Mar 112017
 

Menjaring Wisatawan TimtengTarget kunjungan wisata mancanegara dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun 2016 lalu memang tidak menjadi prioritas. Dari 12 juta wisman yang diproyeksikan dari 12 negara, jika dilihat dari jumlah kunjungan yang diproyeksikan, pemerintah Indonesia memprioritaskan pada lima negara dengan jumlah di atas 1,1juta, dan tiga peringkat utama negara target yakni; Singapura (1,8 juta), Malaysia (2 juta), dan Great China sebayak 2,1 juta yang terdiri dari Tiongkok 1,7 juta, Taiwan 275 ribu, dan Hongkong 125 ribu. Tidak tanggung-tanggung, untuk membangun branding Indonesia, pemerintah menunjuk Philip Kotler (Bapak Marketing Dunia) menjadi Brand Ambassador WONDERFUL INDONESIA pada kesempatan ASEAN Marketing Summit, 9 Oktober 2015 yang lalu di Jakarta.

Adapun Timur Tengah hanya ditargetkan sebesar 300 ribu wisman persis sama dengan Amerika Serikat. Barangkali, inilah salah satu penyebab, mengapa wisman Timur Tengah tidak “menghabiskan” uang belanja wisata mereka di Indonesia, padahal dari seluruh wisatawan global, wisatawan Arab Saudi mencatat pengeluaran tertinggi saat bepergian ke luar negeri dengan catatan 6.666 dolar AS per orang setiap berlibur. Berbeda dengan pengeluaran rata-rata keluarga asal Inggris (Eropa) yang mengeluarkan biaya 5.800 dolar saat liburan tahunan. Dengan kata lain, pemerintah memang belum memprioritaskan atau memang tidak menggarap secara serius wisman Timur Tengah yang potensinya sangat menjanjikan secara ekonomi.

Saat ini, warga Bali, terutama masyarakat pariwisatanya tentu bersukacita menyambut kedatangan Raja Arab Saudi Sulaiman bin Abdulazis Al-Saud pada tanggal 4-9 Maret 2017. Enam hari kunjungan Sang Raja tersebut, bahkan menurut kabar diperpanjang beberapa hari lagi, akan menjadi momentum yang luar biasa bagi peningkatan potensi pariwisata Bali di mata dunia, terutama masyarakat Timur Tengah yang selama ini masih belum menjadikan Bali sebagai destinasi utama wisata mereka.

Tak dapat dipungkiri bahwa aura pariwisata Bali akan semakin menguat pasca kehadiran raja Salman karena seluruh chanel media-media internasional menayangkan berita dan bahkan menyediakan waktu khusus untuk membahas seluruh kegiatan rombongan raja selama berada di Indonesia. Indonesia memperoleh keuntungan promosi gratis wisata Bali untuk dunia. Setidaknya dapat mendongkrak posisi peringkat lokasi yang dianggap tempat terbaik untuk liburan dibandingkan destinasi wisata dunia lainnya, dimana menurut penelitian US News & World Report, Bali tidak masuk 10 besar, hanya mampu bertengger di posisi ke 22 berada di bawah British Virgin Islands pada peringkat 21 dan San Francisco, California di peringkat 23, sedangkan posisi teratas diraih Great Barrier Reef, Australia. Pemeringkatan ini didasarkan pada penelitian terhadap 250 tujuan destinasi wisata dunia dengan menggunakan metodologi yang menggabungkan analisis dan pendapat para ahli.

Bali bisa saja menjadi entry point bagi target Wonderful Indonesia 2017 yang ditingkatkan menjadi 15 juta wisman. Jejak Raja Salman di sepanjang pantai Bali akan menjadi salah satu monument of mind bagi pelancong dari negara-negara lain. Bahkan Bali telah pula berkomitmen mengusung wisata halal sebagai konsep pariwisatanya untuk menunjukkan sambutan hangat bagi potensi ekonomi wisman asal Timur Tengah yang selama ini hanya hinggap di Eropa.

Begitu penting kah Timur Tengah? Tentu saja peting. Hal ini bukan sesuatu yang berlebihan mengingat besarnya porsi belanja wisata dunia yang dikeluarkan oleh Timur Tengah dalam kurun waktu terakhir ini serta relevansinya dengan pertumbuhan populasi di kawasan teluk. Economist Intelligence Unit bahkan memperkirakan populasi penduduk di kawasan Teluk akan meningkat menjadi 53,5 juta jiwa pada 2020, dan 24 persen diantaranya masih berusia di bawah 15 tahun. Data tersebut menunjukkan besarnya potensi wisata keluarga di kawasan Teluk pada masa mendatang dan akan menjadi pertimbangan bagi negara-negara tujuan wisata untuk menarik perhatian wisman Timur Tengah ini.

Cahaya Aceh Redup

Sebagai daerah yang memilki potensi wisata yang luar biasa, Aceh belum mampu mendongkrak secara konsisten capaian jumlah kunjungan wisman guna membantu mendatangkan “uang tambahan” untuk memutar gerigi ekonomi Aceh. Bahkan menurut keterangan Ketua BPS Aceh Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui pintu kedatangan di Aceh pada Januari 2017 berjumlah 2.528 orang atau menurun 30,57 persen dibandingkan Desember 2016 yang berjumlah 3.641 orang. Jumlah wisman pada Januari 2017 juga menurun 56,32 persen dibandingkan Januari 2016 yang berjumlah 5.787 orang (Serambi, 2 maret 2017). Warga negara yang paling bayak mengunjungi dan yang menjadi andalan wisman di Aceh adalah Malaysia, sebagaimana kita ketahui, malaysia sendiri saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi sehingga secara otomatis berdampak pada menurunnya kunjungan warga negeri jiran tersebut ke Aceh.

Berkaitan dengan kedatangan Raja Salman ke Indonesia, kita tidak melihat dan mendengar adanya upaya-upaya serius pemerintah Aceh untuk merayu bahkan hanya untuk menyapa pemerintah pusat agar melakukan komunikasi yang lebih intens untuk me-reschedule kunjungan rombongan Raja Salman tersebut agar dimasukkan Aceh dalam daftar kunjungan mereka, sama sekali hampa dari hiruk-pikuk ini. Padahal Aceh sedang gencar-gencarnya menjual paket “The Light of Aceh”, Cahaya Aceh, sebagai upaya promosi Aceh sebagai daerah wisata. Jika Timur Tengah tidak menjadi sasaran target wisman The Light of Aceh, maka sangat disayangkan, bahwa konsep pariwisata kita masih berputar-putar pada ruang lingkup lokal, dan belum begitu mampu melihat peluang dan peta potensi ekonomi global yang selama ini semakin menjanjikan.

Indikator lain yang dapat diidentifikasi sebagai kurangnya upaya maksimal meningkatkan aksi mencari perhatian terhadap pariwisata adalah ketersediaan infrastruktur yang begitu minim seperti komponen-komponen publik yang mencakup bangunan tempat menginap yang tidak standar dan kapasitas yang kecil sehingga tidak mampu menampung orang dalam jumlah banyak baik yang diadakan oleh pemerintah maupun pihak swasta (investor). Hal ini menjadi ironi dimana di satu sisi promosi pariwisata digalakkan tetapi di sisi lain Aceh belum mampu menyediakan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang memadai untuk mendukung impelementasi pariwisata global.

Kita berharap pemerintahan Aceh ke depan harus berfikir keras agar ekonomi masyarakat dapat segera diperbaiki, salah satunya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan pariwisata bervisi global. Proyeksi pariwisata Aceh di tahun 2016 yang mematok pada jumlah 100 ribu wisman dapat diperbarui jika seluruh komponen masyarakat Aceh bahu membahu dan memiliki keinginan yang kuat membentuk branding the light of Aceh sebagai konsep pariwisata yang khusus dan khas dengan nilai-nilai ke-Aceh-an; Syariat Islam.

Pemerintah bersama dinas pariwisata atau institusi lainnya yang terkait harus dapat memotret peta ekonomi global guna melihat dan mengidentifikasi potensi-potensi belanja dunia untuk kepariwisataan serta seberapa besar porsi belanja kepariwisataan dunia dapat disedot ke Aceh. Jika kita masih gamang menghadapi dunia global karena kekhawtiran benturan kultural, maka bisa memproyeksikan target parisiwata untuk negara-negara yang nilai budaya dan norma-norma masyarakatnya masih beririsan dengan nilai dan norma serta budaya ke-Aceh-an. salah satu yang dapat dipertimbangkan barangkali adalah Timur Tengah. Tapi melihat kenyataan momen penting seperti kehadiran raja Salman ke Indonesia dan kurang responnya Aceh, dapat ditengarai sebagai redupnya Cahaya Aceh di Negeri Wahabi tersebut.

Namun demikian, Cahaya Aceh bukan menjadi alasan bahwa aktifitas-aktifitas perekonomian yang didorong dari besarnya APBA terulang lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. dengan APBA yang mencapai 12,7 triliun ternyata tidak bernyali memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat yang masih menorehkan angka pengangguran mencapai 844 Ribu dengan peringkat pertumbuhan ekonomi terburuk kedua di regional Sumatera. Hal yang sangat memalukan jika dibandingkan dengan provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang sama seperti Sumatera Barat yang hanya memiliki APBD 4,5 triliun tetapi ekonominya tumbuh mencapai 5,8% dengan jumlah pengangguran 149,69 ribu jiwa pada tahun 2016.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di kolom Opini Harian Serambi Indonesia, Sabtu, 11 Maret 2017

Baca juga :

May 312016
 

Mesin Ekonomi KotaMusim penerimaan calon mahasiswa baru telah tiba. Berdasarkan data calon mahasiswa yang mendaftar pada seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN) lima tahun terakhir mengalami peningkatan; pada tahun 2010 sebanyak 447.107, tahun 2011 sebanyak 540.928 peserta, tahun 2012 sebanyak 618.804 orang, tahun 2013 sebanyak 765.531, tahun 2014 sebanyak 777.357, dan tahun 2015 sebanyak 852.093 peserta. Angka-angka ini belum termasuk yang mendaftar ke perguruan tinggi swasta yang tersebar di seluruh kabupaten/kota yang memiliki perguruan tinggi. Data ini mengkonfirmasi betapa tingginya animo masyarakat untuk memasukkan putera-puteri mereka mengenyam pendidikan tinggi.

Dari sejumlah calon mahasiswa tersebut, Unsyiah diperkirakan memperoleh sekitar 1-3% pendaftar. Contohnya di tahun 2015 lalu, calon mahasiswa yang mendaftar di Unsyiah melalui SMPTN sebesar 22.871 dari 852.093 peserta nasional. Demikian juga UIN Ar-Ranniry melalui jalur UMPTKIN memperoleh rata-rata jumlah pendaftar yang hampir sama. Disamping perguruan tinggi negeri tersebut, tentu juga diikuti oleh keberadaan perguruan tinggi swasta yang berada di tengah-tengah Kota Banda Aceh dan menjadi perguruan tinggi swasta yang diunggulkan seperti Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA), Serambi Mekkah, U’budiyah, dll.

Banda Aceh, sebagai ibu kota provinsi menjadi tempat yang paling favorit bagi calon mahasiswa yang ingin melanjutkan studi, bukan saja dari daerah-daerah di Aceh, tetapi masyarakat luar Aceh juga sudah mulai melirik Banda Aceh sebagai kota destinasi tempat pendidikan mereka. Alasannya sangat simple, biaya pendidikan lebih murah dibandingkan dengan perguruan tinggi lain di luar Aceh, selain itu, nama Aceh menjadi nilai tawar tersendiri bagi masyarakat luar Aceh karena “keunikannya”. Muncul pertanyaan yang menarik untuk dikaji, apakah ada pengaruh keberadaan mahasiswa tersebut terhadap geliat ekonomi kota Banda Aceh? Dan bagaimana upaya yang mungkin dilakukan untuk mengapresiasi keberadaan mahasiswa tersebut, khususnya pemerintah kota Banda Aceh? Tulisan ini mencoba melihat salah satu sisi unik dari mesin ekonomi yang bernama mahasiswa.

Jumlah Mahasiswa

Aceh setidaknya memiliki 11 perguruan tinggi negeri dan 114 perguruan tinggi swasta yang terdaftar di Kopertis wilayah XIII Aceh yang terdiri dari 11 Universitas, 47 Sekolah Tinggi, 53 Akademi, dan 3 Politeknik. Dua PTN dan 46 PTS (40,35%) berada di Kota Banda Aceh, selebihnya tersebar di beberapa kabupaten/ kota di Aceh. Dari sejumalh PTN dan PTS yang berada di Kota Banda Aceh akumulasi jumlah mahasiswa seluruhnya mencapai 60.838 orang, atau 26,62% dari jumlah penduduk Kota Banda Aceh. Data ini baru merupakan data di tahun 2011. Sedangkan jumlah mahasiswa yang mendaftar kuliah ke Banda Aceh dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Bandingkan dengan jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara yang datang ke Banda Aceh dalam setahun, berdasarkan data BPS Kota Banda Aceh, pada tahun 2014 jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Aceh sebanyak 236.042 pengunjung, jika dirata-rata jumlahnya menjadi 19.670 pengunjung, hanya 32% dari jumlah mahasiswa yang datang dari luar kota Banda Aceh yang diasumsikan 50% dari jumlah mahasiswa keseluruhan.

Penggerak Ekonomi Kota

Jika diasumsikan jumlah mahasiwa di Aceh konstan saja sejak tahun 2011 tersebut, maka jumlah ini merupakan angka yang sangat fantastis. Dan jika diasumsikan 50% dari 60.838 mahasiswa tersebut adalah mahasiswa yang berasal dari daerah luar Kota Banda Aceh, maka dapat disimpulkan bahwa ada sejumlah 30.419 mahasiswa yang menjadi waga “muhajirin” di Kota Banda Aceh. Ini artinya, bahwa seluruh mahasiswa tersebut akan menerima kiriman uang dari masing-masing orang tua/ keluarga mereka di daerah-daerah.

Beberapa mahasiswa yang penulis tanya mengenai jumlah kiriman orang tua mereka, diperoleh interval angka kiriman dari orang tua mereka antara 1 – 2 juta rupiah per mahasiswa, beberapa di antaranya ada yang 3 juta di luar SPP. Dengan mengambil angka rata-rata dari nominal yang kecil saja, 1,5juta perbulan dikalikan dengan jumlah mahasiswa tersebut akan menghasilkan angka sebesar Rp. 45,6 milyar. Orang tua dan keluarga mahasiswa di desa-desa di seluruh Aceh dengan menjual tanah, sawah, hewan ternak, emas perhiasan, hasil tani, kebun dan seluruh sumber ekonomi yang mereka miliki, bahkan dengan berhutang berupaya memperoleh uang untuk dikirimkan ke putera-puteri mereka di Kota Banda Aceh.

Uang-uang yang berada di tangan mahasiswa ini “sangat liquid” dalam pengertian tingkat kecairannya untuk beredar di masyarakat sangat bahkan super cepat karena uang tersebut memang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari mahasiswa yang tak dapat ditunda. Berbeda dengan uang gaji PNS yang selama ini menjadi andalan sebagai sumber peredaran uang di masyarakat, harus diakui, gaji PNS harus mengendap karena nyaris seluruh SK PNS telah diagunkan ke bank untuk kebutuhan kredit perumahan dan barang-barang sekunder lainya sehingga setiap tanggal jatuh tempo gajian, otomatis gaji dipotong dan tidak dikirim ke PNS. Uang-uang yang berada di berbagai bank tersebut memiliki durasi yang cukup lama mengendap dan peredarannya tertunda, bahkan memungkinkan beredar di luar wilayah Aceh untuk kepentingan bisnis perbankan.

Ramainya pengunjung warung kopi di Banda Aceh merupakan salah satu fenomena yang muncul dari dampak peredaran uang-uang mahasiswa tersebut, sekaligus dapat menjawab pertanyaan masyarakat selama ini, dimana saat kondisi pertumbuhan ekonomi Aceh yang rendah pada setiap periode, baik triwulanan, maupun year on year, bahkan Aceh menempati urutan paling buruk dan juga paling kecil kontribusinya terhadap pertumbuhan di kawasan regional Sumatera, tetapi kota Banda Aceh tetap terlihat menggeliat, khususnya di kafe-kafe dan kuliner yang pelanggannya kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Paling sedikit 45 milyar lebih uang yang dikirim masyarakat desa dari tangan-tangan orang tua mahasiswa ini lah yang berperan sebagai gear menggerakkan roda ekonomi kelas menengah ke bawah di kota Banda Aceh melalui aktifitas 170 kategori Kedai Kopi, 92 Warung Kopi, dan 37 Kafe. Setiap bulan selalu ada jumlah uang yang hampir sama berpindah dari desa-desa di seluruh Aceh menuju  kota Banda Aceh. Saat liburan panjang tiba, warung-warung kopi ini semua kembali sepi, mereka berhibernasi menunggu tombol mesin ekonomi diaktifkan oleh mahasiswa yang datang membawa sejumlah uang.

Peran Pemerintah Kota

Selain sibuk dengan agenda pemerintah yang menggaungkan wisata syariah guna menggenjot peningkatan jumlah wisatawan yang datang ke kota Banda Aceh, sudah sewajarnya pemerintah kota Banda Aceh memberikan atensi yang lebih terhadap fenomena mesin ekonomi mahasiswa ini. Keberadaan perguruan tinggi di Kota Banda Aceh harus didukung dengan berbagai upaya, berperan aktif meningkatkan kualitas perguruan tinggi melalui kebijakan-kebijakan yang mendorong ke arah tersebut.

Beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya; “Memanjakan” mahasiswa dengan berbagai aktifitas yang difasilitasi pemerintahan merupakan salah satu upaya yang baik, seperti mengadakan kompetisi-kompetisi keilmuan, memfasilitasi pengadaan peralatan dan perlengkapan penunjang bagi mahasiswa yang mampu menunjukkan skill enterpreneurship, dan segala aktifitas yang dapat memotivasi mereka untuk menciptakan suatu aktifitas perekonomian yang mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah kota Banda Aceh. Upaya-upaya ini diharapkan dapat membuat peta alokasi sumber daya manusia yang tidak hanya fokus pada bidang-bidang hukum dan politik yang sebagian besar juga dijadikan sebagai penopang ekonomi rumah tangga.

Masa-masa liburan, apalagi libur panjang, kota Banda Aceh terlihat sepi dari aktifitas perekonomian, selain tidak adanya kegiatan ekonomi dari aktifitas industri, dapat dipastikan mahasiswa luar kota Banda Aceh juga pulang ke kampung mereka, bukan saja mahasiswa, masyarakat yang bukan mahasiswa juga akan pulang ke kampung. Pada saat itu pemerintah dapat mengupayakan gebyar aktifitas secara massif melalui kolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi di Kota Banda Aceh dalam bentuk kompetisi yang mengundang sejumlah utusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi diluar Aceh, setiap perguruan tinggi dilibatkan dan diberi peran berbeda. Setiap perguruan tinggi yang diberi peran akan mengundang peserta dari relasi mereka masing-masing dari luar untuk hadir ke Banda Aceh dengan membawa sejumlah uang yang akan beredar selama liburan. Setidaknya, dapat menggantikan peran mahasiswa yang sedang berlibur untuk sementara hingga liburan usai.

Kehadiran wisatawan memang penting, tetapi keberadaan mahasiswa tidak dapat diabaikan karena kontribusi mahasiswa sangat besar dan berdurasi lama. Lima tahun kuliah, seusia dengan periode kepemimpinan dalam pemerintahan.

Tulisan ini telahditerbitkan di opini Serambi Indonesia : Mesin Ekonomi Kota

Baca juga :