Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yang diizinkan oleh pemerintah memiliki tanah hak milik melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 14/DDA/1972 tentang Penunjukan Persyarikatan Muhammadiyah Sebagai Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik.
Surat Keputusan tersebut sekaligus mengisyaratkan, bahwa seluruh aset Persyarikatan Muhammadiyah diseluruh Indonesia, baik yang diperoleh melalui wakaf atau pun non wakaf harus didaftarkan atas nama Peryarikatan Muhammadiyah, dengan demikian Muhammadiyah telah melakukan antisipasi dini terhadap hal-hal terkait sengketa tanah di kemudian hari.
Kegiatan Muhammadiyah hampir tidak bisa terpisahkan dari unsur perwakafan tanah, karena tingginya kepercayaan masyarakat terhadap Muhammadiyah dalam pengelolaan harta wakaf, maka dibentuk suatu majelis yang khusus menangani hal tersebut, yakni Majelis Wakaf dan Kehartabendaan. Berdasarkan hasil Muktamar ke-45 di Malang 2005, nomenklatur tersebut diubah menjadi Majelis Wakaf dan Zakat Infaq dan Shadaqah (ZIS), dan kemudian disaat Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta nomenklatur tersebut berubah kembali menjadi semula (Majelis Wakaf dan Kehartabendaan).
Muhammadiyah secara nasional memiliki hampir 30 juta meter persegi tanah di seluruh Indonesia. Luas tanah tersebut 40 kali lipat luas negara Singapure yang hanya 725,70 Km persegi. Muhammadiyah Aceh, sebagai salah satu jenjang kepemimpinan di tingkat wilayah, secara hirarki keorganisasian disebut Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, memiliki 2,4 juta meter persegi atau 8% dari luas tanah secara nasional. Tanah Muhammadiyah di Aceh terdiri dari 70% tanah wakaf, sedangkan 40% dibeli oleh Muhammadiyah melalui dana iuran warga Muhammadiyah.
Pemanfaatan Wakaf
Muhammadiyah, hingga 2020 masih memperoleh tanah wakaf dari masyarakat untuk dikelola menjadi amal usaha yang produktif. Wakaf produktif adalah harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf, seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk diambil airnya dan lain-lain (Mundzir Qahar, 2005:5).
Menurut Agustianto dalam Choiriah (2017), wakaf produktif juga dapat didefenisikan sebagai harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik dibidang pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa yang menfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih dari hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf.
Di atas tanah milik Muhammadiyah umumnya berdiri amal usaha dalam berbagai bentuk mulai dari perkebunan, pertanian dan usaha peternakan serta lembaga pendidikan, masjid, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain. Sebagian amal usaha tersebut didirikan berdasarkan permintaan wakif, selebihnya inisiatif organisasi yang diputuskan berdasarkan musyawarah dan hasil analisis kebutuhan lingkungan setempat.
Secara nasional, di atas tanah Muhammadiyah telah berdiri sekurangnya 19.951 sekolah, 13.000 masjid dan mushola, 765 bank perkreditan rakyat syariah, 635 panti asuhan, 457 rumah sakit dan klinik, 437 baitul mal, 176 universitas dan 102 pondok pesantren.
Demikian juga tanah Muhammadiyah di Aceh di atasnya telah didirikan 79 sekolah tingkat dasar dan menengah umum, dengan rincian 45 TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal), 14 SDM, 14 SMPM, 5 SMUM, 1 STMM, 46 lembaga Pendidikan Agama yang terdiri dari 3 TPA, 4 MIM, 7 MTsM, 3 MAM, 28 Diniyyah, 2 Dayah, 3 Lembaga Pendidikan Kejuruan, 11 Lembaga Pendidikan Tinggi dalam bentuk Akademi, Sekolah Tinggi dan Universitas, dan 147 rumah ibadah dengan rincian 58 masjid dan 89 mushalla.
Artikel ini sudah dimuat di halaman situs khusus wakaf :
https://www.wakafnews.com/2020/12/harta-wakaf-muhammadiyah-aceh.html