Jun 152018
 

sedekahPada tahun 2007 lalu, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan penelitian pemetaan Muzakki dan Mustahik di provinsi seluruh Indonesia dan dipublikasikan dalam bentuk Technical Report pada tahun 2009. Yang membuat penelitian ini menarik adalah tujuan penelitian ini, yaitu untuk memetakan pemberi zakat (muzakki), penerima zakat (Mustahik) dan potensi wilayah pada tingkat kabupaten sebagai dasar pembuatan strategi pemberdayaan dan peningkatan kemandirian mustahik. Perlu digarisbawahi, bahwa disini, peneliti sampai melakukan pemetaan di seluruh kabupaten kota dengan data detil hingga pada Distribusi persentase mustahik dan muzakki menurut umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, lapangan pekerjaan, status kepemilikan rumah, kondisi lantai rumah (indikator tingkat kemiskinan), dan lokasi tempat tinggal, termasuk Jumlah Mustahik, Muzaki, Potensi Wilayah, serta Program Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan pemerintah di seluruh provinsi di Indonesia.

Penelitian ini tentu sangat bermanfaat bagi pemerintah sekaligus masyarakat untuk dijadikan alat pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara signifikan. Dan penelitian ini tentu berangkat dari kenyataan bahwa pengentasan kemiskinan melalui program pemerintah terlihat lamban, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi diiringi dengan tingkat pengangguran yang tinggi pula, serta ketidakmampuan pertumbuhan ekonomi mendahului pertumbuhan penduduk yang bergerak cepat.

Kemiskinan seolah-olah menjadi fenomena yang tak berujung, sementara kemiskinan mestinya, dalam perpektif apapun, bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah ansich, tetapi menjadi bagian tanggungjawab sosial masyarakat yang memiliki kemampuan dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang cukup bahkan lebih, untuk kemudian ditransfer kepada mereka yang membutuhkan guna meningkatkan kualitas hidup fakir dan miskin.

Karena keterbatasan kemampuan pemerintah, baik dari aspek finansial maupun pengorganisasian dan manajerial, maka diperlukan sumberdaya-sumberdaya lain di luar pemerintahan guna menopang program pengentasan kemiskinan. Potensi sumberdaya yang sangat memungkinkan adalah dari sumber zakat yang diketahui sangat besar. Menurut BAZNAS, potensi zakat nasional untuk tahun 2018 diperkirakan mencapai 271 triliun, angka ini melebihi jumlah APBD tahun 2017 di 10 provinsi se-Sumatera ditambah 6 provinsi di Jawa yang total keseluruhannya hanya sebesar 243,54 triliun.
Besaran potensi zakat nasional tersebut tentu saja sangat fantastis jika seluruhnya dapat digarap dengan baik. Tetapi hingga saat ini, walau pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri tentang zakat dalam upaya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penghimpunan zakat, namun perolehan zakat yang dicapai hanya sekitar Rp. 5 triliun di tahun 2017 dan diprediksi tumbuh 20% di tahun 2018. Dan jika pertumbuhan 20% tersebut stabil dengan syarat faktor lain konstan, maka potensi zakat nasional tersebut dapat dicapai dalam waktu yang cukup lama, yakni 21 tahun ke depan, atau tahun 2040. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terdapat keengganan muzakki menyetorkan zakat yang mestinya menjadi kewajiban mereka sebagai ummat Islam. Tetapi, menunjuk muzakki saja sebagai “tertuduh” tentu tidak adil, karena harus kita akui bahwa kesadaran menunaikan zakat bukan merupakan satu-satunya faktor yang menjadikan muzakki enggan menunaikan zakat, tetapi yang jauh lebih penting adalah faktor trust (kepercayaan) muzakki terhadap lembaga-lembaga pengelola zakat baik milik pemerintah maupun yang didirikan oleh (kelompok) masyarakat.

Hak-Hak Muzakki
Selama ini kebanyakan kita memposisikan muzakki sebagai orang yang memiliki kewajiban menunaikan zakatnya kepada mustahik di sisi lain yang diposisikan sebagai orang yang berhak menerima zakat, menjadi dua kutub yang searah, orang yang berkewajiban dan orang yang berhak, padahal sejatinya kedua entitas ini adalah orang yang berkewajiban sekaligus yang berhak. Muzakki berkewajiban menunaikan zakat sekaligus memiliki hak untuk mengetahui bagaimana zakatnya diperlakukan. Begitu juga mustahik berhak menerima zakat sekaligus memiliki kewajiban untuk menggunakan zakat tersebut untuk meningkatkan produktifitas diri mereka melalui penggunaan zakat yang mereka terima tersebut.
Merujuk pada QS Al Baqarah, 2: 274 ”Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” Menunjukkan bahwa mereka yang menginfakkan hartanya secara terang-terangan mengisyaratkan bahwa ada fitrah dalam diri manusia ingin mengaktualisasikan diri melalui aktifitas zakat, infak dan sedekah. Dalam konteks untuk mengajak orang lain agar mau menunaikan zakat, infak dan sedekah, maka seorang muzakki harus melakukannya secara terang-terangan agar orang lain tidak menilai bahwa dia hanya mengajak tetapi tidak ikut menunaikan zakat.

Muzakki dapat disetarakan dengan istilah donatur, orang yang mendonasikan sejumlah hartanya kepada orang yang membutuhkan. Dalam American Association of Fund-Raising Counsel (AAFRC), Association for Healthcare Philanthrophy (AHP), Council for Advancement and Support of Education (CASE), dan National Society of Fund Raising Executives (NSFRE) tentang Donor Bill of Rights (Prinsip Dasar Hak-Hak Donatur) menyepakati poin-poin umum yang menjadi landasan hak-hak donatur, diantaranya adalah (1) donatur berhak mendapatkan informasi megenai misi lembaga pengelola, bagaimana donasinya diperlakukan, (2) mengetahui identitas pengelola, tingkat kehati-hatian pengelola (3) berhak mendapatkan akses laporan keuangan lembaga pengelola, (4) mengetahui relevansi tujuan donasi dengan program yang dijalankan, (5) berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang pantas, (6) Mendapatkan kepastian bahwa informasi mengenai donasi mereka ditangani dengan respek dan dengan kerahasiaan seluas-luasnya menurut hukum yang berlaku, (7) Mendapatkan kepastian bahwa semua hubungan dengan para individu yang mewakili organisasi-organisasi yang berkepentingan dengan donatur akan dilakukan secara profesional, (8) Mendapatkan informasi apakah personil yang melakukan penggalangan dana merupakan sukarelawan, karyawan organisasi, atau tenaga honorer, (9) Mendapatkan kesempatan bahwa nama mereka dapat dihapuskan dari milis publik yang mungkin diadakan Organisasi, dan (10) Mendapatkan kebebasan untuk menanyakan kapan dapat melakukan donasi dan menerima jawaban secara cepat, tepat, jujur, dan terus terang.

Barangkali fenomena yang telah disampaikan di atas mengenai kecilnya penghimpunan zakat yang dicapai akibat dari rendahnya kepercayaan terhadap pengelola dana zakat dapat disebabkan oleh kurangnya upaya lembaga zakat baik pemerintah maupun milik (kelompok) masyarakat dalam memberikan hak-hak muzakki/ donatur. Lembaga zakat harus merubah pola komunikasi dan turut membantu membalikkan persepsi bahwa muzakki bukan hanya objek wajib zakat tetapi juga merupakan entitas yang memiliki hak untuk mengetahui informasi lebih jauh mengenai kelembagaan dan personalia serta bagaimana zakat mereka tersebut dikelola, sehingga akan meningkatkan kepercayaan muzakki bahkan secara mandiri menjadi corong bagi calon-calon muzakki lainnya untuk bergabung dalam program-program kerja yang berkaitan dengan upaya mengurangi kemiskinan di lingkungan masyarakat.

Jul 182017
 

LembagaZakatPerhatian masyarakat Indonesia terhadap peristiwa gempa Pidie Jaya 7 Desember 2016 lalu sangat luar biasa, mengingatkan kita pada memori gempa dan tsunami di tahun 2004 lalu yang merubah wajah kota Banda Aceh menjelma menjadi “international city”. Di Hari kedua pasca gempa Pidie Jaya sebagaimana dipublis oleh pemerintah melalui Humas Aceh, terdapat 121 lembaga yang terdaftar sebagai lembaga yang melakukan aktifitas kemanusiaan di tiga kabupaten yang terdampak, Pidie Jaya, Pidie dan kabupaten Biruen. Dari 121 lembaga kemanusiaan tersebut seluruhnya membawa relawan dari berbagai macam bidang yang total keseluruhan relawan berjumlah 1790 personil. Dari sejumlah lembaga kemanusiaan tersebut, sekurang-kurangnya terdapat 20 lebih lembaga amil zakat yang turut berpartisipasi baik lembaga zakat nasional maupun lokal.

Lembaga amil zakat yang ambil bagian dalam aksi kemanusiaan  ini pada hari keempat melakukan rapat koordinasi guna berbagi informasi dan memetakan potensi serta mengantisipasi terjadinya miskomunikasi dalam aktifitas yang dilakukan lembaga-lembaga zakat nasional dan lokal di Pidie Jaya. Dari seluruh lembaga amil zakat yang berkesempatan mempresentasikan data dan kegiatan mereka, terdapat banyak kesamaan, artinya temuan-temuan di lapangan terkonfirmasi dengan baik sehigga para relawan yang bekerja untuk kemanusiaan dapat menentukan apa yang harus mereka lakukan.

Peran lembaga amil zakat pada aksi kemanusiaan sangat beragam, mulai dari mengirimkan relawan, membawa bantuan logistik, dana, hingga melakukan kegiatan psikososial bagi anak-anak korban gempa karena mengalami trauma, bahkan beberpa diantaranya telah menyusun rencana hingga pada tahap rehab rekon. Rapat koordinasi lembaga-lembaga amil zakat tersebut setidaknya dapat mengidentifikasi beberapa bidang yang harus menjadi perhatian serius; (1) persoalan makanan dan nutrisi, (2) air dan sanitasi, (3) shelter, (4) kesehatan, (5) perlindungan anak dan dukungan psikososial. Dari lima hal tersebut maka lembaga-lembaga amil zakat yang tergabung dalam Forum Organisasi Zakat (FOZ) Indonesia tersebut merekomendasikan lima hal yang menjadi prioritas program, yaitu; (a) fokus pada pelayanan di puskesmas, (b) program yang menyentuh bidang anak, (c) MP-ASI untuk balita, (d) mengadakan pojok laktasi bagi ibu menyusui, dan (e) intervensi psikologi.

Spektrum Zakat

Sejak era orde lama hingga orde baru, kegiatan dan pengelolaan zakat dan infaq masih dipandang sebagai sebuah aktifitas filantropi tradisional berbasis caritas (charity) dalam bentuk pemberian makanan oleh para dermawan kepada fakir miskin, atau aktifitas kedermawanan yang bersifat jangka pendek. Namun sejak pemerintahan di era BJ. Habibie, DPR mengeluarkan regulasi, yakni UU No. 38 Tahun 1999, zakat sudah mulai memperoleh spektrum yang lebih luas dari pada sekedar untuk urusan ummat Islam semata, lebih maju dan memberikan kontribusi yang sangat besar guna membantu pemerintah dalam menangani masalah-masalah dalam bidang ekonomi dan sosial. Selanjutnya spektrum zakat di era reformasi beranjak menjadi filantropi berbasis keadilan sosial

Melihat potensi zakat yang begitu besar, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi guna memperkuat pengelolaan lembaga zakat melalui keputusan Menteri Agama RI No 373 Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999, dan keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Regulasi ini kemudian dirsespon oleh pemerintahan daerah di seluruh Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) atau Qanun untuk provinsi Aceh yang diatur dalam Qanun No. 7 tahun 2007.

Pada tahun 2011 potensi zakat Indonesia diperkirakan mencapai Rp. 217 triliun per tahun, dan angka tersebut terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2016 potensi zakat Indonesia bahkan telah mencapai 400 triliun, atau meningkat sebesar 184%, hal ini diungkapkan oleh pakar Filantropi Indonesia, Hilman Latief, Ph.D pada diskusi Keluarga Islam Britania (Kibar) Cholcester, United Kingdom pada bulan Ramadhan 2016 lalu.

Melihat besarnya potensi zakat tersebut, tentu dibutuhkan kerja keras dan upaya yang optimal agar potensi tersebut dapat ditransformasikan menjadi aksi nyata sehingga angka tersebut memang muncul dalam catatan lembaga amil zakat sebagai dana yang telah disetorkan oleh para muzakki. Namun untuk mencapai kondisi ini tentu banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya adalah sumber daya manusia yang handal, lembaga amil zakat yang profesional, manajemen yang modern serta kemampuan pengelola zakat bersikap transparan dan akuntable karena dana yang dikelola adalah dana publik.

Peran Organisasi Zakat

UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat hadir sebagai pelengkap dan penyempurna UU No. 38 Tahun 1999 yang belum mengakomodir lembaga zakat yang didirikan oleh masyarakat. Dalam Ketentuan Umum  UU No. 23 Tahun 2011 dengan jelas disebutkan pada point (7) Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. (8) Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat

Diakomodirnya peran organisasi zakat yang didirikan oleh masyarakat akan dapat mempercepat akselerasi penghimpunan potensi zakat baik secara lokal maupun nasional karena daya jangkau yang semakin luas dan terdapatnya pilihan-pilihan yang banyak bagi muzakki untuk menyalurkan zakat/infaqnya kepada lembaga mana yang mereka percayai, sekaligus membantu mempercepat aliran distribusi dan memperluas cakupan wilayah sasaran yang selama ini dirasakan belum terjangkau secara optimal.

Aksi kemanusiaan yang dilakukan organisasi-organisasi zakat di Pidie Jaya saat ini merupakan satu fakta yang harus diperhitungkan sebagai sebuah komponen penting, bukan hanya mengisi ceruk yang selama ini luput dari jangkauan lembaga zakat yang dibentuk pemerintah, tetapi justeru bisa menjadi arus utama gerakan filantropi berbasis keadilan sosial yang nilai kebermanfaatannya dapat dirasakan lebih dalam dan menyentuh ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Dari hasil rapat koordinasi Forum Organisasi Zakat, dapat diketahui bahwa aksi kemanusiaan organisasi zakat bukan hanya dilakukan pada masa tanggap darurat, tetapi sebagian besar telah menyusun rencana untuk program pada masa rehab rekon. Sinergi yang dibangun organisasi zakat yang tergabung dalam Forum Organisasi Zakat (FOZ) penting dan layak untuk diapresiasi.

Jika kita berasumsi 50% saja potensi zakat dapat dihimpun, atau sebesar 200 triliun, maka ini merupakan angka yang sangat fantastik jika benar-benar dimanfaatkan untuk membangun ekonomi masyarakat, atau digunakan untuk kegiatan kemanusiaan di masa darurat bahkan pada masa rehab rekon. Peristiwa-peristiwa kebencanaan yang selama ini dialami Indonesia harus dapat memberikan pelajaran penting bagi kita.

Sejak tahun 1936 hingga tahun 2016, setidaknya telah terjadi 22 kali peristiwa gempa Aceh yang merusak (Serambi, 26/12). Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa Aceh merupakan wilayah yang rawan bencana dan harus menjadi memori kolektif masyarakat secara umum agar memiliki kesadaran terhadap upaya-upaya edukasi mitigasi bencana dan pentingnya rencana kontingensi oleh pemerintah dalam menghadapi bencana ini. Selain itu, keterlibatan lembaga-lembaga filantropi seperti lembaga amil zakat dapat dipertimbangkan sebagai sebuah komponen penting dalam aksi-aksi kemanusiaan selain aktifitas filantropi berbasis keadilan sosial di luar kebencanaan.

Baca yang lain :

Dec 302015
 

filantropiBeberapa waktu lalu terdengar kabar bahwa ada komunitas yang menggerakkan anggota mereka untuk melakukan kebaikan melalui kegiatan-kegiatan ringan tetapi sangat bermanfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bentuk kegiatannya sederhana, menghimbau masyarakat luas untuk mendermakan sebagian rezeki mereka agar disalurkan kepada yang berhak, dalam hal ini sasarannya spesifik, yaitu tim kebersihan kota Banda Aceh, lebih tepatnya para pekerja yang ditugaskan menyapu dan membersihkan ruas-ruas jalan di Kota Banda Aceh.

Bantuan yang mereka peroleh tersebut didistribusikan dalam bentuk nasi bungkus untuk sarapan pagi para pekerja kebersihan, dan untuk saat ini, sambil melakukan sosialisasi melalui media sosial, mereka hanya membagikan sarapan pagi gratis tersebut di setiap hari Sabtu dalam jumlah yang terbatas dan di tempat-tempat terbatas. Komunitas ini menamakan diri mereka dengan Ruman Aceh. Selain membagikan sarapan pagi gratis bagi pekerja kebersihan kota, Ruman Aceh yang digerakkan oleh Arif ini juga membuka lapak pustaka setiap minggu pagi di Public Sport Centre Blang Padang. Dan buku-bukunya bisa dipinjam oleh masyarakat untuk dibawa pulang tanpa dipungut biaya. Ruman Aceh memadukan kegiatan kedermawanan di satu sisi dan sekaligus melakukan kegiatan edukasi.

Selain Ruman Aceh, ada warga Aceh lainnya secara pribadi berinisiatif melakukan kegiatan kedermawanan serupa dalam bentuk lain, yaitu Edi Fadhil. Rasa pedulinya muncul ketika melihat banyaknya warga masyarakat yang tinggal di tempat-tempat yang tidak layak huni, bahkan tidak manusiawi, yaitu di kandang sapi, kandang ayam dan tempat-tempat lain yang sangat memprihatinkan, padahal Aceh merupakan daerah yang memiliki APBA sangat luar biasa dibandingkan provinsi lain, dan bahkan memiliki Baitul Mal yang telah memperoleh penghargaan sebagai Lembaga Zakat yang memiliki manajemen terbaik nasional. Edi telah membangun banyak rumah warga miskin di pelosok Aceh, dan masyarakat telah memberikan amanah kepada Edi untuk menyampaikan amanah yang dititipkan kepada beliau untuk pembangunan rumah-rumah warga miskin tersebut, dan hingga saat ini terus berjalan baik.

Fenomena dua cerita singkat di atas mengingatkan kita pada istilah yang baru-baru ini dipopulerkan kembali di Indonesia oleh dosen sekaligus peneliti muda dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Alumni Utrech University Belanda,  Hilman Latief, MA, Ph.D, yaitu Filantropi.

Dalam Kamus Wikipedia dikatakan bahwa, Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Menurut Hilman, wujud dari kegiatan filantropi adalah perilaku kedermawanan, dan membangun relasi sosial yang baik antara kaya dan miskin.  Inti dari kegiatan filantropi adalah untuk mendorong terciptaanya kemaslahatan, public good, kesejahteraan bersama.

Melihat dan mengamati adanya kegiatan kedermawanan ini di Aceh, sungguh luar biasa dan patut diapresiasi dengan semangat yang tinggi agar tidak berhenti pada dua cerita di atas, tetapi bisa bergerak dan berlaku secara massif hingga pada titik dimana kegiatan ini menjadi suatu gerakan yang memang muncul karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk berderma, bukan karena aktifitas politik guna meraup suara saja.

Konon lagi, Aceh yang merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan Syariat Islam sebagai pedoman hidupnya, maka mestinya filantropi bukan merupakan hal yang asing bagi masyarakat Aceh. Hilman pada presentasinya dalam acara Interdiscplinary Colloquium bulanan  yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana STAIN Salatiga, menjelaskan secara singkat bagaimana substansi filantropi dalam Islam dengan menyatakan “Dalam filantropi Islam, hubungan pemberi dan penerima bukan untuk melanggengkan relasi superior-inferior, tetapi lebih pada kemitraan, partnership, sehingga hubungan dalam keseimbangan dan kesetaraan, dan karenanya dapat dihindarkan  pemberian yang disertai dengan pesan-pesan tertentu”

Pengelola filantropi bisa ditangani oleh banyak pelaku, mulai dari Negara dengan   mendirikan dan mengelola Badan Amil Zakat dll, masyarakat sipil seperti pendirian dan pengelolaan Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat, dll, dan dapat pula korporasi atau perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Beberapa lembaga Filantropi Islam yang didirikan oleh masyarakat antara lain  Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, BAZNAS, LAZISMU, Infaq Club (Dewan Dakwah), LAZISNU, PKPU, MDMC, dan banyak lagi. Persoalan yang dihadapi umat Islam negeri ini bukan pada jumlah lembaga pengelola filantropi itu sendiri, tetapi apakah dengan meningkatnya kedermawanan umat Islam dapat menjadi pendorong perubahan pada tingkat individual dan kolektif itu. Maka di sinilah letak pentingnya distribusi dan pemanfaatan dana filantropi Islam untuk kesejahteraan sosial, yang antara lain mencakup bidang kesehatan seperti klinik dan RS, dll; bidang pendidikan: sekolah, madrasah, perguruan tinggi; bidang social seperti panti asuhan, bantuan bencana, dll; dan bidang pemberdayaan ekonomi seperti koperasi, dan BMT.

Walaupun empat hal di atas merupakan tanggung jawab Negara, namun karena keterbatasan negara untuk memenuhinya, atau negara tidak memiliki kebijakan dan kemauan politik yang berpihak, maka masyarakat perlu mengambil sebagian dari peran dan tanggung jawab negara itu.

Mungkin banyak masyarakat baik secara pribadi maupun lembaga yang melakukan kegiatan filantropi di Aceh, tetapi banyak dari mereka yang tidak ingin mempublikasikannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi yang mengatasnamakan lembaga, atau pribadi yang menyalurkan amanah pihak ketiga, penting untuk dipublikasi karena sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada ‘donatur’, sedangkan yang pribadi tidak melakukan hal tersebut karena mereka tidak harus mempertanggungjawabkan kegiatannya. Kedua model ini sama-sama dermawan, semoga mereka dikaruniai kesehatan dan diberi kelapangan atas segala upaya yang mereka lakukan untuk memperbaiki situasi di lingkungan masing-masing.

Baca juga :