Aroma Pilkada serentak tahap II tahun 2017 semakin menyengat. Untuk provinsi Aceh terdapat 20 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada terhitung sejak bulan Juli 2017 yang dimulai oleh Banda Aceh, hingga bulan Desember 2017 yang ditutup oleh Aceh Tengah dan Aceh Tamiang. Dapat dipastikan, bahwa seluruh petahana akan ikut bertarung kembali guna mempertahankan singgasana mereka. Dalam Pilkada tahun 2015 Calon kepala daerah petahana (incumbent) yang maju mencapai 82,5 persen. Dari jumlah tersebut, mayoritas petahana atau 63,2 persen memenangkan kontestasi tersebut.
Setidaknya ada empat alasan mengapa seseorang yang sedang memangku jabatan (baca: petahana) ikut kembali mencalonkan diri dalam pilkada. Pertama, karena merasa mampu dan berhasil menjalankan program yang lalu sehingga ingin mengulang kembali atau melengkapi kekurangan untuk disempurnakan. Kedua, tidak berhasil menjalankan program yang lalu sehingga ingin membalas kesalahan-kesalahan atas ketidakberhasilan tersebut. Ketiga, desakan kroni guna memperoleh perlindungan, setidaknya mengulur waktu, dari jeratan hukum atas tindakan penyelewengan jika kolega mereka tidak lagi memiliki kekuasaan. Keempat, gejala post power syndrome petahana.
Terlepas dari ada atau tidaknya dukungan masyarakat terhadap ke empat alasan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa fakta tersebut merupakan fenomena dari pilkada ke pilkada di seluruh Indonesia, tidak terkecuali Aceh. Dalam catatan singkat ini, mencoba melihat sisi unik dari fenomena keempat, yaitu gejala post power syndrome petahana.
Post power syndrome adalah gejala sindrom yang cukup populer di kalangan orang lanjut usia khususnya sering menjangkit individu yang telah usia lanjut dan telah pensiun atau tidak memiliki jabatan lagi di tempat kerjanya. Post power syndrome merupakan salah satu gangguan keseimbangan mental ringan akibat dari reaksi somatisasi dalam bentuk dan kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang bersifat progresif karena individu telah pensiun dan tidak memiliki jabatan ataupun kekuasaan lagi (Kartono, 2000).
Post power syndrome atau dapat disingkat menjadi PPS sering dipahami sebagai kumpulan gejala atau tanda yang terjadi dimana “penderita” hidup dalam bayang bayang kebesaran masa lalunya (jabatan, karier, kecerdasan, kepemimpinan, kecantikanya dan sebagainya) dan penderita seakan tidak bisa menerima keadaan itu. Post power syndrome merupakan bagian dari krisis identitas yang disebabkan tidak siapnya seseorang atas terjadinya sebuah perubahan.
Tabrani (1995) menyatakan ada 3 hal utama penyebab terjadinya post power syndrome yaitu: Terputusnya profesi yang telah puluhan tahun dibina, padahal profesi tersebut bukan saja landasan jasmani akan tetapi juga landasan rutin bagi kejiwaan. Kedua adalah kekurangan kharisma. Kharisma yang bersifat jabatan banyak hubungannya dengan kharisma dalam kehidupann masyarakat. Seorang pemimpin bukan saja di segani oleh bawahannya, akan tetapi juga karena jabatannya ia disegani oleh rakyat banyak. Ketiga adalah karena penghasilan menurun. Penghasilan menurun bukan saja menimbulkan kesulitan yang dialaminya pada saat itu akan tetapi juga kekhawatiran tentang masa depan yang akhirnya menimbulkan ketegangan.
Yang menjadi persoalan adalah bukan pada saat masa post power syndrome itu tiba, tetapi gejala-gejala awal PPS ternyata telah muncul jauh-jauh hari sebelum pilkada berlangsung, bahkan hampir semua pasangan petahana pecah kongsi di pertengahan periode atau bahkan bisa lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran yang sangat dalam pada diri petahana atas kegagalan untuk kembali duduk di kursi kekuasaan sehingga melakukan manuver-manuver politik yang sering terlihat berlebihan dan ditampilkan kepada publik secara terang-benderang. Misalnya fenomena Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang temperamental, sering mengeluarkan kata-kata yang kasar dan terkesan “memprovokasi” Teman Ahok untuk ofensif terhadap issu-issu apa saja yang dapat menurunkan popularitas Ahok menjelang pilkada 2017.
Sikap ini muncul karena adanya upaya untuk mengantisipasi kehadiran post power syndrome jika saatnya tiba, atau pada saat sang petahana kalah dalam kontestasi. Ini menjadi semacam penyakit yang mendahului PPS, atau untuk memudahkan bahasanya, dapat kita sebut dengan istilah premature-post power syndrome, atau premature syndrome, karena post power syndrome yang sejatinya dihadapi pada saat seseorang tidak lagi memiliki kekuasaan karena jabatannya, tetapi prematur PPS ini muncul mendahului PPS itu sendiri.