Data tak pernah tidur, setiap menit dalam jumlah yang sangat besar data mengalir dari setiap telepon, website, dan aplikasi yang lalu lalang di internet. Seberapa banyak kah data tersebut dibuat dan dari mana datangnya? Retorika tersebut dilontarkan Josh James, founder, CEO & Chairman of the board pada tahun 2012 lalu dan menampilkannya dalam poster infografik dengan membagi setidaknya 15 jenis data yang berlalu-lalang di dunia maya.
Kita ambil saja contoh 5 jenis media maya yang paling populer saat ini menyediakan kanal tempat berseliwerannya data-data tersebut; (1) Ada sekitar 204 juta email yang dikirim oleh pengguna dalam setiap menit. Itu artinya ada sekitar 12 milyar email terkirim dalam setiap jam, atau 288 milyar email per hari. (2) Google membukukan catatan sebanyak 2 juta permintaan searching setiap menit, sama dengan 120juta per jam, atau 2,8 milyar perhari. (3) Tercatat sebanyak 684 ribu data sharing/update status Facebook setiap menit, berarti ada sekitar 985 juta sharing/ update status facebook setiap hari. (4) Pengguna twitter mengirim 100ribu twit setiap menit. Sama dengan 144juta twit setiap hari. (5) Data Belanja online mencapai $272.070. Dengan kurs 13.000, angka tersebut setara dengan Rp. 3.5 milyar setiap menit atau Rp. 212 milyar per jam. Artinya transaksi online mencapai Rp. 5.093 triliun sehari-semalam.
Melihat begitu besarnya transaksi uang melalui kanal digital ini, walau terlihat ambisius, tidak terlalu berlebihan jika pemerintah mencanangkan Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020 dengan target terciptanya 1000 digital start-up (rintisan) dengan valuasi bisnis 10 miliar dolar AS, dan pertumbuhan e-commerce 50 persen per tahun dengan transaksi 130 miliar dolar AS, dengan asumsi pencapaian tersebut dapat diraih melalui dukungan kuat bagi pelaku wirausaha dalam kategori usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Bahkan untuk mewujudkan target itu pemerintah menyiapkan gerakan inklusif transaksi digital.
Selain data-data digital yang dicatat James tersebut, tentu saja didukung oleh sikap masyarakat Indonesia yang digital oriented. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) serta We Are Social menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia berada di kisaran 52%, dan sebagian besar diantaranya mengakses internet secara mobile selama 4 jam per hari. Lebih jauh, saat ini terdapat 370 juta kartu SIM aktif di Indonesia, jauh lebih besar dari populasi Indonesia yang sudah hampir mencapai 270 juta penduduk. Itu artinya, pelanggan mobil rata-rata menggunakan lebih dari satu kartu SIM dengan asumsi satu nomor khusus untuk panggilan, dan nomor lainnya digunakan untuk berselancar di internet melalui ponsel pintar yang dimanfaatkan untuk kegiatan transaksi digital.
Komitmen Pemerintah
Potensi transaksi digital tentu saja tidak serta merta dapat memenuhi target sebagaimana dicanangkan jika pemerintah tidak berkomitmen mengimplementasikan visi digital tersebut. Satu sisi pemerintah bertekad memberikan akses pembiayaan bagi UMKM dan perusahaan IT baru berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kebijakan likuiditas pasar bagi perusahaan rintisan. Di samping itu juga kebijakan modal ventura yang memberi insentif dan mempermudah pembiayaan bagi pengusaha IT baru.
Di sisi lain, sebagaimana kita saksikan, usaha mikro kecil dan menengah juga mengalami kesulitan menghadapi kenyataan bahwa komoditas pangan seperti garam, gula, kedelai, bawang, daging dan komoditas keperluan rumah tangga lainnya yang sedang berusaha tumbuh di dalam negeri digulung oleh barang-barang impor. Salah satu dampak dari kebijakan dwelling time justeru benar-benar dimanfaatkan pihak lain untuk menaikkan kapasitas impor. Akibatnya pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah dalam negeri, jangankan dapat meningkatkan nilai tambah produk mereka, untuk bertahan di harga yang berkecukupan saja mereka tidak mampu, konon lagi di tengah masyarakat tersebar issue tentang gula dan garam yang diproduksi masyarakat tidak bersertifikat, artinya tidak mendapat jaminan dari pemerintah atas kualitas produknya, sehingga tidak memperoleh kepercayaan di pasar.
Pun dalam soal pemanfaatan teknologi untuk sistem perizinan terintegrasi (single submission) baru diluncurkan baru-baru ini, Agustus 2017, melalui paket ekonomi jilid XVI dengan Satgas Leading Sector pada kementerian/lembaga antara lain berada pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan. Dimana, reformasi peraturan perizinan berusaha yang mulai dilakukan pada tahap kedua oleh pemerintah pusat menyerahkan kepada Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan evaluasi atas seluruh dasar hukum pelaksanaan proses perizinan berusaha yang berlaku pada saat ini termasuk untuk UMKM
Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara target yang disasar, waktu target yang dicapai, serta perangkat aturan yang diberlakukan, dan kondisi para pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah yang belum maksimal dibina agar produk mereka memenuhi standar produk pada umumnya sehingga dapat ditampung oleh pasar global.
Bagaimana Memasuki Ekonomi Digital
Melihat kenyataan sulitnya pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah tumbuh dalam situasi kebijakan pemerintah yang masih tarik ulur dalam “spektrum utopia” ekonomi digital, patut kita menduga bahwa target-target yang ditorehkan dalam visi mewujudkan ekonomi digital Indonesia di tahun 2020 yang hanya tinggal lebih kurang dua tahun lagi terhambat. Data-data transaksi ekonomi yang sangat dahsyat di dunia maya yang disuguhkan James di atas, dikhawatirkan memang hanya mengawang-awang dan memenuhi catatan para pengamat saja. Buktinya, belum lama ini pemerintah, sebagaimana disampaikan menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin nasution, sudah mulai gamang dengan kondisi lesunya perekonomian dan mengakui sedang mencari akar penyebab lesunya daya beli masyarakat.
Pernyataan tersebut menjadi kurang relevan, karena pemerintah sendiri yang telah menyusun visi ekonomi digital, artinya pemerintah sudah menyadari betul bahwa terjadi pergeseran (shifting) dan perusakan (disruption) ekonomi dengan munculnya teknologi informasi yang terus menggerus peran ekonomi konvensional yang malas memperbaiki diri. Oleh karenanya diperlukan inovasi-inovasi agar kemampuan pegiat ekonomi dapat meningkat signifikan dan produk-produk dapat ditingkatkan kualitasnya. Yang terpenting adalah kebijakan pemerintah yang memang benar-benar memihak kepada masyarakat dan pegiat ekonomi mikro, kecil dan menengah.
Jika pertumbuhan UMKM tersendat, tentu saja produk-produknya akan sulit untuk masuk pasar dan juga memiliki kesempatan yang sedikit untuk meramaikan pasar e-commerce. Oleh karenanya penting untuk diperhatikan dan memastikan status data transaksi digital yang berseliweran di Indonesia, dimana nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 saja mencapai angka Rp130 triliun. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah masyarakat Indonesia dalam transaksi tersebut berstatus sebagai konsumen atau produsen? Atau berperan sebagai reseller dari produk-produk luar negeri? Jika 50 persen saja status transaksi sebagai penjual, tentu ini akan sangat baik dampaknya terhadap perekonomian, tetapi jika hanya sebagai konsumen, maka makna disruptive dalam konteks karakter perusak ekonomi yang disebutkan oleh Reynald Kasali memang menjadi bahan pemikiran kita untuk melakukan revolusi mental untuk menciptakan produk-produk yang inovatif agar mampu bersaing dengan produk-produk global yang selama ini mendominasi pasar melalui transaksi digital.
Diperlukan sikap tegas untuk menopang dan menjamin berputarnya gerigi ekonomi melalui penguatan sistem produksi dan pembinaan kemampuan digital para pegiat ekonomi mikro, kecil dan menengah, dan pemerintah juga harus berani menginterupsi kegiatan impor jika terindikasi merusak aktifitas ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah dalam negeri.
Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Kamis, 14 September 2017. E-papernya dapat dibaca di link Memasuki Ekonomi Digital.
Baca juga :