajiban mengeluarkan angka 2,5%, tetapi disebutkan bahwa dalam harta setiap orang ada harta/ hak orang lain di dalamnya yang harus dikeluarkan dari harta kita sehingga harta yang tersisa pada kita benar-benar harta milik kita yang tidak bercampur dengan harta orang lain. Jika seseorang yang telah wajib zakat tidak menunaikan zakat maka orang tersebut dapat dikategorikan yang berlebihan, dan harta yang berlebihan (yang tidak dikeluarkan dari harta kita) tersebut jika dikonsumsi menjadi konsumsi yang tidak baik (ghairu thayyiban). Selain zakat yang sudah ditentukan nilainya, Islam juga menganjurkan untuk berinfak/shadaqah yang tidak dibatasi jumlah nilainya. Semua ini menjelaskan konsep keseimbangan dalam kehidupan agar harta tidak bertumpuk pada sekelmpok kecil orang saja, tetapi terdistribusi secara proporsional dan berkeadilan.

Dalam konteks inilah dapat ditarik garis persinggungan antara thayyiban dan implikasi ekonomi dalam konsep halalan thayyiban. Disatu sisi harus menjamin adanya proses yang sesuai dengan aturan dalam memperoleh sesuatu entitas, di sisi lain entitas tersebut haruslah yang baik dan memiliki kemanfaatan bagi yang bersangkutan, serta tidak berlebihan. Implikasi ekonomi merupakan keterkaitan dengan aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.

Proses produksi merupakan aktifitas yang berfungsi untuk mentransformasikan bahan mentah menjadi barang jadi dengan menggunakan material yang bermutu baik sehingga menjadi sebuah produk yang berkualitas dan siap dikonsumsi. Dalam proses produksi, efisiensi menjadi ruh utama yang akan sangat mempengaruhi profitabilitas organisasi bisnis. Ini bermakna bahwa seluruh rangkaian proses produksi memiliki rambu-rambu yang tidak bisa dilanggar agar hasil produksi menjadi berkualitas. Esensi dari efisiensi adalah kemampuan untuk menggunakan input dan sumberdaya yang dimiliki untuk kemudian menghasilkan output yang optimal, dimaknai sebagai sebuah upaya untuk tidak menghasilkan produk dengan bahan baku yang berlebihan. Artinya, terjadi keseimbangan dan proporsionalitas input terhadap output.
Konsumsi merujuk pada kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, minum, melakukan aktifitas apa saja dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran normatif mengkonsumsi sesuatu selalu dianjurkan mengkonsumsi yang baik-baik dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak boleh berlebihan, beraktifitas tidak boleh berlebihan, mencari nafkah juga tidak boleh berlebihan, semuanya dianjurkan mengkonsumsi secara proporsional sesuai dengan kebutuhan. Adapun di luar kebutuhan pada prinsipnya sudah bukan menjadi hak kita lagi, porsi di luar kebutuhan sejatinya terdistribusi kepada orang lain sehingga tidak ada manusia yang mengkonsumsi di luar batas. Kondisi ini mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam kalimat thayyiban sebagai sebuah konsep keseimbangan dalam mengkonsumsi apa saja yang menjadi kebutuhan. Begitu pentingkah aktifitas konsumsi? Ya, Sangat penting sehingga menjadi pembahasan dalam Al-Qur’an, bahkan jika kita melihat porsi serapan anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD, konsumsi pemerintah menjadi salah satu pengeluaran yang porsinya mencapai 30-40%, dan kontribusinya terhadap PDB dan PDRB mencapai 28-30%, bahkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, konsumsi pemerintah dan rumah tangga masyarakat didorong agar tumbuh positif.

Dengan demikian, halalan thayyiban merupakan sebuah konsep multidimensi, tidak semata-mata dikaitkan dengan makanan saja tetapi pemaknaan konsumsi secara lebih luas dalam spektrum aktifitas ekonomi masyarakat. Diskursus dimensi ekonomi halalan thayyiban akan menjadi sebuah gagasan yang dapat memperluas perpektif halalan thayyiban itu sendiri dalam rangka mendorong dan memperkuat sendi-sendi perekonomian melalui aktifitas proses produksi yang benar, distribusi yang merata dan konsumsi yang proporsional, sehingga seluruh rangkaian tersebut menjadi sebuah produk utuh berkualitas yang kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh banyak orang.

Baca Artikel Lain
Resentralisasi Ekonomi di Era Revolusi Industri 4.0