Dec 252018
 

Menarik status yang dimaktub oleh ketua Ombudsman Aceh, DR. H. Taqwaddin, SH, SE, MS di akun facebook beliau berkaitan dengan seleksi untuk Pegawai BPN Aceh non PNS. Kesaksian ketua Ombudsman ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa lapangan kerja di Aceh, atau belahan lain provinsi atau mungkin bahkan Indonesia secara umum memang sulit.
Betapa tidak, dari formasi yang dibuka hanya untuk 35 orang, tetapi yang ikut seleksi sejulah 700-an dengan jumlah pendaftar sebanyak 1500-an orang. Bahkan menurut beliau, pada bulan sebelumnya Ombudsman memantu seleksi pegawai kontrak untuk Kemensos di Aceh yang menyediakan formasi hanya untuk 3 (tiga) orang, tetapi yang mendaftar lebih dari 1000-an orang. Sebagai seorang yang sudah masuk klasemen senior di kalangan akdemisi serta malang melintang di dunia pengawasan publik, keprihatinan yang beliau lontarkan tentu bukan sembarangan, dapat kita duga ada suatu fakta yang menggambarkan kondisi keprihatinan ini saat membayangkan masa depan angkatan muda Aceh.

Sebenarnya isu lapangan kerja ini tidak begitu mengejutkan di kalangan masyarakat umum karena masyarakat sudah sangat faham bahwa situasi ini sulit digeser sekalipun sudah disuarakan dengan lantang oleh banyak kalangan, termasuk pemerintah sendiri. Pada tahap ini sebenarnya masyarakat, pakar ekonomi dan sosial serta ahli ekonomi pembangunan sekalipun sudah terperangkap pada perasaan exulansis (perasaan frustasi). Seminar, lokakarya, serta berbagai forum yang mewacanakan resolusi terhadap isu-isu lapangan kerja sudah ratusan bahkan ribuan kali diselenggarakan sampai mereka merasa frustasi menghadapi tembok kebijakan yang belum juga mampu menghasilkan gagasan baru bagi terbukanya lapangan kerja. Muara yang menjadi sasaran akhir para pencari kerja adalah instansi pemerintah sebagai harapan terakhir bagi angkatan muda untuk menentukan statusnya, karena pemerintah belum mampu menciptakan lapangan kerja dari potensi alam yang dimilikinya sekalipun sudah tersedia dana.

Peran Dana Otsus
Aceh memang provinsi kaya secara angka-angka dalam anggaran setiap tahunnya, tetapi terseok-seok meraih prediket untuk memutus anggapan orang tentang Aceh yang selalu bertengger di klasemen puncak untuk urusan kemiskinan. Ini dapat kita maklumi karena memang data statistik mengkonfirmasi status Aceh sebagai daerah yang tingkat kedalaman kemiskinannya masuk kategori buruk, jumlah penganggurannya yang tinggi. Data BPS 2017 menyatakan bahwa pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Aceh mencapai 872 ribu orang (16,89 persen), bertambah sebanyak 31 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang jumlahnya 841 ribu orang (16,43 persen).

Selama periode September 2016-Maret 2017, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan mengalami peningkatan, di perkotaan mengalami peningkatan sebesar 0,32 persen (dari 10,79 persen menjadi 11,11 persen), dan di daerah perdesaan mengalami peningkatan 0,57 persen (dari 18,80 persen menjadi 19,37 persen). Demikian jumlah angka pe¬ngang¬guran terbuka di Aceh pada Februari 2018 mencapai 154 ribu orang atau bertambah 4 ribu orang dibandingkan Agustus 2017 yang hanya 150 orang.

Sebagaimana kita maklumi, bahwa di Aceh tidak ada industri yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ekonomi Aceh hanya mengandalkan kucuran dana yang dicairkan pemerintah melalui proyek-proyek pembangunan infrastruktur, gaji PNS dan lain-lain. Perlu diingat bahwa gaji PNS tidak sepenuhnya mengalir ke bawah karena dapat dipastikan bahwa nyaris seluruh SK PNS sudah “digadaikan” di bank untuk keperluan kredit rumah, kendaraan, alat elektronik dan kebutuhan lainnya. Ini berarti pada saat tanggal gajian, gaji PNS tetap berada di bank dan tidak mengalir ke pasar yang mestinya berfungsi memutar gerigi ekonomi masyarakat bawah melalui aktifitas belanja kebutuhan hidup sehari-hari, jika pun ada, jumlahnya sangat terbatas. Jumlah uang beredar yang terbatas tersebut tidak cukup mampu untuk memperlancar aktifitas ekonomi karena kapasitasnya sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk yang membutuhkan banyak uang untuk memutar mesin ekonomi. Uang dapat dianalogikan seperti oli pada kendaraan, tanpa oli, mesin kendaraan tetap berputar, tetapi bukan untuk menambah kecepatan, melainkan melambat menuju kerusakan mesin.

Dari tahun ke tahun anggaran Aceh sebenarnya tidak begitu besar berubah jika dilihat perannya dalam memutar ekonomi dibandingkan dengan inflasi, peningkatan permintaan tenaga kerja, semkin tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Artinya, jumlah anggaran “statis” tidak mampu mengimbangi dinamika sosial yang bergerak cepat. Oleh karenanya Aceh membutuhkan mesin ekonomi baru guna menambah daya dorong masyarakat dalam melakukan aktifitas ekonomi seperti menjamin adanya investasi baru, menggalakkan pariwisata dan tuas-tuas ekonomi lainnya yang memungkinkan Aceh memperoleh tambahan uang berputar dari sumber selain anggaran yang “statis” itu. Salah satu modal yang dapat dimanfaatkan untuk memantik tuas ini agar melambungkan ekonomi adalah menggunakan dana otsus.
Ekspektasi masyarakat terhadap dana otsus sudah terlanjur tinggi bahwa dengan dana tersebut sejatinya akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyebutkan bahwa Dana Otsus harus digunakan untuk program/kegiatan, yaitu: 1) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; 2) Pemberdayaan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan; 3) Pendidikan; 4) Kesehatan; dan 5) Sosial dan Keistimewaan Aceh. Tetapi kenyataannya kita lihat bahwa peningkatan jumlah dana otsus dan anggaran dari tahun ke tahun tidak searah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh secara signifikan, bahkan Aceh bisa terpuruk dalam rangking tertinggi kemiskinan di regional Sumatera.

Tetapi perlu diingat bahwa, Aceh tidak boleh terus terlena dalam euforia otsus yang memiliki limit waktu. Artinya, Pemerintah harus dapat menjamin bahwa dana otsus harus fokus dipergunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi Aceh, benar-benar menjadi tuas ekonomi. Aceh harus fokus pada penggalian sumber dana yang memang diciptakan dari hasil pengelolaan sumber daya ekonomi yang ada di Aceh melalui tangan-tangan terampil generasi Aceh untuk memastikan bahwa Aceh mampu menciptakan roadmap berkesinambungan sebagai bentuk keseriusan Aceh mencapai sustainability Development Goal’s (SDG’s) yang menjadi indikator global saat ini.

Selain mengoptimalkan penggunaan otsus, Aceh perlu menggandeng investasi pihak luar. Tetapi harus kita akui, bahwa Aceh belum mendapat kepercayaan, Aceh masih dianggap belum aman dan nyaman bagi investasi karena infrastruktur belum mampu meyakinkan investor untuk mengambil peran. Sementara itu menjual Aceh melalui giat pariwisata juga masih terkendala, selain infrasturktur, juga aspek kultur masyarakat, diperlukan rumusan khusus yang dapat mengakomodir norma dan kultur Aceh dengan situasi budaya global di beberapa sisi. Dan Aceh sebenarnya memiliki potensi itu, hanya saja dibutuhkan kerja keras pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana yang menjamin tersambungnya seluruh mata rantai distribusi di seluruh aktifitas ekowisata yang memudahkan akses pengunjung mencapai destinasi wisata.

Beberapa waktu lalu Aceh sudah mulai menggema melalui konsep pariwisata dengan mengusung The Light of Aceh, kita berharap Cahaya Aceh tersebut membesar menjadi sebuah industri dalam pengelolaan pariwisata yang terintegrasi dengan berbagai stakeholder, sehingga dapat dipastikan akan sangat banyak membuka peluang lapangan kerja di Aceh mengingat destinasi wisata Aceh bukan cuma bertumpuk di satu lokasi, tetapi menyebar hampir ke seluruh kabupaten di Aceh dengan jumlah mencapai 797 objek wisata. Potensi ini sebenarnya menggambarkan bagaimana dahsyatnya kue ekonomi yang dapat diciptakan dari giat industri pariwisata yang selama ini hanya dikelola secara parsial, tidak terintegrasi, belum memiliki rantai distribusi, serta tidak memiliki kepastian dalam hal pengaturan tarif dan non tarif.

Aceh harus merumuskan suatu model pariwisata tersendiri yang diadopsi dari aspek budaya lokal yang melekatkan diri dengan status sebagai daerah syariat. Rumusan ini tentu saja harus melalui proses yang melibatkan para akademisi, alim ulama serta cerdik pandai yang faham kultur lokal dan memiliki kemampuan dalam menjual wisata Aceh dalam kemasan “premium” dari pabrik syariah, yang dalam konsep marketing dikatakan sebagai produk yang unik. Tetapi konsepnya harus jelas, terukur dan bukan sekedar melabelkan produk dengan menbalkan nama syariat saja di belakang nama tersebut.

Pariwisata adalah industri yang tidak pernah mati, seperti halnya produk barang dan jasa lain yang memiliki daur hidup, bahkan dapat membantu meningkatkan animo masyarakat untuk menjaga alam yang telah menyediakan sumber ekonomi langsung dari penciptanya.