Feb 012015
 

pajakrestoPernah kaget dan kesal disodorkan bill yang total jumlahnya terasa mahal? padahal kita cuma makan beberapa menu yang biasa saja, tapi harus bayar sampai ratusan ribu rupiah? Di bagian bawah tagihan yang di-print out tertera angka yang muncul dari persentase, biasa tertulis 10%, plus 3, 5 atau bahkan 10% lagi. sebagian tidak memberikan informasi itu untuk apa, jika kita tanya kepada kasir, mereka akan menjawab, itu service tax, atau dalam bahasa lain, service charge.

Apa yang dimaksud service tax atau service charge? yaitu beban yang harus dibayarkan oleh penyewa atas dasar penyewaan ruangan, yang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak didefinisikan sebagai balas jasa yang menyebabkan ruangan yang disewa tersebut dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diingikan oleh penyewa. Service charge dapat berupa ; biaya listrik, air, keamanan, kebersihan dan biaya administrasi. Dan besaran service charge ini bervariasi, umumnya berkisar pada angka 3 – 5%

Yang jadi persoalan, mengapa pengusaha cafe dan restoran (mungkin usaha-usaha lain) mencantumkan secara terang-terangan service charge ini sebagai beban konsumen? padahal konsumen sudah dibebankan pajak sebesar 10%. Lagi pula, harga barang yang mereka tawarkan umumnya sudah jauh di atas rata-rata, bisa mencapai tiga kali lipat harga di cafe dan resto umum. Lantas apakah dasar mereka membebankan service charge ini kepada konsumen? Hal ini sepertinya berlaku juga di lingkungan bandara yang harganya sudah jauh di atas normal.

Bukankah harga barang yang dijual tersebut sudah dikalkulasikan harga pokok pembeliannya sehigga mereka menetapkan harga jual kepada konsumen yang di dalamnya sudah memperhitungkan biaya-biaya serta laba? Ini memang menjadi pertanyaan besar dan perlu dijelaskan kepada khalayak tentang mekanisme pembebanan service charge kepada konsumen agar produsen barang dan jasa tidak semaunya membebankan biaya kepada konsumen secara tak terkendali.

Sebagai informasi, bahwa service charge tidak disetorkan kepada pemerintah, sebagaimana pajak, jelas disetorkan kepada pemerintah, tetapi masuk ke kas perusahaan untuk menutupi/menambah kesejahteraan karyawan, membayar listrik, biaya keamanan, uang kebersihan. Jadi, service charge ini sangat identik dengan uang tips, tapi konsumen memberikannya dengan terpaksa, bukan dengan kerelaan.

Untuk lebih jelasnya, berikut contoh kasus pembebanan service charge kepada konsumen di restoran:

Harga 1 porsi nasi  Rp. 5.000.-, 1 potong ikan Rp. 10.000.-, 1 gelas kopi Rp. 8.000.-, 1 botol air mineral Rp. 5.000.-. SubTotal Rp. 28.000.- (Dua Pulauh Delapan Ribu Rupiah). Ditambah pajak 10%, Rp. 2.800, ditambah lagi Service charge 5% Rp. 1.400.-, sehingga total tagihan seluruhnya Rp. 32.200 (Tiga Puluh Dua Ribu Dua Ratus Rupiah), untuk konsumen awam (konon lagi anak kos), angka ini sudah masuk dalam kategori di luar angka psikologis.

Untuk sekali makan kita membayar pajak restoran dan service charge yang nilai total keduanya mencapai 15%, sebagian mengenakan service charge 3%, bahkan ada yang sampai 10% di tempat-tempat tertentu. Pembebanan ini tentu tidak melalui pemberitahuan di awal, karena angka-angka ini akan muncul di bill tagihan saat akan membayar di kasir. Kita tidak bisa mendapatkan penjelasan yang detil di kasir karena kasir hanyalah operator pelaksana dari kebijakan manajemen mereka.

Bagi anda petualang coffee yang ingin menikmati kuliner dan tidak ingin terganggu situasi psikologis di akhir saat menerima bill, pastikan bahwa tempat yang anda datangi memiliki daftar menu dan harga yang jelas dapat dilihat, dan jangan sungkan menanyakan apakah konsumen dikenakan service charge atau tidak. Kecuali anda dengan suka rela menerima semua keadaan dengan harga yang selangit. Apalagi bagi yang ingin menikmati suasana bersama keluarga besar, datang dengan suasana gembira, jangan sampai pulang bermuram durja 🙂

Baca juga :

Ekonomi Aceh: Ibarat Mesin Tanpa Oli