Aliran barang-barang yang keluar masuk antara negara-negara Asean, mestinya tidak lagi diberlakukan bea masuk barang, kecuali barang-barang yang masuk dalam daftar Sensitif List (SL) dan Highly Sensitif List (HSL). Dan jadwal pemberlakuan penghapusan tarif dilakukan bertahap sesuai kondisi negara anggota dengan jadwal yang telah ditentukan, hingga pada tahun 2015 semua negara telah memberlakukan 100% produknya ber-tafir 0%.
Saat ini sudah melewati batas deadline pemberlakuan MEA, yakni Desember 2015, bahkan sebenarnya untuk barang-barang yang termasuk dalam daftar Sensitive List (SL) pun mestinya sudah berlaku tarif nol persen, ini dari segi tarif. Demikian juga non-tarif, artinya hambatan-hambatan yang muncul dari aturan-aturan yang berlaku pada negara anggota juga harus dihilangkan.
Kenyataannya, kita sudah memasuki tahun 2016, yang terjadi adalah, Malaysia sebagai negara anggota MEA yang masuk dalam daftar ASEAN-6 bersama Indonesia, bukan hanya soal tarif, non-tarif pun masih melakukan hambatan dengan cara memproteksi produknya dalam bentuk pelarangan masuknya salah satu barang yang bukan masuk dalam daftar SL. yaitu mangga.
Jika kita ke Malaysia, di bandara KL, mulai pintu gerbang bandara hingga pintu imigrasi di bandara mereka terpampang dengan jelas dan banyak baliho berukuran sedang dengan tulisan “dilarang membawa semua jenis mangga“. Ini merupakan salah satu sikap proteksi malaysia terhadap produk mangga lokal mereka. Berbeda dengan Indonesia, di Bandara manapun di Indonesia ini yang dilalui warga dunia tidak pernah kita lihat ada larangan seperti itu kecuali larangan membawa barang-barang berbahaya seperti korek api, cairan berbahaya, alat-alat yang diduga dapat digunakan untuk melukai orang lain, dsb.
Sensitive List (SL) adalah daftar yang memuat cakupan produk yang diklasifikasikan sebagai Unprocessed Agricultural Products. Contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh, serta produk tersebut juga harus dimasukkan ke dalam CEPT Scheme tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama. Contohnya Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand harus telah memasukkan produk yang ada dalam SL ke dalam IL pada tahun 2010, Vietnam pada tahun 2013, Laos dan Myanmar pada tahun 2015, serta Kamboja pada tahun 2017.
Inclusion List (IL) adalah daftar yang memuat cakupan produk yang harus memenuhi kriteria : (1) Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction Schedule. (2) Tidak boleh ada Quantitave Restrictions (QRs). (3) Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
Kapan IL ini diberlakukan untuk semua negara anggota? Berikut tabel Jadwal Penurunan dan atau Penghapusan Tarif Bea Masuk untuk Inclusion List (IL):
Sumber : www.tarif.depkeu.go.id
Aliran bebas barang merupakan komponen yang mengatur dan mengakomodasi bukan saja penghapusan tarif sebagaimana disepakati dalam AFTA, tetapi juga non-tarif yang selama ini dianggap sebagai motif proteksi.
Sikap negara-negara anggota yang melakukan proteksi terhadap produk mereka merupakan hambatan riil di lapangan yang akan menimbulkan masalah baru. Mangga Malaysia merupakan salah satu kasus kecil yang terlihat, kita tidak tahu barangkali ada cara-cara lain yang lebih soft yang dilakukan oleh negara anggota untuk memenangkan kompetisi global dalam kawasan karena alasan-alasan tertentu. Perang terbuka MEA tidak mungkin dilakukan dengan “jujur”, Kompetisi secara fair dengan meningkatkan kualitas barang dan kapasitas personal warga MEA memangharus dilakukan, tetapi upaya-upaya “haram” pun nampaknya akan jadi cara tersendiri bagi negara anggota karena tidak ada negara anggota yang mau jadi pasar semata.
Kita belum melihat dimana posisi Indonesia dalam gelanggan MEA ini, sekalipun telah banyak sosialisasi kepada masyarakat, namun masih dalam bentuk seremonial, sementara pembinaan terhadap keterampilan pengusaha-pengusaha kecil belum terlihat siap untuk bertanding. Bagaimanapun, siap tak siap, mau tidak mau, MEA tetap datang, karena deklarasinya sudah dicap stempel oleh semua negara anggota.
Baca juga :