Aceh masuk nominasi dalam kompetisi Pariwisata Halal tingkat Nasional 2016 yang digelar oleh Kementerian Pariwisata RI. Ada 4 (empat) kategori yang diraih Aceh dari total 15 kategori yang ada, yaitu kategori Airport ramah wisata muslim terbaik, hotel keluarga ramah wisata Muslim terbaik, daya tarik wisata terbaik dan destinasi budaya ramah wisatawan Muslim terbaik. Pada nominasi daya tarik wisata terbaik, Aceh menyumbang 3 lokasi sekaligus, yakni Museum Kapal PLTD Apung, Museum Rumah Adat dan Museum Tsunami.
Untuk membantu meningkatkan citra, pemerintah melalui dinas pariwisata gencar sekali melakukan sosialisasi vote Aceh untuk Pariwisata Halal Dunia. Selain itu pemerintah juga telah berupaya keras melakukan re-branding Aceh dengan tema The Light of Aceh atau Cahaya Aceh yang merefleksikan semangat bagi seluruh masyarakat yang disatukan melalui Syariat Islam yang Rahmatan lil‘alamiin, sebagai cahaya benderang yang mengajak pada nilai-nilai kebaikan, kemakmuran, dan memberikan manfaat serta kebaikan bagi semua pihak.
Saat penulis ikut serta dalam pelatihan digital marketing yang diselenggarakan oleh Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Muhammadiyah (LAZISMU) di Jakarta, video clip branding the light of Aceh menjadi salah satu tayangan yang menjadi bahan diskusi untuk melihat bagaimana proses branding dilakukan dan apa landasan filosopi yang dikandung dalam branding the light of Aceh tersebut memang sangat menarik karena memang dikonsep secara baik dan profesional. Sebagai warga Aceh yang menonton video tersebut dari luar daerah, tentu membanggakan.
Target jangka pendek yang ingin dicapai dari gencarnya re-branding ini adalah memenangkan kompetisi agar Aceh dapat mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi pariwisata halal Internasional World Halal Travel Award (WHTA) yang akan dilaksanakan di Dubai. Jangka panjangnya tentu saja untuk mengundang warga dunia agar berbondong-bondong datang ke Aceh dengan membawa uang untuk menambah devisa negara dan membantu menggerakkan roda ekonomi daerah. Namun, ada yang menggelitik penulis melihat gencarnya upaya branding ini jika memang targetnya adalah untuk meningkatkan pemasukan melalui kedatangan wisman ke Aceh.
Potensi Uang Beredar
Kabid Statistik Distribusi Biro Pusat Statistik (BPS) Aceh, Darmawan menyatakan bahwa wisatawan mancanegara yang masuk ke Provinsi Aceh tercatat mencapai 2.363 orang pada Juli 2016, meningkat hingga 100,42 persen dibanding Juni lalu yang jumlahnya hanya 1.279 orang. Jika dirata-rata setiap pengunjung menghabiskan belanja 5juta – 10juta saja selama di Aceh, maka akan ada uang yang beredar di Aceh sejumlah Rp. 6,4 – 12,7 milyar dalam satu bulan tersebut.
Pada tahun 2016 ini pemerintah mentargetkan wisatawan mancanegara mencapai 100ribu dari 22ribu yang sudah terapai pada triwulan pertama 2016. Dari target ini dapat dipastikan bahwa tujuan penting yang ingin dicapai adalah meningkatkan jumlah wisatawan yang secara otomatis berarti meningkatkan jumlah uang yang akan masuk ke Aceh. Target ini sangat wajar dan memang harus menjadi tujuan guna membantu memperlancar gerigi ekonomi.
Namun ada yang penting sekali untuk diingat agar pemerintah tidak kehilangan fokus, melempar jala di laut lepas tetapi lupa menjaring di muara. Jika meningkatkan arus uang yang masuk menjadi target penting, maka salah satu dari variabel pariwisata halal yang menjadi nominasi Aceh harus benar-benar dibenahi, yaitu akomodasi, dalam hal ini kategori ‘hotel keluarga ramah wisata Muslim terbaik’ harus dimaknai lebih luas dan serius. Karena menurut hemat penulis, untuk variabel akomodasi/ penginapan, yang menjadi fokus bukanlah sekedar pariwisata mancanegara yang kebanyakan dari mereka melakukan perjalanan dengan model backpacker, sehingga kontribusinya terhadap peningkatan jumlah orang yang menginap tentu terbilang kecil. Tetapi hotel/akomodasi juga harus dipertimbangkan sebagai tempat yang secara kuantitas dan kualitas memenuhi kriteria untuk even-even yang bersifat nasional. Dan Aceh sama sekali belum memiliki ini baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Untuk kasus ini, penulis hanya menampilkan akomodasi untuk Banda Aceh.
Berdasarkan data direktori hotel dan akomodasi yang dirilis BPS tahun 2016, di Banda Aceh terdapat 54 hotel dengan 2061 jumlah kamar dan 3838 jumlah tempat tidur. Dari 54 hotel tersebut terdiri dari hanya satu hotel bintang empat, 6 hotel dengan kategori bintang tiga, 2 kategori bintang dua, dan 2 kategori bintang satu, sisanya 43 masih dalam kategori Melati ke bawah. Artinya, untuk even-even nasional yang membutuhkan akomodasi berstandar, Banda Aceh hanya mampu menampung 1287 peserta, itu pun sudah digabung hotel bintang empat dengan tiga, atau jika ditambah dengan bintang dua, menjadi 1369 tempat tidur. Jumlah ini tentu belum mencukupi jika harus menghadirkan peserta pada even-even nasional yang aktifitasnya harus in door seperti simposium nasional yang secara rutin diselenggarakan oleh lembaga-lembaga profesi.
Sebagai perbandingan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyelenggarakan Pekan Ilmiah Tahunan yang selalu menghadirkan peserta dalam jumlah yang sangat besar dan membutuhkan akomodasi yang memadai. PIT ke 7 IDAI diselenggarakan di Surabaya pada tahun 2015 lalu diikuti oleh dokter anak seluruh Indonesia plus residen yang presentasi poster dengan jumlah peserta lebih kurang 3.000 (tiga ribu) orang, ini belum termasuk yang membawa serta keluarga. Hampir dapat dipastikan, sangat sedikit dari peserta ini yang tidak membawa keluarga. Jika diasumsikan setiap peserta membawa seorang isteri/suami dan seorang anak, maka terdapat sekitar 9000 orang yang hadir dan dalam even tesebut. Asumsikan saja setiap keluarga mengeluarkan uang untuk belanja masing-masing minimal 15juta untuk beli oleh-oleh dan wisata kota, kuliner, dan lain-lain, maka akan ada uang beredar sebesar lebih kurang 45 milyar dalam rentang waktu 4 hari kegiatan tersebut di kota Surabaya. 45 milyar uang ini akan berdampak luar biasa bagi masyarakat sekitar, mulai dari penjual nasi, taxi, souvenir, oleh-oleh kuliner, tukang becak, bahkan para pemulung pun ikut panen dari sampah-sampah yang dihasilkan 9000 peserta.
Pada minggu yang sama di kabupaten lain di provinsi yang sama, yaitu Malang, Jawa Timur, pramuka dari siswa SD hingga SMA-IT menyelenggarakan kemah nasional dengan jumlah peserta 8.749 dari Indonesia, 318 dari Malaysia, dan 6 orang dari Thailand. Dengan asumsi setiap anak diberi jajan 1juta saja, maka terdapat uang yang beredar sebesar Rp. 9 milyar. Jika ditotal dalam satu minggu tersebut, hanya untuk dua even itu saja, maka terdapat uang beredar sebesar hampir 54milyar.
Jangan Kehilangan Momen
Perbandingan data ini hanya untuk IDAI saja, belum lagi Pekan Ilmiah Tahunan spesialis Bedah, dan lembaga-lembaga profesi lainnya. Mengapa Aceh tidak pernah dilirik oleh lembaga-lembaga profesi yang berkapasitas besar ini? Padahal masyarakat Indonesia sangat tinggi keinginannya untuk datang ke Aceh. Hal ini dikarenakan Aceh belum mampu menyediakan akomodasi yang memadai untuk even-even sebesar ini, sehingga kegiatan pekan ilmiah tahunan ini biasanya diselenggarakan di Jakarta, Yogya, Makassar, Surabaya, dan kota-kota lainnya yang memiliki kapasitas penampungan peserta dalam jumlah besar dan representatif. Selain itu tentu saja keamanan, kenyamanan dan sikap masyarakat setempat.
Pemerintah harus berfikir strategis untuk mengoptimalkan kekuatan ekonomi melalui upaya-upaya selain wisatawan nusantara, juga mempersiapkan diri untuk dipecaya menjadi tempat penyelenggaraan even-even nasional yang berkapasitas besar. Jika tidak, maka Aceh kehilangan banyak moment dan energi untuk hal yang barangkali sulit untuk kita masuki dalam persaingan. Hal ini bukan berarti Aceh tidak boleh berkompetisi untuk merebut pasar wisman, tentu saja boleh, namun lebih baik fokus menggarap core competence dan core business yang terukur dan sangat memungkinkan untuk diraih.
PENAS-KTNA VX yang rencananya akan diselenggarakan di Aceh pada tanggal 6 – 11 Mei 2017 di Banda Aceh, merupakan salah satu momen penting yang harus diapresiasi masyarakat Aceh sebagai tuan rumah karena akan dihadiri lebih kurang 50ribu peserta. Jumlah ini memecahkan rekor even nasional setelah Mukatamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada tahun 1995 yang menghadirkan peserta dan penggembira mencapai 30ribu muktamirin yang ditempatkan di rumah-rumah penduduk masyarakat di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, bangunan sekolah serta kantor-kantor pemerintah.