TAKJIL DAN IFTHAR

takjildaniftharSetiap bulan ramadhan ummat Islam di seluruh Indonesia sangat akrab dengan istilah-istilah yang sudah mapan berkaitan dengan aktifitas bulan puasa, tak terkecuali di Aceh. Menjelang memasuki ramadhan nyaris di seluruh daerah melakukan ‘ritual’ mandi-mandi di sungai atau laut sambil meruamin yang sebenarnya bukan bagian ibadah dalam menyambut ramadhan. Pada saat ramadhan berlangsung, masyarakat melakukan tilawah (membaca) Al-qur’an atau tadarrus (belajar/ mengkaji) Al-Qur’an usai tarawih hingga menjelang shubuh. Ramadhan terasa begitu istimewa karena semua ummat Islam berfikiran sama, beribadah sebanyak-banyaknya di bulan yang penuh berkah dan maghfirah.

Kegiatan yang tidak kalah serunya adalah kegaitan buka puasa bersama di lingkungan masyarakat dari segala lapisan, dari mulai lingkungan keluarga dan sanak famili, kerabat dan sejawat, kelompok-kelompok profesi, lembaga-lembaga sosial, komunitas, bahkan hingga kelompok-kelompok pejabat bahkan satuan kerja eksekutif dan legislatif pun mengadakan kegiatan buka puasa bersama. Hampir setiap hari media memberitakan aktifitas buka puasa bersama yang dilakukan oleh lintas kelompok tersebut yang umumnya mereka lakukan dalam rangkaian menyantuni fakir miskin dan anak yatim di berbagai tempat.

Yang menarik adalah penggunaan istilah-istilah dalam kegiatan buka puasa tersebut; sebagian besar pasti sudah sangat akrab dengan istilah takjil dan ifthar. Keduanya kadang sering diartikan sama, hal ini dapat kita lihat dari spanduk-spanduk, tempat-tempat penjualan makanan berbuka dan bahkan penggunaan kata tersebut di berita media. Misalnya, kalimat yang digunakan oleh penjual makanan, “Menyediakan menu takjil”, di spanduk-sapnduk dan baliho kegiatan buka bersama, tertulis “Berbagi takjil bersama fakir miskin”, ‘takjil gratis” dan banyak lagi penggunaan kata-kata takjil yang diidentikkan dengan makanan untuk berbuka puasa. Pun huruf yang digunakan dalam kata Takjil bukan huruf Kaf (Ka), tetapi ‘ain, sehingga mestinya ditulis Ta’jil.

Arti Ta’jil dan Ifthar

Apa sebenarnya arti dari ta’jil? Jika merujuk pada kamus bahasa Arab, ta’jil berasal dari kata ‘ajjala-yu’ajjilu, yang artinya menyegerakan. Ta’jiilun atau kalau diwaqafkan dibaca ta’jiil yang secara awam merupakan bentuk kata ketiga dari kata kerja ‘ajjala-yu’ajjilu yang berarti penyegeraan. Sehingga Ibnu Hajar Rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari menyediakan satu bab khusus dengan judul “Bab Ta’jil Al Fithr” yang artinya “Bab Menyegerakan Berbuka Puasa.”

Dengan demikian dapat kita tengarai bahwa ta’jil bukanlah merujuk pada benda atau makanan buka puasa sebagaimana yang selama ini kita fahami. Kata ta’jil juga sudah termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diartikan dengan mempercepat (dl berbuka puasa). Kata ‘ajjala ini juga terdapat dalam hadis riwayat Al-Bukhari no. 1757 dan Muslim no. 1098 dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Laa yazaalu an-naasu bikhairin maa ‘ajjaluu al-fithra”, yang artinya “Terus-menerus manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa.”

Selain ta’jil, dalam masyarakat kita juga sering menggunakan kata ifthar untuk menyatakan kegiatan buka puasa bersama. Sebagaimana halnya ta’jil, ifthar juga sering dimaknai dengan makanan berbuka, namun tidak sepopuler penggunaan kata ta’jil. Dalam KBBI juga telah didefinisikan bahwa iftar berarti ‘hal berbuka puasa’. Dalam Al-Munjid hal 619, afthara diartikan sama dengan akala au syariba, makan atau minum, atau berbuka (Al-Munawwir hal: 1.063). Dalam kutipan hadis di atas, ‘ajjala diikuti dengan kata fithra, ‘ajjalul fithra”, kata fithra dalam hadist tersebut sama dengan ifthar yang artinya mereka menyegerakan berbuka puasa. Demikian juga kebiasaan kita sehari-hari saat berbuka puasa selalu membaca doa berbuka “….. Wa’alaa rizqika afthartu”. Yang artinya “… dan dari rizkiMU (Allah) aku berbuka puasa”. Penggunaan kata afthartu disini sudah menjadi kata kerja, yaitu melakukan buka puasa.

Uraian singkat di atas jika kita kembalikan kepada kebiasaan kita sehari-hari tentu memiliki makna yang berbeda dari asal katanya. Terlepas dari kebiasaan yang sudah melekat, kita tidak tahu dari mana asal-muasal sehingga kata ta’jil ataupun ifthar dalam masyarakat kita dimaknai dengan boh rom-rom, kolak seurabi, bakwan, sirup dingin, bubur ayam dan makanan lain untuk berbuka puasa. Barangkali yang lebih sesuai kita menggunakan kalimat; berbagi menu ifthar bersama mustadh’afin.

Membiasakan yang benar

Penggunaan istilah ta’jil atau ifthar yang identik dengan makanan bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, namun apa salahnya kita mencoba untuk membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa, sebab membiasakan yang benar secara psikologis akan mempengaruhi sikap kita untuk tetap berupaya melihat dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Demikian sebaliknya, sikap membenarkan yang biasa, berarti kita tidak mencoba untuk bersikap kritis karena kebiasaan-kebiasaan yang kita benarkan belum tentu memiliki landasan dan makna yang tepat seperti yang dimaksudkan.

Ta’jil bukanlah sejenis makanan kolak dan boh rom-rom, atau ie teube dan timon bruek tetapi kata untuk menganjurkan agar mempercepat berbuka puasa saat waktunya tiba, jangan menunda-nunda. Semoga Ramadhan kali ini kita semua dikaruniai oleh Allah maghfirah serta jangan lupa bersedekah agar harta kita menjadi berkah