Apr 202015
 

spektrum pasarSpektrum Pasar

Ian Bremmer dalam bukunya The End of The Free Market mengilustrasikan bagaimana sebuah negara memposisikan diri dalam perspektif yang dia sebut spektrum pasar, lebih spesifik, Bremmer ingin menjelaskan di batas mana sebuah negara dapat dikategorikan, antara Kapitalis negara dan negara pasar bebas. Walaupun beliau sendiri dalam penjelasan berikutnya menekankan bahwa tidak ada tirai besi yang memisahkan keduanya – antara kapitalis negara dan negara pasar bebas – dalam dua kubu yang saling berhadapan, dengan kata lain, perbedaannya tidak jelas.

Spektrum pasar merupakan gambaran ideologi ekstrim untuk peran negara dalam suatu perekonomian dimana jika ditarik garis horizontal maka titik ekstrim ini akan berhadapan antara ujung yang satu dengan ujung yang lain, ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Pada posisi ekstrim kiri adalah tempat bertenggernya Komunisme Utopia, artinya negara memiliki kendali mutlak atas sistem perekonomian yang tak dapat diintervensi oleh pihak lain, dan tidak tunduk sama sekali kepada mekanisme pasar. Hingga saat ini, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menerapkan sistem seketat ini karena bagaimanapun akan ada black market yang akan ikut bermain untuk memasok kebutuhan masyarakat di negara bersangkutan. Jika dianalogikan pada sebuah permainan, maka situasi ekstrim kiri ini, ibarat permainan yang kendalinya mutlak ditentukan oleh wasit.

Sementara pada ujung yang satu lagi, ekstrim kanan, terdapat Libertarianisme Utopia. Ekstrim ini sebaliknya menafikan keberadaan pemerintah sama sekali – tidak ada pemerintah – bahkan tidak ada pihak-pihak lain yang mampu mengatur, mengelola, ataupun mencampuri kegiatan pasar dengan cara apa pun. Semua diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Ibarat permainan yang berlangsung tanpa wasit sama sekali.

Kedua-duanya, ekstrim kiri dan kanan ini adalah utopia, mungkin hanya ada dalam bayangan kekhawatiran kita saja, atau sebatas teori agar dapat memberikan titik-titik dimana sebuah negara berada dalam spektrum pasar dalam konteks perekonomian negara. Tetapi di tengah-tengah antara utopia kiri dan utopia kanan ini sudah pasti ada terdapat kapitalisme nyata, dan setiap negara di dunia ini akan secara terus menerus melakukan ‘uji coba’ untuk mendapatkan tempat di antara ekstrim tersebut, mencari titik keseimbangan (equilibrium) di antara titik ekstrim agar stabilitas negara dapat dikendalikan. Proses tarik menarik ektrim kiri dan kanan ini, tidak akan sampai pada kubu-kubu ekstrim tersebut karena sangat beresiko, sehingga banyak negara di dunia bergerak di tengah-tengahnya yang diapit oleh Ekonomi terpimpin dengan pasar bebas yang terbatas pada sisi ektsrim kiri dan Ekonomi pasar bebas dengan sedikit campur tangan pemerintah di sebelah ekstrim kanan. Dimanapun posisi sebuah negara dalam spektrum ini akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya keterlibatan pemerintah dalam mengelola perekonomiannya.

Pergeseran Spektrum Pasar

Sejak Republik Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 di bawah pemerintahan orde lama hingga orde baru dan kemudian orde reformasi, Perekonomian Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan sistem, diantaranya; pada masa orde lama tahun 1950-9157 Indonesia menggunakan sistem ekonomi liberal, walau tidak murni, jika diletakkan pada spektrum pasar berada pada posisi ekstrim kanan. Kemudian pada tahun 1959 akibat dari terbitnya dekrit presiden 5 Juli 1959, sistem liberal digantikan dengan sistem ekonomi terpimpin yang kemudian berubah lagi menjadi sistem ekonomi campuran pada tahun 1967-1998 pada masa orde baru dimana saat itu sistem ini mampu mengatasi lonjakan inflasi yang tinggi.

Karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah krisis global, berdampak pada terjadinya krisis keuangan di Indonesia, maka muncul sistem ekonomi campuran menjadi ekonomi pancasila (demokrasi ekonomi) yang dikembangkan oleh Prof. Mubyarto. Terlepas dari bahasan normatif atau tidak normatifnya sistem-sistem tersebut. intinya adalah, semua dalam upaya mencari format yang ideal untuk model perekonomian sebuah negara seperti Indonesia. Dan, upaya-upaya tersebut telah menggeser dan manarik-ulur posisi titik ekstrim Indonesia antara ekstrim kiri dan kanan pada spektrum pasar dalam perekonomian dunia.

Yang perlu diingat adalah, sejauhmana pun tarik ulur negara dalam hal ini kebijakan pemerintah menggeser posisi perekonomiannya di sepanjang spektrum pasar tersebut, maka tidak boleh dilupakan bahwa semua harus dalam koridor landasan hukum Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub pada Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, berikut kelengkapannya yang disebutkan dalam Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.

Mengenai ‘kebijakan pemerintah’ yang menyerahkan sebagian cabang-cabang produksi kepada mekanisme pasar, ini akan membutuhkan penjelasan berkaitan dengan bunyi landasan hukum perekonomian Indonesia yang tertera pada pasal 33 ayat (2), bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Tetapi, sangat bervariasi interpretasi yang muncul terhadap kalimat dalam pasal ini sehingga setiap keputusan yang diambil pemerintah menjadi perdebatan yang memakan banyak energi baik di tingkat elit maupun masyarakat awam. Kepentingan politik sangat mendominasi interpretasi setiap pasal dalam Undang-undang Republik Indonesia. Betapa kita melihat selama ini, Menteri BUMN, Mahkamah Konstitusi, Peneliti, hingga pakar hukum dan ekonomi memperdebatkan penjelasan pasal tersebut secara berbeda menurut perspektifnya masing-masing, akhirnya semua menjadi bias, dan jika ternyata keputusan pemerintah mengakibatkan dampak buruk bagi pereknomian diakibatkan dari interpretasi yang salah dari penjelasan pasal-pasal tersebut, maka akan menjadi catatan yang panjang karena terdapat indikasi kesalahan kebijakan atau bahkan berjalan di luar rel konstitusi.

Posisi Indonesia dalam Spektrum Pasar

Walaupun spektrum pasar Bremmer ini terlihat sederhana, setidaknya secara garis besar kita dapat melihat dimanakah posisi negara di sepanjang spektrum pasar tersebut? Sejauh mana pemerintah bergeser ke kiri dan dan ke kanan? Kemudian bagaimanakah dampak dari pergeseran tersebut terhadap perekonomian negara? Apakah kondisi masyarakat semakin sejahtera atau justeru sebaliknya?

Jika melihat situasi kebijakan pemerintah akhir-akhir ini, garis spektrum pasar kita bergerak ke ekstrim kanan, atau, agar tidak terlalu dihantui dengan kata ‘ekstrim’ yang berkonotasi negarif, maka kita juga dapat menyebutkan bahwa Indonesia bergerak ke ujung kanan dalam spektrum pasar, ke arah pasar bebas, tetapi tidak sampai pada utopia dimana disana adalah ambang batas yang dapat menjerumuskan negara dalam kekacauan yang menyakitkan. Demikian juga jika pergeseran terjadi sebaliknya, ke ujung sebelah kiri pada garis spektrum pasar, bergerak ke arah kapitalisme negara, dan juga tidak akan sampai pada utopia yang berada pada ambang batas bertenggernya Komunisme murni.

Sebagai bentuk baik sangka pada setiap kebijakan pemerintah, kita berharap, bahwa semua kebijakan, jika dia bergerak ke arah ujung kanan, adalah bentuk antisipasi (jika tidak ingin dikatakan uji coba semata) dalam menyambut hadirnya Komunitas Ekonomi Asean di akhir tahun 2015 ini. Dan saat itu, mungkin akan banyak masyarakat awam di negeri kita yang tidak atau kurang memiliki skill akan terbuang dari gelanggang global, bahkan menjadi pecundang di rumah sendiri. Peran pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan masyarakat Indonesia bersaing di pasar tunggal Asean tersebut.