Di Indonesia ini banyak Pahlawan. Ada pahlawan karena membela tanah air, mereka telah gugur demi kemerdekaan Indonesia. Ada Pahlawan di bidang pendidikan, disebut pahlawan tanpa tanda jasa, para guru. Selain itu ada juga Pahlawan Devisa, mereka adalah Tenaga Kerja Indonesia, TKI.
Menurut informasi yang disampaikan oleh Kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), M. Jumhur Hidayat, pada tahun 2013, jumlah TKI yang berada di seluruh negara-negara yang ada di dunia ini sudah mencapai 6,5 juta. Jumlah tersebut tersebar di 142 negara. Untuk diketahui, jumlah seluruh negara yang ada dalam data PBB adalah 149 negara, ini artinya, TKI ada dimana-mana, ada di hampir seluruh negara di dunia. Jumlah tersebut sudah sama dengan jumlah penduduk Aceh dan Sumatera Barat, atau hampir mencapai jumlah penduduk satu provinsi Sumatera Selatan, 7,4 juta jiwa.
Para TKI meninggalkan tanah air untuk mencari pekerjaan karena lapangan kerja di tanah air tidak mampu menampung mereka. Di luar negeri para TKI bekerja keras menghasilkan uang dan mengirimkannya ke keluarga mereka di tanah air, atau sering dikenal dengan istilah remitensi. Indonesia memperoleh devisa mencapai 12 triliun dari remitensi TKI yang menyebar di 142 negara. Karena sumbangannya yang begitu besar terhadap devisa negara, dan sangat besar pengaruhnya bagi tekanan terhadap difisit neraca pembayaran. Jadilah TKI sebagai Pahlawan Devisa, dan ini pula lah alasannya mengapa TKI harus dilindungai oleh pemerintah.
Sebaliknya, di negara kita juga ada TKA, Tenaga Kerja Asing,yang bekerja dan mencari nafkah di Indonesia, kemudian hasil pekerjaan mereka juga akan dikirim ke negaranya masing-masing. Di tahun 2013, jumlah TKA di Indonesia mencapai 68.957 TKA, dan perlu diingat, bahwa kualifikasi TKA dan TKI sangat berbeda. Indonesia mengirim tenaga kerja dengan kualifikasi sangat rendah ke luar negeri, sementara, TKA yang masuk ke Indonesia adalah tenaga kerja profesional, sehingga, seperti dikatakan Faisal Basri, Upah yang diperoleh TKA 12 kali lipat upah yang diterima oleh TKI yang dibawa pulang ke tanah air.
Secara sepihak memang remitensi 12 triliun itu sangat besar, tetapi jika dibandingkan sisi keberadaan TKA di Indonesia, tentu sangat tidak berimbang. Situasi ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita, ke depan, TKI yang dikirim harus semakin meningkat kualifikasinya dengan memberlakukan tingkat pendidikan dan skill yang harus dimiliki TKI agar mereka bisa ditempatkan sebagai pekerja-pekerja profesional yang memiliki kualifikasi tinggi dan memperoleh upah yang tinggi pula.
Disamping itu, keberadaan TKA harus terus dibatasi dan pemerintah mengeluarkan kebijakan agar TKA bersedia mentransfer keahlian mereka bagi tenaga-tenaga kerja di Indonesia sehingga kualifikasi dan kualitas tenaga kerja di Indonesia semakin meningkat dan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tersebut tak perlu lagi harus mendatangkan tenaga ahli dari luar. Ini adalah bentuk dan upaya pemerintah yang dirasa menghargai label pahlawan pada TKI, bukan sekedar memuji mereka tanpa perlindungan dan tidak berupaya untuk memberikan pendidikan keterampilan guna meningkatkan kualitas dan kualifikasi untuk diakui sebagai tenaga kerja yang berupah tinggi di negara lain.
Kita tentu berharap, suatu saat, Indonesia akan memiliki tenaga ahli berlimpah, sehingga bisa dikirimkan ke luar negeri sebagai pekerja profesional yang dihargai tinggi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Di dalam negeri, kita tak punya lagi tenaga-tenaga yang tidak terampil, kualifikasinya semua di atas rata-rata, sehingga untuk menciptakan barang dengan harga murah, impor saja TKA sebagai buruh pabriknya 🙂
Baca juga :
Ekonomi Aceh: Ibarat Mesin Tanpa Oli