Aug 012017
 

uangRamadhan dinobatkan sebagai bulan keberkahan dan penuh kebaikan, bahkan salah satu malam di bulan ramadhan, yakni malam lailatulqadar lebih baik dari seribu bulan. Keberkahan bulan ramadhan memiliki setidaknya dua dimensi, yaitu dimensi akhirat dan dunia. Syarat untuk dapat memperoleh keberkahan di akhirat adalah iman dan orientasi harapan, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Dimensi ukhrawi pada bulan ramadhan ini bukan hanya pengampunan dosa, tetapi juga memiliki keutamaan-keutamaan di setiap ibadah yang dilakukan dimana Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi setiap muslim yang melaksanakan puasa dengan penuh keikhlasan.

Tidak makan dan tidak minum serta menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan yang berlebihan bukan sekedar larangan yang ingin menguji ummat Islam agar Allah tahu siapa yang patuh dan siapa yang inkar, tetapi memiliki makna lain yang bersifat duniawi, dimana orang-orang yang berpuasa menurut hasil penelitian ilmiah dapat dipastikan sangat baik bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah, demikian juga aspek psikologis menahan amarah dapat menurunkan kadar adrenalin dalam tubuh.

Dimensi duniawi ramadhan juga memiliki spektrum tersendiri dalam aspek perekonomian yang dapat dilihat dari sisi mikro dan makro yang muncul akibat aktifitas dan pola konsumsi masyarakat yang mencapai puncak tertinggi selama bulan ramadhan hingga menjelang lebaran tiba. Hal ini dapat dilihat dari salah satu indikator yang dirilis oleh bank Indonesia, yakni jumlah uang yang beredar pada bulan ramadhan dan menjelang hari raya.

Memperhatikan data uang kartal yang diedarkan (UYD) Bank Indonesia tahun 2016, terlihat bahwa trend peredaran uang di masyarakat pada dua bulan menjelang puasa selalu meningkat. Fenomena ini terjadi secara nasional dan juga lebih rinci pada setiap provinsi di Indonesia, tak terkecuali Aceh. Tingginya tingkat pengedaran uang ini tentu saja akibat dari perilaku konsumsi yang tinggi dalam masyarakat. Sebagai gambaran, di tahun 2014 bulan ramadhan jatuh pada akhir bulan Juni, tepatnya 29 Juni 2014. Data BI menunjukkan jumlah pengedaran uang di Aceh pada bulan April sebesar Rp. 168,1 milyar, dan pada bulan Juni meningkat menjadi 195 milyar. Kenaikan pengedaran uang sebesar 16% tersebut karena terdapat aktifitas meugang di akhir Juni. Pada tahun 2015, kenaikan tingkat pengedaran uang di masyarakat terlihat lebih tinggi, dimana ramadhan jatuh pada tanggal 18 Juni 2015 dengan jumlah pengedaran uang sebesar Rp. 398,5 milyar. Dan bulan April sebelumnya jumlah pengedaran uang hanya sebesar Rp. 256,6. Artinya jumlah uang masuk yang beredar mencapai lebih kurang 55%.

Di sisi lain, selain peningkatan konsumsi yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan selama ramadhan, belanja masyarakat juga didorong oleh aktifitas menjelang dan pasca hari raya idul fitri, yaitu mudik dan arus balik yang menciptakan suatu pergerakan masyarakat urban yang mudik ke kampung dan balik lagi ke kota untuk melakukan aktifitas normal sehari-hari. Pergerakan penduduk pada dua momen penting saat mudik dan arus balik ini bahkan menjadi salah satu peristiwa yang dimasukkan dalam pertimbangan survey kependudukan yang dilakukan oleh BKKBN melalui program survey RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) di setiap tahunnya. Pada bulan Juli 2015, pengedaran uang melonjak mencapai Rp. 977,9 milyar, atau meningkat sebesar 145% karena adanya peningkatan aktifitas ekonomi menjelang hari raya idul fitri.

Fenomena ini dapat diterjemahkan sebagai sebuah kondisi dimana ramadhan, saat ummat Islam berpuasa, menahan makan dan minum, berarti juga menahan belanja makanan dan minuman sebagaimana hari-hari biasa. Tetapi kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat justru terlihat semakin tinggi jauh melebihi konsumsi hari-hari biasa di luar ramadhan. Hal ini tentu akan mempengaruhi ekonomi karena transaksi yang berlangsung searah dengan jumlah uang yang beredar di masyakat. Kondisi ini berlangsung hingga momen mudik dan arus balik.

Sebagaimana diketahui bahwa ekonomi suatu negara direfleksikan melalui nilai produk domestik bruto (PDB) yang diukur menggunakan indikator konsumsi rumah tangga, investasi keseluruhan, belanja pemerintah, serta ekspor dan impor, maka konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi hingga mencapai 50% untuk negara Indonesia. Jika dikaitkan dengan fenomena tingginya UYD di setiap bulan ramadhan hingga memasuki iedul fitri, maka dapat diduga bahwa perilaku konsumsi ini dapat mempercepat perputaran uang dan akan mempengaruhi ekonomi daerah dan bahkan negara.

Uniknya, kekhawatiran beberapa kalangan yang selalu timbul menjelang ramadhan dan hari raya berupa “sang pencuri yang tak dapat ditangkap”, yaitu inflasi, yang menggambarkan naiknya harga-harga barang tertentu yang menyebabkan menurunnya daya beli seolah-olah tidak menjadi masalah bagi masyarakat. Secara psikologi masyarakat lebih fokus pada kepuasan batin dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan selama ramadhan serta hari kemenangan setelah sebulan penuh menahan  haus dan lapar.

Dua peristiwa besar ini menjadi pilar ekonomi yang dapat menopang kondisi suatau daerah bahkan negara, dimana pada bulan-bulan biasa di luar ramadhan dan syawal dapat kita lihat catatan ekonomi yang berfluktuasi secara tajam sehingga pemerintah bekerja keras meningkatkan belanja konsumsi untuk memperoleh keseimbangan dari sisi ekonomi mikro dan makro. Tingginya transaksi ini bahkan bisa berlanjut hingga dua bulan setelah idul fitri, yakni bersambung dengan momen idul adha dimana masyarakat muslim di seluruh Indonesia akan melakukan transaksi ekonomi untuk belanja hewan kurban yang setiap tahun sebelumnya selalu meningkat, dan diprediksi di tahun-tahun selanjutnya akan terus meningkat karena meningkatknya kesadaran masyarakat ekonomi menengah terhadap ibadah kurban.

Dimensi ekonomi yang mengiringi dimensi ibadah puasa dan perayaan hari kemenangan idul fitri dan idul adha menjadi penyeimbang setiap tahun yang akan menutupi celah-celah kekosongan prestasi ekonomi di luar bulan puasa dan syawal serta dzulhijjah tersebut sehingga dapat menjadi satu tonggak puncak prestasi ekonomi karena secara otomatis masyarakat dengan sendirinya terdorong untuk melakukan transaksi yang optimal karena muncul dari dorongan psikologis yang tidak dapat ditunda atau dihambat oleh siapapun.

Kondisi ini sekaligus akan mengurangi beban pemerintah, setidaknya 3 hingga 4 bulan pemerintah dapat bernafas dengan lega dan “berhenti” menstimulasi ekonomi arus bawah untuk bergerak, karena mesin ekonomi berputar melalui energi yang dihasilkan dari aktifitas-aktifitas berdimensi ibadah yang diyakini sebagai suatu aktifitas transendental namun di sisi lain mampu mendongkrak sisi-sisi material dalam hubungannya dengan sesama manusia melalui transaksi ekonomi di lingkungan masyarakat. Sisanya, 8 bulan pemerintah dapat melakukan stimulasi ekonomi yang mengacu pada teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi seperti biasa dengan mengaktifkan mesin-mesin ekonomi konvensional.

Puasa di bulan ramadhan, perayaan idul fitri di bulan syawal, dan kurban di hari raya idul adha merupakan aktifitas yang berdimensi ibadah dan muammalah, mengajarkan dan mendidik kita untuk mendekatkan hubungan dengan Allah di satu sisi, serta menyadarkan manusia untuk memupuk hubungan baik dengan sesama manusia di sisi yang lain. Kedua dimensi ini tidak mungkin dapat dipisahkan dan akan terus menjadi dua sisi yang melekat serta menjadi titik koordinat yang menyeimbangkan aspek ukhrawi dan duniawi dalam waktu bersamaan.