Jun 032017
 

wisata acehAceh masuk nominasi dalam kompetisi Pariwisata Halal tingkat Nasional 2016 yang digelar oleh Kementerian Pariwisata RI. Ada 4 (empat) kategori yang diraih Aceh dari total 15 kategori yang ada, yaitu kategori Airport ramah wisata muslim terbaik, hotel keluarga ramah wisata Muslim terbaik, daya tarik wisata terbaik dan destinasi budaya ramah wisatawan Muslim terbaik. Pada nominasi daya tarik wisata terbaik, Aceh menyumbang 3 lokasi sekaligus, yakni Museum Kapal PLTD Apung, Museum Rumah Adat dan Museum Tsunami.

Untuk membantu meningkatkan citra, pemerintah melalui dinas pariwisata gencar sekali melakukan sosialisasi vote Aceh untuk Pariwisata Halal Dunia. Selain itu pemerintah juga telah berupaya keras melakukan re-branding Aceh dengan tema The Light of Aceh atau Cahaya Aceh yang merefleksikan semangat bagi seluruh masyarakat yang disatukan melalui Syariat Islam yang Rahmatan lil‘alamiin, sebagai cahaya benderang yang mengajak pada nilai-nilai kebaikan, kemakmuran, dan memberikan manfaat serta kebaikan bagi semua pihak.

Saat penulis ikut serta dalam pelatihan digital marketing yang diselenggarakan oleh Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Muhammadiyah (LAZISMU) di Jakarta, video clip branding the light of Aceh menjadi salah satu tayangan yang menjadi bahan diskusi untuk melihat bagaimana proses branding dilakukan dan apa landasan filosopi yang dikandung dalam branding the light of Aceh tersebut memang sangat menarik karena memang dikonsep secara baik dan profesional. Sebagai warga Aceh yang menonton video tersebut dari luar daerah, tentu membanggakan.

Target jangka pendek yang ingin dicapai dari gencarnya re-branding ini adalah memenangkan kompetisi agar Aceh dapat mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi pariwisata halal Internasional World Halal Travel Award (WHTA) yang akan dilaksanakan di Dubai. Jangka panjangnya tentu saja untuk mengundang warga dunia agar berbondong-bondong datang ke Aceh dengan membawa uang untuk menambah devisa negara dan membantu menggerakkan roda ekonomi daerah. Namun, ada yang menggelitik penulis melihat gencarnya upaya branding ini jika memang targetnya adalah untuk meningkatkan pemasukan melalui kedatangan wisman ke Aceh.

Potensi Uang Beredar

Kabid Statistik Distribusi Biro Pusat Statistik (BPS) Aceh,  Darmawan menyatakan bahwa wisatawan mancanegara yang masuk ke Provinsi Aceh tercatat mencapai 2.363 orang pada Juli 2016, meningkat hingga 100,42 persen dibanding Juni lalu yang jumlahnya hanya 1.279 orang. Jika dirata-rata setiap pengunjung menghabiskan belanja 5juta – 10juta saja selama di Aceh, maka akan ada uang yang beredar di Aceh sejumlah Rp. 6,4 – 12,7 milyar dalam satu bulan tersebut.

Pada tahun 2016 ini pemerintah mentargetkan wisatawan mancanegara mencapai 100ribu dari 22ribu yang sudah terapai pada triwulan pertama 2016. Dari target ini dapat dipastikan bahwa tujuan penting yang ingin dicapai adalah meningkatkan jumlah wisatawan  yang secara otomatis berarti meningkatkan jumlah uang yang akan masuk ke Aceh. Target ini sangat wajar dan memang harus menjadi tujuan guna membantu memperlancar gerigi ekonomi.

Namun ada yang penting sekali untuk diingat agar pemerintah tidak kehilangan fokus, melempar jala di laut lepas tetapi lupa menjaring di muara. Jika meningkatkan arus uang yang masuk menjadi target penting, maka salah satu dari variabel pariwisata halal yang menjadi nominasi Aceh harus benar-benar dibenahi, yaitu akomodasi, dalam hal ini kategori ‘hotel keluarga ramah wisata Muslim terbaik’ harus dimaknai lebih luas dan serius. Karena menurut hemat penulis, untuk variabel akomodasi/ penginapan, yang menjadi fokus bukanlah sekedar pariwisata mancanegara yang kebanyakan dari mereka melakukan perjalanan dengan model backpacker, sehingga kontribusinya terhadap peningkatan jumlah orang yang menginap tentu terbilang kecil. Tetapi hotel/akomodasi juga harus dipertimbangkan sebagai tempat yang secara kuantitas dan kualitas memenuhi kriteria untuk even-even yang bersifat nasional. Dan Aceh sama sekali belum memiliki ini baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Untuk kasus ini, penulis hanya menampilkan akomodasi untuk Banda Aceh.

Berdasarkan data direktori hotel dan akomodasi yang dirilis BPS tahun 2016, di Banda Aceh terdapat 54 hotel dengan 2061 jumlah kamar dan 3838 jumlah tempat tidur. Dari 54 hotel tersebut terdiri dari hanya satu hotel bintang empat, 6 hotel dengan kategori bintang tiga, 2 kategori bintang dua, dan 2 kategori bintang satu, sisanya 43 masih dalam kategori Melati ke bawah. Artinya, untuk even-even nasional yang membutuhkan akomodasi berstandar, Banda Aceh hanya mampu menampung 1287 peserta, itu pun sudah digabung hotel bintang empat dengan tiga, atau jika ditambah dengan bintang dua, menjadi 1369 tempat tidur. Jumlah ini tentu belum mencukupi jika harus menghadirkan peserta pada even-even nasional yang aktifitasnya harus in door seperti simposium nasional yang secara rutin diselenggarakan oleh lembaga-lembaga profesi.

Sebagai perbandingan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyelenggarakan Pekan Ilmiah Tahunan yang selalu menghadirkan peserta dalam jumlah yang sangat besar dan membutuhkan akomodasi yang memadai. PIT ke 7 IDAI diselenggarakan di Surabaya pada tahun 2015 lalu diikuti oleh dokter anak seluruh Indonesia plus residen yang presentasi poster dengan jumlah peserta lebih kurang 3.000 (tiga ribu) orang, ini belum termasuk yang membawa serta keluarga. Hampir dapat dipastikan, sangat sedikit dari peserta ini yang tidak membawa keluarga. Jika diasumsikan setiap peserta membawa seorang isteri/suami dan seorang anak, maka terdapat sekitar 9000 orang yang hadir dan dalam even tesebut. Asumsikan saja setiap keluarga mengeluarkan uang untuk belanja masing-masing minimal 15juta untuk beli oleh-oleh dan wisata kota, kuliner, dan lain-lain, maka akan ada uang beredar sebesar lebih kurang 45 milyar dalam rentang waktu 4 hari kegiatan tersebut di kota Surabaya. 45 milyar uang ini akan berdampak luar biasa bagi masyarakat sekitar, mulai dari penjual nasi, taxi, souvenir, oleh-oleh kuliner, tukang becak, bahkan para pemulung pun ikut panen dari sampah-sampah yang dihasilkan 9000 peserta.

Pada minggu yang sama di kabupaten lain di provinsi yang sama, yaitu Malang, Jawa Timur, pramuka dari siswa SD hingga SMA-IT menyelenggarakan kemah nasional dengan jumlah peserta 8.749 dari Indonesia, 318 dari Malaysia, dan 6 orang dari Thailand. Dengan asumsi setiap anak diberi jajan 1juta saja, maka terdapat uang yang beredar sebesar Rp. 9 milyar. Jika ditotal dalam satu minggu tersebut, hanya untuk dua even itu saja, maka terdapat uang beredar sebesar hampir 54milyar.

Jangan Kehilangan Momen

Perbandingan data ini hanya untuk IDAI saja, belum lagi Pekan Ilmiah Tahunan spesialis Bedah, dan lembaga-lembaga profesi lainnya. Mengapa Aceh tidak pernah dilirik oleh lembaga-lembaga profesi yang berkapasitas besar ini? Padahal masyarakat Indonesia sangat tinggi keinginannya untuk datang ke Aceh. Hal ini dikarenakan Aceh belum mampu menyediakan akomodasi yang memadai untuk even-even sebesar ini, sehingga kegiatan pekan ilmiah tahunan ini biasanya diselenggarakan di Jakarta, Yogya, Makassar, Surabaya, dan kota-kota lainnya yang memiliki kapasitas penampungan peserta dalam jumlah besar dan representatif. Selain itu tentu saja keamanan, kenyamanan dan sikap masyarakat setempat.

Pemerintah harus berfikir strategis untuk mengoptimalkan kekuatan ekonomi melalui upaya-upaya selain wisatawan nusantara, juga mempersiapkan diri untuk dipecaya menjadi tempat penyelenggaraan even-even nasional yang berkapasitas besar. Jika tidak, maka Aceh kehilangan banyak moment dan energi untuk hal yang barangkali sulit untuk kita masuki dalam persaingan. Hal ini bukan berarti Aceh tidak boleh berkompetisi untuk merebut pasar wisman, tentu saja boleh, namun lebih baik fokus menggarap core competence dan core business yang terukur dan sangat memungkinkan untuk diraih.

PENAS-KTNA VX yang rencananya akan diselenggarakan di Aceh pada tanggal 6 – 11 Mei 2017 di Banda Aceh, merupakan salah satu momen penting yang harus diapresiasi masyarakat Aceh sebagai tuan rumah karena akan dihadiri lebih kurang 50ribu peserta. Jumlah ini memecahkan rekor even nasional setelah Mukatamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada tahun 1995 yang menghadirkan peserta dan penggembira mencapai 30ribu muktamirin yang ditempatkan di rumah-rumah penduduk masyarakat di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, bangunan sekolah serta kantor-kantor pemerintah.

Oct 112016
 

provider-produk-halalDalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan Islam, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Menurut the Almanac Books of facts, pertumbuhan ummat Islam mencapai 235%, atau lima kali lipat laju pertumbuhan Kristen yang hanya 46%, dengan prediksi bahwa di tahun 2030 kelak 1 dari 3 penduduk dunia adalah muslim. Konsekuensi dari kondisi ini adalah permintaan terhadap produk-produk halal secara global dipastikan juga meningkat.

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakt non-muslim.

Dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Aceh dan Syariat Islam

Sebagai salah satu provinsi yang memiliki keistimewaan, Aceh telah mendeklarasikan diri sebagai wilayah syariat Islam. Wisata Halal bukanlah menjadi hambatan sama sekali, bahkan bisa menjadi modal utama dalam merespon kondisi global yang semakin menuntut tersedianya produk halal.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan syariah Islam di Aceh selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Namun demikian, konteks syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh bukan lah sekedar mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah semata, tetapi juga harus fokus pada pengaturan muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan; seperti jual-beli, sewa, dsb (Munawwir, 1997). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (hablunminannas), hubungan manusia dengan alam, ekonomi, termasuk sistem dan mekanisme perdagangan dan bisnis sudah harus menjadi pembahasan serius.

Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang diturunkan dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3ribu trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Aceh, sebaliknya, Aceh juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi dengan status Aceh sebagai daerah Syariat Islam, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. Memperkenalkan Aceh sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Aceh sangat indah. Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan wrga dunia untuk berkunjung ke Aceh.

Sangat disayangkan, label syariah yang kita miliki tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global.

Artikel ini telah dimuat di kolom Opini Harian Serambi Indonesia tanggal 11 Oktober 2016. Dapat diakses disini

Baca juga :

Sep 262016
 

wisata-halal-dan-islamofobiaData yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2015 mencatat bahwa penduduk mancanegara yang berkunjung ke Indonesia (wisatawan mancanegara dalam arti luas) mencapai 10,41 juta kunjungan, dengan rincian 9,73 juta kunjungan wisatawan mancanegara reguler, 370.869 kunjungan warga negara asing (WNA) yang memasuki wilayah Indonesia melalui Pos Lintas Batas (PLB), serta 306.540 merupakan kunjungan singkat WNA atau kunjungan khusus lainnya.

Data kunjungan ini masih sulit diidentifikasi karena pencatatannya dilakukan secara umum, sehingga tidak dapat diketahui jenis kunjungan untuk kepentingan apa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Pengamat Pariwisata Ida Bagus Surakusuma, yang menyatakan bahwa pencatatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia masih dicampur penduduk mancanegara di pos lintas batas.

Walau demikian, setidaknya kita masih dapat mengetahui besaran devisa yang masuk atas kunjungan wisman tersebut. Di tahun 2015 jumlah kunjungan wisman sebanyak 10 juta; jumlah perjalanan wisnus 255 juta; kontribusi pariwisata terhadap PDB Nasional sebesar 4%; devisa yang dihasilkan sekitar Rp 155 triliun, dan lapangan kerja yang diciptakan sebanyak 11,3 juta ; angka indek daya saing naik signifikan 20 poin menjadi ranking 50 dari 141 negara. Dan ditahun 2016 ditargetkan mencapai 12juta kunjungan dengan proyeksi devisa 172 trilyun, kontribusi pariwisata naik menjadi 5%, hanya 1% dari tahun sebelumnya. Ini tentu angka yang sangat pesimistis jika dilihat dari potensi wisata luar biasa yang dimiliki Indonesia. Salah satu kelemahan yang terlhat dari rasa pesimis ini disebabkan karena tidak adanya data statistik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bentuk, jenis dan ragam wisata yang berlangsung di Indonesia, sehingga dalam kampanye pariwisata tidak menyentuh pada sasaran yang benar-benar memiliki potensi belanja wisata yang optimal sesuai segmentasi pasar yang ada. Jenis pariwisata saat ini semakin beragam dan memiliki pasar yang semakin tersegmentasi. Salah satu pasar wisata global yang memiliki potensi belanja yang besar adalah wisata halal.

Dalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan berpenduduk muslim, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat non-muslim.

Selain fenomena pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia, dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan Perda yang ditengarai berbau syariah di beberapa daerah selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Faktanya memang segmentasi pasar syariah tumbuh sangat pesat sehingga permintaan terhadap produk-produk halal otomatis semakin meningkat. Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda berbau syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang lahir dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3.000 trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia. Belum lagi untuk belanja muslim di luar dua kawasan tersebut sebagaimana data pertumbuhan ummat Islam dunia di atas.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Indonesia, sebaliknya, Indonesia juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah adalah; (1) membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. (2) Memperkenalkan potensi wisata Indonesia sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Indonesia dengan seluruh cakupan wilayahnya sangat indah yang juga dihuni oleh warga yang ramah. (3) Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke tempat-tempat destinasi wisata di seluruh Indonesia dengan perasaan aman dan nyaman. (4) tidak terjebak pada perangkap isu-isu islamofobia yang kecenderungannya dalam perspektif bisnis ingin mengalihkan potensi pasar syariah ke negara-negara lain yang.

Sangat disayangkan, jika Indonesia tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat dalam perspektif bisnis syariah. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global. Issu-issu islmaofobia yang dihembuskan, mestinya kita tengarai sebagai upaya untuk meruntuhkan percaya diri masyarakat bisnis Indonesia yang ingin bergelut dalam bisnis halal, karena kenyataan yang kita lihat saat ini, produk-produk halal (syariah) diproduksi oleh negara-negara lain yang penduduknya bukan mayoritas muslim. Jadi, tidak perlu “inferior” dengan label halal atau syariah, karena inferioritas yang tertanam dalam diri masyarakat Indonesia justeru dimanfaatkan oleh negara lain untuk memperkuat superior mereka dalam konteks bisnis halal/syariah.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan. Epaper Waspada dapat diakses melalui link Waspada

Baca juga

Jul 262016
 

wisataHalalDalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan Islam, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Menurut the Almanac Books of facts, pertumbuhan ummat Islam mencapai 235%, atau lima kali lipat laju pertumbuhan Kristen yang hanya 46%, dengan prediksi bahwa di tahun 2030 kelak 1 dari 3 penduduk dunia adalah muslim. Konsekuensi dari kondisi ini adalah permintaan terhadap produk-produk halal secara global dipastikan juga meningkat.

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakt non-muslim.

Dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Aceh dan Syariat Islam

Sebagai salah satu provinsi yang memiliki keistimewaan, Aceh telah mendeklarasikan diri sebagai wilayah syariat Islam. Wisata Halal bukanlah menjadi hambatan sama sekali, bahkan bisa menjadi modal utama dalam merespon kondisi global yang semakin menuntut tersedianya produk halal.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan syariah Islam di Aceh selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Namun demikian, konteks syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh bukan lah sekedar mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah semata, tetapi juga harus fokus pada pengaturan muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan; seperti jual-beli, sewa, dsb (Munawwir, 1997). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (hablunminannas), hubungan manusia dengan alam, ekonomi, termasuk sistem dan mekanisme perdagangan dan bisnis sudah harus menjadi pembahasan serius.

Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang diturunkan dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3ribu trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Aceh, sebaliknya, Aceh juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi dengan status Aceh sebagai daerah Syariat Islam, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. Memperkenalkan Aceh sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Aceh sangat indah. Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke Aceh.

Sangat disayangkan, label syariah yang kita miliki tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global.

Baca juga:

May 282015
 

Berikut daftar terlengkap jarak antar kota dalam Provinsi Aceh dalam Kilometer. Dalam tabel ini tidak disertakan Sabang karena untuk mencapai Sabang harus menyebarangi laut menggunakan kapal cepat dan ferry melalui Pelabuhan Ulhee Lheue Kota Banda Aceh. Jarak Banda Aceh – Sabang adalah 22,5 km, atau kira-kira 14 Mi, dengan waktu tempuh 45 menit menggunakan kapal cepat, dan 2 jam jika dengan kapal ferry.

jarakantarkotaAceh

Baca juga :