Pada tahun 2007 lalu, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan penelitian pemetaan Muzakki dan Mustahik di provinsi seluruh Indonesia dan dipublikasikan dalam bentuk Technical Report pada tahun 2009. Yang membuat penelitian ini menarik adalah tujuan penelitian ini, yaitu untuk memetakan pemberi zakat (muzakki), penerima zakat (Mustahik) dan potensi wilayah pada tingkat kabupaten sebagai dasar pembuatan strategi pemberdayaan dan peningkatan kemandirian mustahik. Perlu digarisbawahi, bahwa disini, peneliti sampai melakukan pemetaan di seluruh kabupaten kota dengan data detil hingga pada Distribusi persentase mustahik dan muzakki menurut umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, lapangan pekerjaan, status kepemilikan rumah, kondisi lantai rumah (indikator tingkat kemiskinan), dan lokasi tempat tinggal, termasuk Jumlah Mustahik, Muzaki, Potensi Wilayah, serta Program Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan pemerintah di seluruh provinsi di Indonesia.
Penelitian ini tentu sangat bermanfaat bagi pemerintah sekaligus masyarakat untuk dijadikan alat pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara signifikan. Dan penelitian ini tentu berangkat dari kenyataan bahwa pengentasan kemiskinan melalui program pemerintah terlihat lamban, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi diiringi dengan tingkat pengangguran yang tinggi pula, serta ketidakmampuan pertumbuhan ekonomi mendahului pertumbuhan penduduk yang bergerak cepat.
Kemiskinan seolah-olah menjadi fenomena yang tak berujung, sementara kemiskinan mestinya, dalam perpektif apapun, bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah ansich, tetapi menjadi bagian tanggungjawab sosial masyarakat yang memiliki kemampuan dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang cukup bahkan lebih, untuk kemudian ditransfer kepada mereka yang membutuhkan guna meningkatkan kualitas hidup fakir dan miskin.
Karena keterbatasan kemampuan pemerintah, baik dari aspek finansial maupun pengorganisasian dan manajerial, maka diperlukan sumberdaya-sumberdaya lain di luar pemerintahan guna menopang program pengentasan kemiskinan. Potensi sumberdaya yang sangat memungkinkan adalah dari sumber zakat yang diketahui sangat besar. Menurut BAZNAS, potensi zakat nasional untuk tahun 2018 diperkirakan mencapai 271 triliun, angka ini melebihi jumlah APBD tahun 2017 di 10 provinsi se-Sumatera ditambah 6 provinsi di Jawa yang total keseluruhannya hanya sebesar 243,54 triliun.
Besaran potensi zakat nasional tersebut tentu saja sangat fantastis jika seluruhnya dapat digarap dengan baik. Tetapi hingga saat ini, walau pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri tentang zakat dalam upaya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penghimpunan zakat, namun perolehan zakat yang dicapai hanya sekitar Rp. 5 triliun di tahun 2017 dan diprediksi tumbuh 20% di tahun 2018. Dan jika pertumbuhan 20% tersebut stabil dengan syarat faktor lain konstan, maka potensi zakat nasional tersebut dapat dicapai dalam waktu yang cukup lama, yakni 21 tahun ke depan, atau tahun 2040. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terdapat keengganan muzakki menyetorkan zakat yang mestinya menjadi kewajiban mereka sebagai ummat Islam. Tetapi, menunjuk muzakki saja sebagai “tertuduh” tentu tidak adil, karena harus kita akui bahwa kesadaran menunaikan zakat bukan merupakan satu-satunya faktor yang menjadikan muzakki enggan menunaikan zakat, tetapi yang jauh lebih penting adalah faktor trust (kepercayaan) muzakki terhadap lembaga-lembaga pengelola zakat baik milik pemerintah maupun yang didirikan oleh (kelompok) masyarakat.
Hak-Hak Muzakki
Selama ini kebanyakan kita memposisikan muzakki sebagai orang yang memiliki kewajiban menunaikan zakatnya kepada mustahik di sisi lain yang diposisikan sebagai orang yang berhak menerima zakat, menjadi dua kutub yang searah, orang yang berkewajiban dan orang yang berhak, padahal sejatinya kedua entitas ini adalah orang yang berkewajiban sekaligus yang berhak. Muzakki berkewajiban menunaikan zakat sekaligus memiliki hak untuk mengetahui bagaimana zakatnya diperlakukan. Begitu juga mustahik berhak menerima zakat sekaligus memiliki kewajiban untuk menggunakan zakat tersebut untuk meningkatkan produktifitas diri mereka melalui penggunaan zakat yang mereka terima tersebut.
Merujuk pada QS Al Baqarah, 2: 274 ”Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” Menunjukkan bahwa mereka yang menginfakkan hartanya secara terang-terangan mengisyaratkan bahwa ada fitrah dalam diri manusia ingin mengaktualisasikan diri melalui aktifitas zakat, infak dan sedekah. Dalam konteks untuk mengajak orang lain agar mau menunaikan zakat, infak dan sedekah, maka seorang muzakki harus melakukannya secara terang-terangan agar orang lain tidak menilai bahwa dia hanya mengajak tetapi tidak ikut menunaikan zakat.
Muzakki dapat disetarakan dengan istilah donatur, orang yang mendonasikan sejumlah hartanya kepada orang yang membutuhkan. Dalam American Association of Fund-Raising Counsel (AAFRC), Association for Healthcare Philanthrophy (AHP), Council for Advancement and Support of Education (CASE), dan National Society of Fund Raising Executives (NSFRE) tentang Donor Bill of Rights (Prinsip Dasar Hak-Hak Donatur) menyepakati poin-poin umum yang menjadi landasan hak-hak donatur, diantaranya adalah (1) donatur berhak mendapatkan informasi megenai misi lembaga pengelola, bagaimana donasinya diperlakukan, (2) mengetahui identitas pengelola, tingkat kehati-hatian pengelola (3) berhak mendapatkan akses laporan keuangan lembaga pengelola, (4) mengetahui relevansi tujuan donasi dengan program yang dijalankan, (5) berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang pantas, (6) Mendapatkan kepastian bahwa informasi mengenai donasi mereka ditangani dengan respek dan dengan kerahasiaan seluas-luasnya menurut hukum yang berlaku, (7) Mendapatkan kepastian bahwa semua hubungan dengan para individu yang mewakili organisasi-organisasi yang berkepentingan dengan donatur akan dilakukan secara profesional, (8) Mendapatkan informasi apakah personil yang melakukan penggalangan dana merupakan sukarelawan, karyawan organisasi, atau tenaga honorer, (9) Mendapatkan kesempatan bahwa nama mereka dapat dihapuskan dari milis publik yang mungkin diadakan Organisasi, dan (10) Mendapatkan kebebasan untuk menanyakan kapan dapat melakukan donasi dan menerima jawaban secara cepat, tepat, jujur, dan terus terang.
Barangkali fenomena yang telah disampaikan di atas mengenai kecilnya penghimpunan zakat yang dicapai akibat dari rendahnya kepercayaan terhadap pengelola dana zakat dapat disebabkan oleh kurangnya upaya lembaga zakat baik pemerintah maupun milik (kelompok) masyarakat dalam memberikan hak-hak muzakki/ donatur. Lembaga zakat harus merubah pola komunikasi dan turut membantu membalikkan persepsi bahwa muzakki bukan hanya objek wajib zakat tetapi juga merupakan entitas yang memiliki hak untuk mengetahui informasi lebih jauh mengenai kelembagaan dan personalia serta bagaimana zakat mereka tersebut dikelola, sehingga akan meningkatkan kepercayaan muzakki bahkan secara mandiri menjadi corong bagi calon-calon muzakki lainnya untuk bergabung dalam program-program kerja yang berkaitan dengan upaya mengurangi kemiskinan di lingkungan masyarakat.