Feb 242015
 

mineralakiklapak-lapak pedagang batu mulia semakin ramai bermunculan di pinggir jalan kota Banda Aceh dan sekitarnya, fenomena serupa mungkin saja terlihat juga di kabupaten/ kota lain di luar Banda Aceh, hal ini dapat kita telusuri melalui sosial media, dimana masyarakat di hampir seluruh kabupaten/ kota mengiklankan berbagai jenis dan bentuk bebatuan alam ini untuk dijual.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengenai harga. dari beberapa kali saya melakukan survei kecil di berbagai tempat lokasi lapak dibuka, tidak ada harga standar yang menjadi patokan pembeli secara pasti. harga hanya ditentukan oleh pedagang sesuai seleranya, tidak merujuk pada suatu norma apapun, kecuali nama batu yang secara umum telah mendapatkan pasar atau dihargai melalui rujuakan ketersediaan batu.

Giok misalnya, karena nama besar giok, harganya jauh di atas jenis batu lain, walau ada tingkatan, seperti Giok Super dan non super, umumya harga batu giok perkilogram nya bisa mencapai 10-15 juta, bahkan dengan pelabelan supernya, giok bisa dihargai pedagang di angka 25-30juta/kg. Sedangkan batu-batu lainnya, dijual eceran dengan harga perpotong ukuran jadi dua mata cincin Rp. 10-20ribu saja.

Disamping itu, yang saat ini mulai naik daun adalah Cempaka sirup, karena keunikannya, harganya pun melambung, untuk ukuran sepertiga telapak tangan dengan ketebalan lebih kurang 2,5 – 3 centimeter, harganya mencapai 600ribu – 1,5juta, tergantung bentuk dan seberapa diperkirakan isi dagingnya dapat menjadi cincin atau seberapa yang terbuang karena kulit atau lekukan kosong di dalam batu.

yang lain, seperti, kecubung, black jade, belimbing, cempaka berjenis orange atau warna jernih selain sirup, harganya sangat terjangkau karena stock barang berlimpah, padahal dari sisi keindahan, batu-batu jenis ini juga sangat menarik. Inilah yang jadi pertanyaan, bahwa penetapan harga bebatuan mulia ini tidak merujuk pada standar kualitas kandungan mineral pada batu tesebut. Para pedagang belum memasukkan unsur ilmiahnya dalam penilaian dan penghargaan terhadap batu ini, dan juga belum memikirkan nilai seni yang dikandung, tetapi masih sebatas ketersediaan barang yang ada di lapak atau di alam.

Disebut batu mulia karena kandungan mineralnya yang tinggi. Semakin tinggi kandungan mineral pada batuan tersebut, maka semakin keras batu tersebut. dan setiap kandungan mineral memiliki struktur yang berbeda sesuai kadar mineralnya.

Batu mulia ini pertama sekali diberi penilaian mengenai kekerasan karena kadar mineralnya pada tahun 1822 oleh Friedrich Mosh. Nama akhirnya, Mosh, dijadi standar pengukuran tingkatan keras mineral pada batu mulia ini, dan hingga saat ini dikenal dengan istilah Skala Mosh. Skala Mosh dinyatakan dalam tingkatan dengan simbol angka 1 – 10. Berikut adalah makna simbol tingakatan keras mineral batu mulia menurut Skala Mosh;

  1. Talc
  2. Gipsum / Gips
  3. Kalsit / Calcite
  4. Fluorit / Fluorite
  5. Apatite
  6. Orthoclase / Feldspar
  7. Kuarsa / Quartz
  8. Topas
  9. Korundum / Corundum
  10. Diamond / Intan

Simbol angka ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi angkanya maka semakin tinggi kadar mineralnya, semakin keras batu mulia tersebut. Talc merupakan mineral yang paling lunak, sedangkan Intan adalah mineral yang paling keras dengan simbol ankga 10.

Ada baiknya, penetapan harga-harga batu mulia ini mengikuti standar yang baku untuk dapat menetapkan harga sesuai kandungan mineralnya, dengan begini, batu alam akan memiliki pasar yang stabil karena price-nya terstandar dan bisa bersaing dengan batu-batu alam lain yang sudah muncul dan dipercaya pasar internasional sebelumnya. Jika tidak, pasar batu mulia dari Aceh akan kesulitan menembus pasar yang lebih luas karena kurangnya data dan informasi mengenai batu-batu mulia ini.

Baca juga:

Batu Giok Aceh Naik Daun, Siapa Untung?

Jan 192015
 

bungaakikMengamati trend batu akik saat ini mengingatkan kita pada masa-masaoh hebohnya beberapa jenis bunga di tanah air. Kira-kira kurun waktu tahun 2006 hingga 2008, entah dari mana bermula, sebatang Anthurium jenis Jenwave Black Buise ditawarkan oleh sebuah nusrsery dengan harga 250juta (Dua ratus lima puluh juta rupiah), seharga rumah mewah saat itu. Saya bahkan belum melihat bagaimana bentuk bunganya, tapi daun bunga ini hijau seperti daun-daun bunga lainnya, bentuknya mirip daun mangga, tetapi lebih besar.

Ada yang lebih gila lagi, di tempat lain pemilik Anthurium Jenmanii menawarkan bunganya seharga Rp. 1,2 Milyar, membuat kita tak habis fikir. Saya sering merenung dan bertanya, berapa lama kah tanaman tersebut hidup, apakah bunganya memang sedemikian indah? Atau apakah hanya karena bunga tersebut berasal dari belanara Amazone di Amerika sana? Atau karena tanaman ini jenis tumbuhan yang berumah satu dimana setiap satu bunga terdapat dua jenis kelamin, jantan dan betina? tapi yang jelas, kemunculan tanaman hias dengan harga melebihi intan berlian ini redup dan menghilang sering datangnya musin Euphorbia, begitupun, Euphorbia juga ‘layu’.

Kembali ke batu akik, seumur hidup saya, baru kali ini saya merasakan puncak heboh batu akik pasca terjualnya Giok Aceh kepada warga Canada seharga 2,5 milyar, itu angka yang sangat fantastik. Musim batu akik ini sedikit tidaknya membuat banyak masyarakat terbelalak dan ikut mengambil peran sebagai pebisnis dadakan. Bagaimana tidak harga batu mulia ini yang semula pernah ditawarkan ke saya di awal musimnya hanya 500ribu – 1,5 juta per kilo gram, saat ini harga dibuka mulai Rp. 20 – 25juta. Di luar angka psikologis bagi orang yang awam terhadap batu, tapi mungkin akan berbeda pandangan bagi orang yang memang hobi dan menghargai keindahan batu ajaib ini.

Ada fenomena yang saya rasakan mulai berbeda, antusiasme masyarakat untuk memiliki batu akik ini terlihat melemah karena harganya yang sudah di luar kendali, jika pasar sasarannya adalah masyarakat lokal, maka strategi pebisnis batu ini cenderung bunuh diri, tapi jika memang yang ditarget adalah pasar luar, mungkin masuk akal. Tapi melihat perilaku para pebisnis batu akik ini, sepertinya pasar sasarannya bias, belum terfokus, dan penetapan harga sangat terburu-buru, sehingga calon pembeli yang semula ingin membelli, menunda terlebih dahulu sambil melihat situasi permintaan pasar, jika permintaan melemah, dengan sendirinya harga akan turun, jika asumsi ini berlaku umum bagi calon pembeli, maka pebisni batu akik akan merasa terpukul karena ekspektasi dan prediksi mereka terlalu tinggi dengan mematok harga tinggi. Mestinya, jika memang harga yang lebih murah atau sedang saja banyak yang ingin membeli, sebaiknya dilepas saat itu juga, jangan menunggu terlalu lama, disamping jeda waktu menunggu tersebut akan dapat menyatukan persepsi calon pembeli yang tiba-tiba kompak menunggu harga turun, penundaan jual tersebut juga akan berdampak pada perlambatan perputaran uang, secara ekonomis, rugi.

Dua benda unik yang saya munculkan di atas memiliki kesamaan trend, dimana masa jayanya sangat singkat. Dalam kasus tanaman hias, juga terjadi hal yang sama, beberapa kerabat saya yang memiliki bunga Anthurium jenis yang mahal, pernah ditawar pembeli Rp. 50juta per batang, tetapi dia tidak mau menjualnya, dan hanya akan melepasnya jika ada pembeli yang mau membayar Rp. 75juta. Akhirnya memang bunga tersebut tak terjual hingga sekarang, dia pun menyesal, karena sekarang, jangankan 50juta, 500ribu pun ditawarkan, orang sudah tak mau membeli.

Saya meyakini bahwa kondisi ini disadari oleh pebisnis batu akik saat ini, tetapi, mereka tetap berspekulasi dengan harga tinggi. Untuk menutupi celah waktu yang dapat memberi peluang calon pembeli berfikir serempak untuk membeli pada saat harga turun, maka asosiasi pebisnis batu akik mengadakan ‘show of force’ pameran di beberapa provinsi seperti Jakarta, Medan, dan Aceh agar nilai tawar batu akik dapat ditingkatkan, paling tidak bertahan, dan memperoleh perpanjangan waktu di harga yang stabil. tapi yakinlah, ini tidak bertahan lama, karena selama ini memang tidak ada upaya sistematis dan terkonsep serta terorganisir untuk mengupayakan adanya komunitaa-komunitas baru penggemar batu akik. Mereka dari tahun ke tahun hanya itu itu saja, sehingga pasarnya stagnan dan tidak berkembang. Asosiasi penggemar batu akik pun hanya muncul pada saat booming yang tidak disetting dan tidak terorganisir dengan sistematis.

Saran, sebelum masa declining benar-benar tiba, sebaiknya pebisnis batu akik menstandarkan harga agar lebih terjangkau  di berbagai kalangan dan pasarnya dapat lebih luas hingga mencapai ke semua lapisan masyarakat. Adapun kalangan berkelas, yang tidak ingin sama dengan masyarakat awam, dengan mereka dapat dilakukan komunikasi jalur khusus yang ekslusif dengan tetap menjaga identitas mereka sebagai pengguna kelas atas.

Selamat berbisnis…

Baca juga: