Jika anda ke Medan, jangan terkaget-kaget dengan gaya bahasa disana, terkesan kasar dan kurang santun bagi sebagian besar pendatang baru. Sebagian wilayah Aceh yang berbatasan dengan Sumut pun punya gaya bahasa yang sama, seperti daerah Subulussalam dan Aceh Singkil di bagian Selatan dan Tamiang dan Langsa di bagian Timur, serta Aceh Tenggara dan Gayo Lues di bagian Tenggara.
Selain gaya bahasa dan intonasi yang tinggi, banyak bahasa anak Medan memang agak “jorok”, tetapi tidak dimaksudkan untuk hal yang jorok, melainkan semata-mata hanya ungkapan untuk melepas kekesalan saja. Sebut saja kata-kata seperti ‘anjing, babi, kimak, mamakmu, bahkan sampai penyebutan alat kelamin pun menjadi biasa. Biasa dalam arti, lawan bicara yang mendengar umpatan itu tidak akan marah dan membalas karena setelah mengatakan itu, biasanya suasana yang tadi tegang bisa menjadi dingin karena sudah dilampiaskan, intinya menghindari pelampiasan fisik.
satu ketika salah satu teman saya minta kereta (di Medan kereta adalah sebutan untuk kendaraan roda dua, kadang juga menyebutnya Honda) ke ibunya. Lantas ibunya bertanya, “kereta yang cemana mau kau?”, “Sebentar ya mak, kalok lewat kutunjukkan sama mamak nanti”, jawab teman saya ini. Setelah meperhatikan lalu lalang beberapa kendaraan, teman saya ini menunjuk salah satu kereta idolanya, “Haaa.. yang itu lah mak”, “Owhh.. Berapa rupanya harga kereta itu”. Dengan suara agak berat teman saya ini menjawab, 200juta mak”.
“Haaa… Pukimakmu lah.. Tak usah lah kau pake kereta”, dengan kesal mamak teman saya ini bergegas masuk ke rumah sambil merepet panjang.
Bayangkanlah… Dialog itu terkesan kasar dan tak santun, tapi itu biasa di Medan, TST lah pokonya.. Hehee…
Bagaimana di dunia bisnis? Khususnya kafe-kafe tempat nongkrong anak muda? Ya.. Lebih kurang sama… Mereka juga punya bahasa khusus yang dibuat untuk memudahkan pelanggan mengingat, memudahkan pelayan meneriakkan pesanan kepada barista, dan membuat kesan unik bagi produk-produk mereka. Entah ini didapat dari teori marketing mengenai teori differensiasi, entah karena tidak sengaja, atau intuisi saja. Yang jelas ada memang teori marketing yang mengajukan konsep differensiasi produk saat usaha akan terjun ke tahap decline karena mendapat gangguan dari pesaing. Tapi ini diferensiasinya bukan pada produk, melainkan nama produknya.
Kalau anda pesan es teh manis/teh manis dingin, cukup teriakkan “Mandi”. Milo Dingin cukup katakan Melodi, Lemon tea dingin cukup dengan Eltidi, SD untuk Sanger Dingin, SP Sanger Panas, Basu untuk Badak Susu, dll.
Yang baru saja saya dengar dan membuat saya ngakak adalah saat salah seorang pelanggan berteriak sambil melambaikan tangannya ke pelayan kafe, “Telor Setengah MASUK, satu”. Sontak saya menoleh sambil melepas tawa geli… Beberapa saat kemudian saya lihat pelayan membawa nampan berisi gelas kecil, rupanya pelanggan tadi memesan telor setengah matang/masak. Ini Medan bung…!!!