Sep 012019
 

Kita merasakan sepasang ironi yang mencerminkan eforia keistimewaan, (1) “memaksa” diri untuk terus meningkatkan angka-angka dalam akun-akun anggaran, tetapi belum optimal dalam mengelola kinerja keuangan, jika tidak ingin dikatakan tak mampu. (2) Besaran alokasi dana otsus belum mencerminkan kemampuan pengelolaan dana otsus menjadi tuas untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, memberantas pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.

Ironi yang pertama, kita ketahui barsama, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh setiap periode terus ditingkatkan angkanya melalui perhitungan-perhitungan yang tentu saja tidak sederhana dan rumit melalui analisis situasi pasar yang berlaku. Tetapi, sering sekali asumsi-asumsi yang dibangun dalam menetapkan angka pendapatan belum sepenuhnya berdasarkan analisis target yang benar-benar dapat dicapai untuk memperoleh satuan angka yang ditargetkan berdasarkan potensi ekonomi yang kita miliki. Jika ditelusuri lebih detil, angka-angka potensi yang digali sebagai sumber pendapatan belum seluruhnya mencerminkan realitas potensi yang dapat digali berdasarkan teknologi dan sumber daya yang kita miliki, sehingga muncul data yang tidak relevan yang kemudian dikalkulasi menjadi angka pendapatan. Belum lagi asumsi-asumsi yang mempertimbangan aspek politiknya.

Penetapan angka pendapatan “berbasis eforia” ini kemudian menjadi landasan dalam menetapkan anggaran belanja pemerintah, yang sudah tentu digenjot karena paham ekonomi yang kita anut menuntut agar pemerintah menjaga untuk terus meningkatkan belanja sebagai salah satu komponen pertumbuhan ekonomi daerah. Toh, ternyata kita dihebohkan dengan munculnya SiLPA. Ini suatu ironi yang terjadi akibat tidak bersesuaiannya penggalian pendapatan dengan besarnya keinginan untuk membelanjakan uang, atau sebaliknya.

Ironi yang kedua, Aceh memiliki dana otsus yang cukup besar yang dialokasikan setiap tahunnya sejak 2008, yang mestinya benar-benar dimanfaatkan untuk mendongkrak pertumbuhan Pendapatan Asli Aceh, dengan harapan, saat era otsus berakhir, Aceh akan tetap kokoh berdiri tegak di atas kaki sendiri melalui geliat ekonomi yang telah dibangun dari alokasi dana otsus sebagaimana amanat penggunaan Dana Otsus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menyebutkan bahwa Dana Otsus harus digunakan untuk program/kegiatan, yaitu: 1) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; 2) Pemberdayaan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan; 3) Pendidikan; 4) Kesehatan; dan 5) Sosial dan Keistimewaan Aceh.

Kita dapat melihat bahwa peningkatan jumlah dana otsus dan anggaran dari tahun ke tahun tidak searah dengan peningkatan pertumbuhan pendapatan asli Aceh yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi secara signifikan, bahkan Aceh bisa terpuruk dalam klasemen tiga besar kemiskinan di regional Sumatera.

Sejak dikucurkannya Dana Otsus pada tahun 2008 lalu, Aceh telah menggunakan alokasi dana otsus tersebut sebesar Rp 56,67 Triliun hingga tahun 2017. Setiap tahun Dana Alokasi Umum Nasional (DAU-N) terus meningkat sehingga secara otomatis juga terjadi peningkatan terhadap alokasi Dana Otsus Aceh yang sangat mempengaruhi besaran APBA.
Melihat kecenderungan peningkatan Dana Otsus, sejak tahun pertama dikucurkan, yaitu sebesar 3,5 triliun pada tahun 2008, kemudian meningkat 3,7 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi pada tahun 2010 sebesar 3,8 triliun, bahkan pada tahun 2018 sudah mencapai 8 triliun, artinya terjadi peningkatan rata-rata alokasi dana otsus sebesar 3,5% per tahun. Aceh, secara nominal keuangan sebenarnya merupakan sebuah provinsi yang kaya raya dan memiliki kemampuan keuangan yang cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi jika kekayaan tersebut dikelola untuk membangun program-program yang produktif dan tepat sasaran dengan sistem pengendalian manajemen yang terukur.
Tetapi besaran tersebut tidak serta merta meningkat sepanjang tahun hingga 2027, Aceh hanya menikmat dana otsus tersebut 2% dari DAU hingga 2021, dua tahun lagi. Selanjutnya, dari 2022 hingga 2027 hanya sebesar 1% dari DAU.

Nasib Aceh Pasca Otsus
Mengapa Dana Otsus menjadi penting untuk didiskusikan? Jika mengurai sturktur APBA yang secara garis besar memiliki 3 komponen utama, yakni, Pendapatan Aceh, Belanja Aceh, dan Pembiayaan Aceh, maka Alokasi Dana Otonomi Khusus menjadi komponen yang memiliki porsi paling besar kontribusinya dibandingkan komponen-komponen lain yang terdapat dalam akun Pendapatan Aceh. Walaupun komponen Dana Otsus tersebut menjadi subordinasi yang masuk dalam “lungkik” Lain-Lain Pendapatan Aceh pada komponen Pendapatan Aceh yang dituangkan dalam pasal-pasal setiap qanun yang disahkan, tetapi kontribusinya mencapai rata-rata 70% terhadap besaran APBA. Harus menjadi catatan juga, bahwa kemungkinan dana otsus menurun juga dapat terjadi seiring menurunnya penerimaan (omset) pajak secara nasional, sehingga trend penurunan tentu mendapat dua kali pukulan, selain akibat dari penurunan omset pajak secara nasional, juga karena ketentuan alokasi dana otsus 1% dari Dana Alokasi Umum pada 5 tahun terakhir, yaitu dari 2022 hingga 2027.
Melihat situasi tersebut, patut kita merenung. Bagaimana Aceh pasca otsus? Mampukan Aceh tegak berdiri jika dana otsus benar-benar tidak lagi tercantum dalam akun Pendapatan Aceh?

Optimalisasi Pendapatan Asli Aceh
Walau masyarakat secara umum belum dapat melihat bagaimana sebenarnya proses detil alokasi dana otsus untuk Aceh, tetapi setidaknya kabar mulut ke mulut yang sampai ke pojok warung kopi dapat mengkomfirmasi kegalauan pemerintahan Aceh dan para pelaku usaha bahkan masyarakat awam sekalipun, bahwa Aceh tidak lama lagi menjadi daerah kaya. Kegalauan ini tentu beralasan, sebab masyarakat dan pelaku usaha bisa merasakan kondisi riil di lapangan yang masih sulit menggerakkan roda ekonomi keluarga. Ekspektasi masyarakat terhadap dana otsus sudah terlanjur tinggi bahwa dengan dana tersebut sejatinya akan banyak membantu menggerakkan ekonomi masyarakat Aceh. Seiring besaran dana otsus yang tersisa, kita tentu harap-harap cemas, artinya masih memiliki harapan, tetapi sekaligus sangat cemas jika waktu yang sudah berlalu belum menjadi pembelajaran dalam pengelolaan dana otsus.

Sisa dana Otsus harus sesegera mungkin dituangkan dalam konsep pembangunan ekonomi yang berkemajuan, untuk pembiayaan yang produktif dan menjamin terjadinya peningkatan geliat ekonomi masyarakat guna memacu agar terjadi income generating bagi masyarakat Aceh. Sekaligus, euforia dana Otsus harus segera dihentikan, Aceh harus fokus pada penggalian sumber dana yang memang diciptakan dari hasil pengelolaan sumber daya ekonomi yang ada di Aceh melalui tangan-tangan terampil generasi Aceh untuk memastikan bahwa Aceh mampu menciptakan roadmap berkesinambungan sebagai bentuk keseriusan Aceh mencapai sustainability Development Goal’s (SDG’s) yang menjadi indikator global saat ini.

Kita bisa melihat, betapa sebenarnya lemahnya kemampuan keuangan Aceh dalam struktur APBA jika tidak ditopang oleh dana Otsus dan kenyataan lemahnya sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan Aceh dalam memanfaatkan dan melihat peluang membangun ekonomi dari dana-dana yang ada.

Kita tentu tidak berharap bahwa suatu saat nanti, pada saat kucuran dana di luar Pendapatan Asli Aceh memudar bahkan menghilang, akan muncul kembali gejolak sosial yang berdampak pada konflik yang baru saja kita lalui. Persoalan ekonomi menjadi masalah krusial disamping perlunya mengendalikan kebijakan-kebijakan politik yang mendorong stabilitas ekonomi Aceh ke depan.

Jangan sampai euforia dana otsus menjadikan kita lupa untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Aceh melalui stimulasi ekonomi menjelang berakhirnya era otsus. Butuh keseriusan untuk mengintegrasikan perilaku birokrasi, sikap politik dan kesamaan persepsi membangun Aceh dan mengurangi ketergantungan yang akut.

May 082017
 

Geliat Ekonomi PENAS KTNAMemasuki awal bulan Mei 2017 ini suasana kota Banda Aceh terasa berbeda, laju kendaraan di seluruh ruas jalan tiba-tiba melambat bahkan macet di sebagian tempat karena terjadi penambahan jumlah kendaraan yang berlalu-lalang, konon lagi beberapa ruas jalan masih dalam proses pengerjaan untuk pelebaran dan pembenahan. Padatnya lalu lintas jalan tidak terlepas dari even tingkat nasional yang akan diselenggarakan di kota Banda Aceh, yaitu PENAS-KTNA XV yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 6 – 11 Mei 2017 dengan kegiatan dipusatkan di stadion Harapan Bangsa Lhong Raya.

Sepanjang sejarah even nasional yang menghadirkan peserta dalam jumlah puluhan ribu, Aceh baru memperoleh kesempatan dua kali sebagai tuan rumah, yaitu Mukatamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada tahun 1995 yang menghadirkan peserta dan penggembira mencapai 35ribu muktamirin dari seluruh Indonesia plus perwakilan negara-negara ASEAN yang ditempatkan di rumah-rumah penduduk masyarakat di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, bangunan sekolah serta kantor-kantor pemerintah. Jika dibandingkan dengan penduduk kota Banda Aceh pada waktu itu yang berjumlah 209 ribu jiwa, maka jumlah muktamirin yang hadir mencapai lebih kurang 16%. Hal yang sama persis kita alami kembali melalui even PENAS-KTNA XV yang diprediksi akan dihadiri 35ribu peserta dengan durasi waktu yang sama dengan muktamar Muhammadiyah 43, yaitu selama sepekan. Ini artinya jumlah ‘penduduk’ kota Banda Aceh lebih kurang dalam sepekan di awal bulan Mei ini akan bertambah 13% dari total warga kota Banda Aceh yang saat ini berjumlah 267 ribu jiwa.

Dalam perspektif ekonomi, gerakan-gerakan dalam dinamika kependudukan menjadi salah satu faktor yang turut dipertimbangkan sebagai pengungkit pergerakan ekonomi masyarakat yang menjadi tuan rumah even-even besar yang menghadirkan peserta dalam jumlah yang sangat besar. Logikanya sederhana, bahwa setiap orang akan membawa uang baru yang akan dibelanjakan di wilayah dimana even tersebut berlangsung, uang-uang ini tentu akan memiliki efek bilyard yang sangat membantu mendorong kegiatan ekonomi masyarakat di akar rumput, mulai dari pedagang asongan, warung kopi, warung nasi, labi-labi, becak, taxi, usaha rental, penginapan, catering, pedagang souvenir bahkan para pemulung sekalipun akan memperoleh manfaat dari semua sampah-sampah yang dihasilkan para peserta. Bergeraknya semua simpul-simpul kegiatan masayarakat bawah ini merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa even-even besar memiliki dampak yang sangat membantu meningkatkan gairah perekenomian masyarakat.

Produksi Tani

Sebagaimana tercantum dalam klausul Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 448/kpts/OT.050/7/2016 bahwa Pekan Nasional (PENAS) Petani Nelayan merupakan wahana para petani nelayan Indonesia untuk membangkitkan semangat, tanggung jawab dan melakukan konsolidasi organisasi dalam rangka meningkatkan peran serta dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Hal ini seiring dengan tema PENAS-KTNA XV untuk memantapkan kelembagaan tani nelayan sebagai mitra kerja pemerintah dalam rangka kemandirian, ketahanan pangan dan kelautan menuju kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia.

Dari 6 bidang yang menjadi agenda dalam perhelatan PENAS-KTNA XV kali ini, selain membincangkan mengenai penguatan kelembagaan tani dan nelayan yang melibatkan para pelaku usaha tani dan nelayan, juga melibatkan para pangambil kebijakan pada tingkat menteri. Hal ini tentu saja berita gembira karena apa-apa yang menjadi tuntutan kebutuhan dalam memajukan bidang pertanian dan nelayan akan didengar langsung oleh pemerintah yang berwenang mengambil keputusan dan dapat dieksekusi dalam rencana tindak lanjut.

Namun yang paling penting menjadi perhatian kita adalah, jangan sampai gagal fokus kegiatan ini menghabiskan energi untuk ritual dan seremonial belaka. PENAS-KTNA XV Aceh harus mampu mendorong pertumbuhan produksi bidang pertanian dan perikanan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagaimana kita ketahui, bahwa 70% penduduk Aceh tinggal di pedesaan, dan 70% merupakan penduduk yang berprofesi sebagai petani dari total 5juta penduduk Aceh. Demikian juga terdapat lebih kurang 65ribu atau 26% masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai nelayan. Itu sebabnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2012-2017 mencantumkan pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu program prioritas pemerintah Aceh, terutama untuk komoditi padi, jagung, dan kedelai. Namun, melihat potensi pertanian dan kelautan Aceh yang begitu besar, program prioritas bisa saja diperluas berdasarkan potensi lokal daerah dari seluruh kabupaten/kota se-Aceh. Alasan lain dijadikannya produk pertanian sebagai prioritas adalah karena menurut catatan dalam laporan pemerintah Aceh, kontribusinya terhadap PDRB mencapai 25 persen. Perhelatan PENAS tentu saja menjadi sangat relevan dengan prioritas RPJM Aceh.

Data BPS tahun 2016 menunjukkan betapa tingginya kontribusi bidang tani dan nelayan bagi struktur perekonomian Aceh, merujuk pada kategori lapangan usaha Triwulan I-2016 masih tetap didominasi oleh tiga lapangan usaha utama yaitu: Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (29,55 persen); Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-Sepeda Motor (15,76 persen); dan Konstruksi (9,86 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap bidang ini melalui penguatan usaha tani dan nelayan agar lebih produktif dan memenuhi standar kualitas sehingga memiliki daya saing di pasar global.

Kelaziman yang kita lihat selama ini, pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan belanja, selain mengejar tingkat serapan anggaran, belanja pemerintah masih diyakini sebagai salah satu faktor pendorong giat ekonomi daerah. Dalam setiap laporan economic outlook yang dirilis kita hanya bisa melihat angka-angka belanja pemerintah berlomba-lomba dengan belanja rumah tangga. Belanja pemerintah sejak tahun 2015 bahkan sudah mencapai “lampu merah” baik untuk belanja pegawai langsung dan tidak langsung. Ke depan, pemerintah harus mampu menggeser alokasi belanja yang diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan melalui upaya peningkatan belanja pemerintah yang digunakan untuk membiayai kegiatan program pembangunan seperti infrastruktur irigasi, ketersediaan benih dan pupuk, riset dan teknologi, pembiayaan, dan lain-lain. Ketepatan dalam alokasi anggaran belanja pemerintah diperlukan agar mampu mendongkrak output pertanian.

Schiff (2016) berpendapat bahwa belanja hanyalah salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur produksi, karena segala sesuatu yang diproduksi pada akhirnya akan dikonsumsi. Produksilah yang menambah nilai. PENAS-KTNA XV Aceh diharapkan bukan sekedar kegiatan seremonial yang memamerkan berbagai bentuk produk pertanian dan perikanan yang bisa saja dikreasi secara instan menjelang perhelatan even ini, namun benar-benar menjadi landasan dan semangat yang tinggi terhadap tindak lanjut giat tani dan nelayan di ranah lapangan yang selama ini selalu menjadi persoalan yang rumit diselesaikan dan sulit dieksekusi akibat diinflitrasi oleh kekuatan-kekuatan ‘politik ekonomi’.

Sebagai warga kota Banda Aceh, kita patut berbangga mendapat kehormatan menjadi tuan rumah even besar yang memiliki setidaknya tiga keuntungan, taktis jangka pendek dengan kehadiran para peserta yang akan berbelanja di pasar-pasar, keuntungan strategis jangka panjang melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan dari hasil PENAS-KTNA XV, dan promosi gratis Aceh bagi masyarakat Indonesia melalui kesan-kesan yang dibawa pulang oleh para peserta. Kepada Peserta PENAS-KTNA XV Aceh, Selamat datang di Aceh. Selamat menikmati keindahan dan keramahan masyarakat Aceh.

Artikel ini sudah dipublikasikan di halaman Opini Harian Serambi Indonesia, Senin, 6 Mei 2017. Versi online-nya dapat diakses di link Opini Serambi Indonesia.

Baca juga :

Jun 202016
 

Ekonomi KeurakyattanPenduduk miskin di Aceh berdasarkan data BPS Aceh pada September 2015 berjumlah 859 ribu orang, atau 17,11%. Dibandingkan dengan data bulan Maret 2015, jumlah ini meningkat 8ribu orang yang sebelumnya berjumlah 851 ribu orang (17,08%). Angka kemiskinan Aceh ini jauh melebihi angka kemiskinan rata-rata nasional yang berada pada 11,13%.

Jika melihat besarnya APBA Aceh yang mencapai 12 trilyun, jumlah penduduk miskin mestinya dapat ditekan secara signifikan. Bandingkan dengan provinsi lain yang memiliki jumlah penduduk yang sama dengan Aceh seperti Sumatera Barat. Penduduk Aceh berjumlah 5,2 juta jiwa dengan APBA sebesar 12,7 trilyun, sedangkan Sumatera Barat yang penduduknya berjumlah 5,3 juta jiwa hanya memiliki APBD sebesar 4,5 trilyun. Belum lagi jika membandingkannya dengan provinsi tetangga terdekat Sumatera Utara yang jumlah penduduknya 13,9 juta dengan APBD hanya sebesar 8,6 trilyun dan pertumbuhan ekonominya 5,3%. Kita abaikan Sumatera Utara karena tingkat putaran ekonominya sangat tinggi dibandingkan Aceh.

Dengan APBD 4,5 trilyun, ekonomi Sumatera Barat mampu tumbuh 5,41% dan jumlah penduduk miskin hanya 379 ribu jiwa atau 7%. Bandingkan dengan Aceh yang APBA nya tiga kali lipat Sumatera Barat hanya mampu tumbuh 4,2% dan dengan jumlah penduduk miskin yang sangat besar.

Potensi Zakat

Disamping mengandalkan kucuran dana APBA, Aceh masih memiliki potensi sumber dana lain yang cukup besar, yaitu dana Zakat. Tim dari UIN Ar-Raniry yang bekerjasama dengan Baitul Mal Aceh telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui besaran potensi zakat di Aceh. Hasil penelitian tahun 2014 yang disampaikan oleh Bapak DR. Nazaruddin AW (Serambi, 12/6) menyebutkan bahwa potensi zakat di Aceh mencapai 1,3 trilyun, dan pada tahun 2015 potensi tersebut bahkan diduga mencapai 1,4 trilyun, angka yang cukup besar.

Jika merujuk pada Keputusan Menteri Agama (KMA) 333 tahun 2015, tentang pedoman pemberian izin lembaga amil zakat, yang mensyaratkan bahwa lembaga zakat nasional (yang didirikan oleh masyarakat) hanya akan diberi izin operasional jika mampu menghimpun dana paling sedikit Rp. 50 milyar per tahun, untuk tingkat provinsi 20 milyar, dan 3 milyar untuk skala kabupaten/ kota, maka potensi zakat di Aceh akan mampu membentuk 26 lembaga zakat berskala nasional, atau 65 lembaga zakat berskala provinsi, atau paling sedikit 433 lembaga zakat berskala kabupaten/kota.

Potensi zakat sebesar 1,4 trilyun tersebut jika terealisasi akan sama jumlahnya dengan realisasi penghimpunan zakat secara nasional pada tahun 2015. Jika dirata-rata setiap kabupaten kota berpotensi meraup sekitar Rp. 60 milyar dana zakat, atau setara dengan setengah dari jumlah APBD Kabupaten/kota di Aceh.

Berdasarkan keterangan dari ketua Baitul Mal Aceh, DR. H. Armiadi Musa, MA, realisasi penghimpunan dana zakat di Aceh baru mencapai angka 192 milyar atau 14,7%, atau rata-rata 8 milyar per kabupaten/kota. Angka ini memang masih jauh dari harapan jika dibandingkan dengan besarnya potensi zakat yang diperkirakan. Walau demikian, jumlah dana yang terhimpun tersebut sejatinya mampu menjadi penopang perekonomian masyarakat di Aceh selain kucuran dana dari uang APBA/D jika dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif dan tepat sasaran.

Dari dua sumber dana yang disebutkan di atas, rasanya kita tidak percaya melihat kondisi masyarakat Aceh selama ini yang terlihat sangat kesulitan secara ekonomi. Barangkali kampanye pasangan calon gubernur beberapa waktu lalu yang menjanjikan setiap warga Aceh mendapat uang Rp. 1juta/kk adalah benar jika 50% saja dana APBA tersebut dibagi habis dengan jumlah penduduk Aceh, sehingga setiap jiwa baik kaya atau miskin di Aceh dari orang tua hingga bayi sekalipun dapat memperoleh 1,2juta/kk. Demikian juga potensi dana zakat 1,4 trilyun, jika dibagi dengan jumlah penduduk miskin, maka akan diperoleh sejumlah Rp. 1,6juta/jiwa. Pertanyaannya, kemana dana-dana tersebut berputar sehingga tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan tak mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran?

Vacum Cleaner Effect

Di kalangan masyarakat umum sering terdengar obrolan warung kopi tentang mengalirnya dana-dana tersebut hanya di kalangan terbatas saja, bagaimana teknisnya, wallahua’lam. Tapi obrolan tak penting ini ternyata dapat dikonfrimasi di lapangan dengan melihat banyaknya masyarakat miskin, tingginya pengangguran serta sulitnya warga kelas bawah memperoleh dana untuk usaha mereka. Selain itu, didukung pula oleh data-data yang dirilis oleh BPS yang melaporkan besaran terkait angka-angkanya.

Untuk diketahui, di berbagai daerah marak sekali tengkulak-tengkulak beroperasi mencekik para petani dan pedagang kecil. Bahkan di Banda Aceh, kota Madani yang menjadi icon Aceh tidak luput dari praktik-praktik para rentenir yang mereka beri label “BNI 47” ini. Penggunaan istilah BNI 47 barangkali karena para rentenir ini mampu memotong jalur birokrasi perbankan yang selama ini sulit mereka akses. Dan bank yang kebetulan berada di pusat Pasar Aceh dimana tempat para pedagang melakukan aktifitas ekonomi adalah bank BNI 46. Fenomena pelabelan nama ini tentu sesuatu yang menarik untuk difikirkan.

Penulis melalui mediasi LAZISMU (lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Muhamamdiyah) Aceh sudah bertemu langsung dengan pedagang kecil yang tak berkutik menghadapi keadaan dan terpaksa merelakan diri dan menghamba kepada rentenir dengan sistem bunga yang berat dan sulit melepaskan diri. Jangankan untuk mengembangkan usaha dari putaran uang tengkulak, untuk menutup hutang saja mereka kesulitan, dan tidak sedikit yang menjual barang-barang rumah tangga mereka untuk memenuhi janji tutup lobang dengan rentenir.

Fenomena yang ditengarai oleh obrolan warung kopi ini persis seperti fenomena ‘vacuum cleaner effect’ (VCE). yaitu fenomena terserapnya aset kekayaan dan pendapatan ke tangan sebagian kecil kelompok masyarakat, sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin besar. Biasanya ditandai dengan semakin meningkatnya nilai keofisien Gini, yang menjadi alat ukur kesenjangan antar kelompok masyarakat.

VCE ini dapat disebabkan oleh ketidakadilan sistem ekonomi dan tidak berjalannya mekanisme distribusi, terutama dari kelompok kaya pada kelompok miskin. Karena itu, keberadaan APBA sejatinya dapat berfungsi sebagai sumber dana yang dapat dikucurkan tepat sasaran sehingga dampaknya dapat menggerakkan roda ekonomi masyarakat dari bawah. Demikian juga dana zakat sebagai instrumen untuk mengalirkan kekayaan dari orang-orang yang berlebihan kepada orang-orang yang kekurangan sehingga terjadi keseimbangan dalam distribusi aset. Keseimbangan ini dapat menjaga stabilitas dan harmoni di tengah-tengah masyarakat serta jauh dari penyakit-penyakit sosial akut.

Tidak lama lagi, menjelang 2017 ini kita akan disuguhkan kembali pada perhelatan lima tahunan dalam pesta demokrasi. Seperti biasanya, kampanye-kampanye pasangan calon akan bertabur dengan konsep-konsep ekonomi untuk rakyat kecil, peningkatan kesejahteraan rakyat kecil, hingga janji-janji yang sulit dijangkau oleh akal orang-orang awam, bahkan kalkulasi akademis sekalipun.

Ekonomi kerakyatan memang cita-cita para pejuang bangsa ini sejak dulu, dan tetap dijadikan slogan dalam orasi-orasi politik di panggung-panggung kampanye. Niatnya adalah untuk memperlihatkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat jika kelak terpilih. Tapi dalam praktiknya slogan ini dalam konteks ke-Acehan menjelma menjadi Ekonomi Kerakyat-tan []

Artikel ini telah diterbitkan di kolom Opini Harian Serambi Indonesia tanggal 20 Juni 2016. Untuk melihat sumbernya silahkan klik disini

Baca juga:

Nov 062015
 

investasiKabar yang dirilis salah satu media online lintasnasional.com mengenai batalnya dua investor asal Malaysia dan Lampung yang akan berinvestasi di Aceh sangat disayangkan, alasannya hanya karena tidak nyaman. Padahal investor dari Malaysia tersebut sudah empat kali bertemu dengan pihak pemerintah Aceh Utara di Malaysia, begitu juga pihak investor sudah empat kali berkunjung ke Aceh Utara. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Bupat Aceh Utara pada acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh ICMI di Aula Sekdakab Aceh Utara, Senin 02 November 2015,

Faktor keamanan dan kenyamanan menjadi alasan utama para investor untuk mempertimbangkan apakah mereka memutuskan berinvestasi atau tidak pada suatu daerah. Jika dua hal ini tidak terpenuhi, maka investor tidak mungkin mau mengambil resiko bisnis dari situasi yang tidak memiliki kepastian. Bisnis memang selalu diiringi oleh resiko, tetapi resiko dalam bisnis bisa diprediksi seperti resiko karena persaingan, adanya peraturan, terjadinya inflasi, dan situasi lain yang bisa diukur. Beda halnya dengan kondisi politik dan keamanan, ini adalah situasi yang relatif tidak dapat diukur dan diprediksi dalam perspektif bisnis, dan tidak dapat dikendalikan serta cenderung liar. Maka pebisnis tidak mungkin mau mengambil resiko jika tidak ada jaminan keamanan dan kenyamanan, ini spekulasi namanya.

Di tengah-tengah upaya pemerintah Aceh mencanangkan Aceh sebagai Bandar Wisata Islami dengan mengusung jargon damai, tentu saja kabar di atas menjadi ironi, karena di satu sisi pemerintah mengundang orang luar untuk datang ke Aceh, tetapi di sisi lain Aceh belum mampu membuktikan dirinya sebagai provinsi yang aman dan nyaman secara defakto kepada para calon pengunjung, apalagi investor. Padahal, karena keunikannya, Aceh sangat diminati untuk dikunjungi.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Aceh menyatakan bahwa jumlah penumpang internasional yang berangkat dari provinsi Aceh melalui bandar udara Sultan Iskandar Muda pada bulan September 2015 sebanyak 8.357 orang, mengalami peningkatan sebesar 43,00 persen dibanding bulan Agustus 2015. Sedangkan penumpang internasional yang datang pada bulan September 2015 sebanyak 5.611 orang, mengalami peningkatan sebesar 17,93 persen dibandingkan bulan Agustus 2015.

Demikian juga jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui pintu kedatangan di provinsi Aceh pada bulan September 2015 sebanyak 2.391 orang atau mengalami peningkatan sebsar 15.40 persen dibandingkan dengan bulan Agustus 2015. Secara kumulatif pencapaian jumlah wisman Januari – September 2015 meningkat sebesar 5,59 persen terhadap periode yang sama di tahun 2014.

Data dan informasi di atas mengkomfirmasi bahwa Aceh memiliki daya tarik tersendiri untuk dikunjungi oleh wisman, dan ini merupakan peluang bisnis yang perlu direspon dengan menyediakan berbagai kebutuhan mereka saat berada di Aceh ataupun saat mereka kembali dalam bentuk souvenir yang memberikan kesan atas kedatangan mereka ke Aceh.

Jika pemerintah bersama-sama masyarakat tidak mampu meyakinkan pihak luar secara umum dan bilkhusus investor bahwa Aceh aman dan nyaman, maka ekonomi Aceh akan bergerak sangat lambat dan terseok seok mengejar ketertinggalan, konon lagi serapan anggaran setiap tahun yang selalu rendah. Stimulan-stimulan untuk menggairahkan perekonomian di Aceh sangat kering dan belum mampu merangsang tumbuhnya usaha-usaha sektor ril yang mestinya menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Aceh.

Baca juga :