Saat menjemput kakak ipar saya di terminal Medan Jaya, beliau bertanya, berapa harga nasi satu porsi di daerah saya kos? Saya katakan rata-rata 8.000 (Delapan ribu rupiah), karena memang harga sepiring nasi dengan ikan ada yang 7.000 dan 8.000. Sedangkan paki ayam dan ikan panggang biasanya 9.000.
Kakak saya kaget, di terminal juga dia beli nasi bungkus pakai ayam, hanya 9.000. Dia mengomel menggerutu, “kami di Bireuen ((Aceh), kalau jual sebungkus nasi 9.000 itu sama saja kasi gratis ke orang, mana ada untungnya? Kok bisa orang Medan jual harga segitu pake ayam? Kita pake ikan pun tak mungkin jual segitu”.
Saya juga menggerutu dalam hati, seperti halnya di Banda Aceh, harga nasi untuk sarapan pagi saja sudah di atas 10ribu, belum termasuk teh atau kopi. Makan siang rata-rata 12ribu pakai ikan, kalau pakai ayam, bisa mencapai 15-16ribu per porsi. Dua kali lipat harga di Medan. Harga lontong di Medan cuma 7ribu, di Banda Aceh 10ribu.
Apa sebabnya? Kita tahu, Banda Aceh dikelilingi oleh laut dari segala penjuru, TPI, tempat pendaratan ikan, ada di kota Banda Aceh, setiap hari ikan tumpah ruah disana, tapi coba anda belanja ikan di Banda Aceh, harganya lumayan tinggi. Begitu juga bahan dapur lainnya, harga sayur-sayuran, di Banda Aceh cukup tinggi dibanding Medan.
Anda percaya tidak? Kalau makan di angkringan yogya, Medan, satu potong mendowan harganya hanya 500, ya… Lima ratus rupiah, kalau beli gorengan di gerobak sorong, 2ribu dapat tiga potong, kalau di Banda Aceh 5ribu baru dapat tiga potong. Untuk jenis gorengan seperti itu, bahannya menggunakan sayuran. Memang Sumut punya Berastagi sebagai pemasok sayuran, tapi Aceh juga punya Takengon sebagai gudang sayuran.
Di Aceh, orang akan sinis jika disodorkan pecahan koin 500, bahkan anak saya mengatakan dia tidak bisa jajan karena koin 500 itu tak laku di kedai langganannya. Di Medan, koin 100 masih sangat dihargai.
Cerita di atas hanyalah sebagian kecil perbedaan wajah aktifitas ekonomi antara Aceh dan Medan. Ada memang yang berubah, yaitu harga mobil bekas. Dulu sebelum tsunami, harga kendaraan plat BL jatuh dihadapkan plat BK, tapi semenjak pengusaha mobil bekas Aceh membuka showroom di Banda Aceh, sudah banyak plat BL yang bisa ditampung dan di-reseller, alhasil, orang Aceh tidak perlu lagi melego mobilnya ke Medan, karena sudah bisa ditampung di Aceh, harga plat BL pun sudah bisa bersaing.
Sisi lain yang perlu kita sadari adalah, Aceh belum mampu menjadi daerah penghasil barang, dalam pandangan mikro, individu-individu atau kelompok usaha belum tumbuh sebagai penyangga ekonomi yang mestinya menjadi salah satu ukuran pertumbuhan ekonomi. Gerigi sektor riil bergerak seperti mesin tanpa oli, dipaksa berputar, kelak pada gilirannya akan rusak dan rontok jika tidak cepat mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebaliknya, sektor financial tumbuh kembang tak seimbang, sehingga uang yang berputar hanya di awang-awang dan dinikmati hanya oleh pemilik modal. Lembaga keuangan bank dan non bank yang sangat diuntungkan dengan melejitnya sektor funancial ini.
Pertumbuhan ekonomi 2 digit? Rasanya mustahil tercapai, Indonesia berada di 5,1, bandingkan dengan pertumbuhan penduduk dan jumlah pengangguran. Tanpa dorongan dan kebijakan kuat terhadap sektor riil, tidak mungkin pertumbuhan ekonomi dipacu, dan pemerintah tahu persis hal itu. Oleh karena itu pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di angka 6, prediksi 2014-2018, itu bukan target, tapi seharusnya begitu untuk upaya maksimal menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pengangguran. 🙂
Malaysia diprediksi tumbuh 5,7, karena ekspornya lebih tinggi. Kamboja, dengan ekspor produk garmennya, diperkirakan tumbuh hingga 7,2. Sedang Indonesia hanya 5,2, turun dari sebelumnya 5,8.
Baca juga: