Menurut Kajian Ekonomi Dan Keuangan Regional Provinsi Aceh Triwulan I-2014, yang dipublikasikan di situs Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Aceh melambat karena dipicu oleh beberapa hal, diantaranya; meningkatnya pertumbuhan impor secara signifikan dan tidak diimbangi oleh peningkatan kinerja ekspor. Begitu juga buruknya kinerja konsumsi pemerintah dan rumah tangga. Bahkan pada triwulan II-2014, pertumbuhan ekonomi Aceh semakin melambat hanya tumbuh 0,97 persen.
Coba kita ulas dua hal ini secara awam – kegiatan ekspor impor (non-migas) dan konsmusi pemerintah & rumah tangga – sebagai upaya untuk melihat mengapa ekonomi Aceh tumbuh malu-malu atau ‘tidak tumbuh’.
Nilai ekspor Aceh pada triwulan I hingga IV tahun 2013 terus menurun drastis, hanya naik sekali pada triwulan II sebesar US$ 12,73 juta dari sebelumnya di triwulan I sebesar US$ 2,82 juta, selanjutnya menurun masing-masing Triwulan III menjadi US$ 9,70 juta, dan turun lagi pada triwulan IV pada angka US$ 3,6 juta. Sedangkan pada triwulan I-2014 terjun lagi ke angka US$ 1,5 juta.
Sementara di tahun yang sama, sepanjang 2013 hingga memasuki triwulan I-2014, impor Aceh berbanding terbalik dengan nilai ekspor, angkanya membesar, hanya sekali pada triwulan II-2013 pada angka USD$ 1,34 juta, turun sedikit dari triwulan I-2013 yang berada di angka US$1,44 juta, dan pada triwulan III-2013 menurun hingga USD$ 0,8 juta, tetapi pada triwulan ke IV-2013 kembali naik US$ 1,5 juta, dan memasuki triwulan I-2014 menanjak bahkan mencapai angka US$ 10,7 juta.
Mengapa bisa demikian posisi nilai ekspor dan impor Aceh? Padahal Aceh sangat kaya dengan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh negara lain, seperti hasil hutan, bumi, rempah-rempah, kopi, dan banyak komoditi lainnya yang dapat diandalkan sebagai komoditi ekspor. Hal ini dikarenakan sumber daya alam Aceh belum dikelola secara profesional sehingga tidak ada jaminan akan kuantitas dan kontinuitas produk, mutu tidak terstandar untuk ukuran barang komoditi ekspor sehingga pasar tidak mau menerima produk dari Aceh. Selain itu, faktor situasi politik dan keamanan Aceh yang belum stabil berdampak pada pengalihan tempat pengiriman barang melalui pelabuhan. Para eksportir lebih merasa nyaman mengirim barang melalui pelabuhan Belawan di Medan dari pada pelabuhan Krueng Raya.
Kurangnya data dan informasi mengenai komoditi Aceh menjadi salah satu penyebab mengapa aktifitas ekspor komoditi Aceh sangat minim, jika pun ada eksportir yang sudah bisa mengakses, umumnya kebanyakan eksportir luar daerah yang menampung barang-barang dari Aceh dan dilabuhkan melalui Belawan ke luar negeri.
Yang kedua, konsumsi pemerintah dan rumah tangga. Sebagaimana disampaikan dalam publikasi data BPS, bahwa rendahnya serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2014 menjadi salah satu sebab lambatnya pertumbuhan ekonomi Aceh. APBA tahun 2014 sebesar 13,3 triliun, angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan Sumatera Barat yang APBDnya hanya 3,722 triliun dengan jumlah penduduknya 4,8juta, sama dengan Aceh 4,7 juta jiwa.
Hingga November 2014, serapan APBA Aceh hanya 60,3 persen, Ada lebih kurang 8 persen sisa APBA, hampir tiga kali lipat dari APBD Sumbar, Jika dialokasikan ke Sumbar, maka selama tiga tahun Sumbar tidak perlu repot-repot memikirkan APBD untuk tiga tahun ke depan, tapi di Aceh, dana ini tak dapat diserap, sangat disayangkan. Ini menjadi sumber kemacetan perekonomian Aceh karena begitu banyak dana yang mengendap dan tidak beredar di masyarakat.
Sebenarnya, 60 persen dana yang diserap tersebut, jika benar-benar dimanfaatkan untuk membangun perekonomian Aceh, maka itu sudah sangat lebih dari cukup untuk meningkatkan PDRB, sekali lagi, dengan catatan, dioptimalkan untuk peningkatan dan pembangunan sektor riil. Tapi kenyataannya tidak demikian. Dalam PPAS RAPBA 2015 yang telah diajukan ke DPR oleh pemerintah, sebesar 5,4 triliun dialokasikan untuk belanja pegawai, ini nyaris mendekati 50 persen total APBA.
Kemudian mengenai rendahnya konsumsi rumah tangga, artinya rendahnya daya beli masyarakat. Hal ini logis, mengingat masyarakat memang tidak memegang uang karena peredaran uang terhambat, sangat sedikit uang yang turun beredar di masyarakat.
Aceh mengandalkan perputaran uang dari uang pemerintah, khsusnya gaji pegawai. Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir seluruh PNS di Aceh tidak menerima gaji mereka secara penuh setiap bulannya karena SK PNS telah digadaikan di bank-bank untuk mengambil kredit, sehingga setiap tanggal penerimaan gaji, uang PNS tetap berada di bank karena langsung dipotong melalui bendahara kepegawaian, ini artinya uang tidak beredar di masyarakat, tetapi di bank, sementara uang bank akan diputarkan untuk usaha-usaha produktif di luar daerah bahkan di luar negeri.
Jika uang PNS tidak beredar, maka belanja pegawai semakin ketat, sehingga uang ditahan untuk belanja barang-barang yang benar-benar dibutuhkan saja, akhirnya di pasar perputaran uang sangat sedikit, uang-uang tersebut antri secara bergilir berpindah tangan dari toko ke toko dan dari pasar ke pasar sampai lusuh, sebagian dibawa keluar untuk belanja barang lain.
Uang pemerintah yang beredar melalui kontraktor juga demikian. Kontraktor properti misalnya, setelah cair dana karena menang tender, para pengembang akan membeli bahan untuk membangun properti, barang mereka beli di Medan, uang berpindah ke Medan, barang datang ke Aceh. Demikian juga rekanan pengadaan barang perkantoran di pemerintahan, kontraktor akan membeli barang di Medan, kemudian membawa barang ke Banda Aceh, lagi lagi uang pindah ke Medan.
Untuk pekerja bangunan, setiap bulan mereka menerima gaji, untuk diketahui, semua buruh kasar pekerja bangunan didatangkan dari pulau Jawa. Saat mereka menerima gaji, uang-uang tersebut dikirim ke keluarga mereka di kampung masing-masing, uang dari Aceh keluar mengalir ke daerah lain, tidak dibelanjakan di Aceh. Ini juga salah satu penyebab mengapa sulit mendapatkan pekerjaan dan uang di Aceh karena memang uang yang beredar sangat terbatas, sektor riil sebagai ‘mesin uang’ jatuh bangun kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan banyak yang gulung tikar. Saat ini, benteng-benteng terakhir yang menghambar aliran uang keluar Aceh adalah sektor-sektor riil seperti para penjual kue, kebab, burger, dan warung-wrung kopi di kota Banda Aceh. Walaupun uang tersebut akan keluar juga, tetapi masih beredar dalam waktu yang lebih lama menghidupi para pebisnis kecil.
Dengan Anggaran yang begitu besar, tapi pertumbuhan ekonomi Aceh sangat lambat, Ibarat Mesin Tanpa Oli, berlari tidak, berjalanpun terseok-seok.
Baca juga: