May 092017
 

Menata Ekonomi Berkeadilan_cropToko modern dalam wujud ritel saat ini tumbuh pesat di seluruh Indonesia, pangsa pasarnya semakin melebar dan mengiris pangsa pasar ritel tradisional, jika dihadapkan antara pangsa pasar ritel tradisional dan modern, maka terlihat jelas pangsa pasar ritel tradisional semakin hari semakin mengecil karena digerus oleh keberadaan ritel modern.

KPPU merilis gesekan pangsa pasar antara modern dan tradisional ini dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2000 pangsa pasar ritel tradisional berada pada angka 65% sedangkan ritel modern memiliki pangsa pasar 35%. Namun sejak tahun 2004, pertumbuhan pangsa pasar ritel modern terus meningkat dari 35% mencapai 39%. dengan tingkat pertumbuhan pangsa pasar pada angka tersebut, pada tahun 2008 saja, pangsa pasar ritel modern sudah mencapai 53% sedangkan ritel tradisional menurun menjadi 47%. Angka-angka ini adalah akumulasi dari seluruh pertumbuhan pasar secara nasional. Barangkali persentase ini akan jauh lebih berfluktuasi dan fantastis jika dilihat secara detil per provinsi atau bahkan per kabupaten di seluruh Indonesia.

Kehadiran pengusaha ritel modern ini di satu sisi memang membawa berkah bagi konsumen karena akan dapat menyeimbangkan harga di pasar serta terjaminnya ketersediaan barang yang lebih variatif memenuhi kebutuhan dengan kualitas yang baik, tetapi di sisi lain berdampak pada tergusurnya keberadaan ritel-ritel tradisional yang secara pelan tapi pasti akan kehilangan momen meraih peluang ekonomi dalam skala yang kecil sekalipun, karena dapat dipastikan bahwa ritel tradisional tidak akan mampu bersaing dari aspek apapun dinilai, atau jika dikomparasi kekuatan ritel modern dan tradisional dari aspek bauran pemasaran yang mencakup product (produk) yang memiliki ciri kualitas, kemasan, feature, ukuran, pelayanan dan garansi. Demikian juga dengan dimensi price (harga) yang memiliki ciri harga bersaing dan metode bayar, place (tempat) yang strategis dan interior yang menarik, dan promotion (promosi). Tentu semuanya mutlak dimiliki ritel-ritel modern.

Di samping itu, melihat kenyataan produk-produk yang dijual di etalase ritel-ritel modern terkesan tanpa batas, dalam arti, semua produk-produk kebutuhan hidup rumah tangga dapat dijual sekalipun barng-barang yang sebenarnya jika dilihat dari aspek utility-nya tidak terlalu dipandang penting, bahkan dapat diadakan oleh produsen-produsen lokal yang selama ini kita lihat masih belum ditampung oleh ritel-ritel modern. Ini tentu saja akan menutup kemungkinan berkembangnya usaha ritel tradisional yang selama ini menjadi andalan pencari nafkah masyarakat menengah ke bawah.

Ekonomi Berkeadilan

Jauh-jauh hari, pemerintah telah menyadari fenomena ketidakadilan ekonomi dalam masyarakat Indonesia, dan memberikan signal serta dorongan kuat untuk mewujudkan keadilan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang dinyatakan dalam berbagai aturan. Dalam klausul poin (a) Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 menyatakan bahwa dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran, dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Selanjutnya dinyatakan dalam poin (b) bahwa untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen;

Pesan keras dalam peraturan presiden tersebut mestinya menjadi daya ungkit semangat ekonomi berkeadilan melalui implementasi aktifitas ekonomi yang melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat sebagai salah satu faktor produksi yang dapat dijadikan mitra penyedia/ pemasok barang-barang yang dapat diproduksi di lingkungan masyarkat lokal. Ini menjadi pemicu kuat akan terjadinya sharing economic di antara para pelaku usaha kecil menengah yang bermitra dan terlibat dalam proses-proses transaksi ekonomi yang berlangusng. Dan jika kemitraan ini bertahan dalam jangka waktu yang lama dapat dipastikan bahwa ekonomi berkeadilan bisa mengalami masa yang berbunga-bunga.

Keengganan memanfaatkan produk lokal oleh ritel-ritel modern ini akan menjadi beban berat pemerintah yang visi ekonominya untuk melakukan pemeratan dan keadilan ekonomi justeru menjadi penumpukan kekayaan hanya kepada pemodal-pemodal besar pemiliki ritel modern yang akan terus tumbuh dengan cepat dan menyedot banyak uang masyarakat desa untuk dibawa ke kota karena mereka memiliki sumber daya yang jauh melebihi kapasitas pelaku usaha kecil serta sistem bisnis yang mapan dengan peralatan yang modern dan canggih. Simpul-simpul ekonomi yang dibangun ritel berjejaring ini berdiri bak jamur tumbuh di musim hujan di seluruh pelosok tanah air dan menghimpun uang-uang masyarakat melalui kegiatan transaksi belanja. Salah satu cara untuk mengantisipasi munculnya persoalan ekonomi yang lebih berat ke depan adalah, ritel-ritel modern harus bersedia menampung produk-produk lokal. Dengan demikian sebagian dari uang belanja masyarkat akan tetap berputar di daerah tersebut walaupun persentasenya kecil, tetapi bila rutin dan perputarannya cepat akan sangat membantu berderaknya gerigi-gerigi ekonomi di lingkungan masyarakat.

Barangkali yang menjadi pertanyaan adalah persoalan kualitas produk lokal. Sebagaimana diketahui bahwa produk-produk yang dipajang di outlet dan ritel-ritel modern bukanlah produk yang diletakkan begitu saja, tetapi produk tersebut memiliki standar kualitas yang terukur melalui serangkaian riset yang panjang sehingga menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual di pasar. Inilah tantangan kemitraan bisnis di dunia global saat ini, selain melakukan transaksi ekonomi yang berfungsi untuk mencari profit, kemitraan juga memiliki dimensi pemberdayaan yang dapat mengembangkan dan meningkatkan standar dan kualitas produk lokal yang akan dijadikan sebagai salah satu menu dalam etalase ritel modern. Oleh karenanya, ritel-ritel modern yang memiliki potensi sumber daya manusia yang berkualitas dapat melakukan pelatihan peningktan kapasitas sumber daya manusia dan kualitas produk yang berstandar kepada mitranya (orang lokal). Hal ini akan sangat membantu masyarakat untuk lebih bersemangat dan giat bekerja memperbaiki kualitas diri dan produk yang ditawarkan untuk diakomodir pada etalase ritel-ritel modern.

Keuntungan lain adalah, produk-produk lokal akan dengan cepat dapat menembus pasar-pasar global, setidaknya nasional, karena ritel modern memiliki jejaring di seluruh tanah air bukan hanya di kota-kota, tetapi sudah sampai di pelosok desa. Dengan modal jejaring ini, ritel modern dapat melakukan pertukaran silang barang-barang lokal untuk dijual di daerah lain, dan bahkan suatu saat produk-produk lokal ini akan menjadi menu baru dalam daftar produk nasional.

Sangat disayangkan, pada butir-butir setiap pasal pada Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tidak ada kalimat tegas yang menyebutkan bahwa sumber-sumber barang produksi yang dijual toko-toko dan ritel modern harus menampung produk-produk lokal dalam kuantitas tertentu dimana ritel tersebut berdiri. Perpres tersebut hanya mengatur persoalan administrasi kemitraan guna mengikat antara pemasok dan toko modern dalam urusan sengketa jika kemudian hari muncul persoalan hukum. Namun demikian, masih ada harapan yang bisa digantungkan kepada pemerintahan daerah melalui penerbitan peraturan daerah yang berisi tuntutan untuk memasok produk lokal pada toko dan ritel-ritel modern berjejaring.

Artikel ini sudah dipublikasWaspada Medan, Selasa, 9 Mei 2017. Versi onlinenya dapat diakses di link Opini Waspada.

Baca juga :

Apr 172017
 

P_20170417_153556Pelabelan kota madani sudah tak asing lagi di telinga warga Banda Aceh, begitu melekatnya istilah madani yang dibranding oleh Walikota Illiza Sa’aduddin selama memimpin Kota Banda Aceh, bahkan disangga lagi dengan program smart city dengan indikator-indikator kerja yang mengarahkan kota Banda Aceh sebagai kota yang nyaman, aman, kemudahan akses informasi serta upaya-upaya kemandirian dalam urusan perekonomian. 

Menurut Ryaas Rasyid (2000), civil sociaty atau masyarakat madanai adalah suatu gagasan masyarakat yang mandiri yang dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan serta lembaga-lembaga yang saling berhadapan dengan negara. Dengan demikian, kemandirian merujuk pada sikap hilangnya ketergantungan terhadap sesuatu. Dalam konteks pembangunan perekonomian daerah, kemandirian dapat diterjemahkan sebagai hilangnya ketergantungan ekonomi secara berlebihan terhadap daerah lain pada saat daerah sendiri memiliki potensi ekonomi yang memungkinkan untuk dikelola secara produktif dengan syarat adanya sumberdaya manusia yang kapabel dan amanah.

Konsep jaringan-jaringan produktif dalam masyarakat madani merupakan eksistensi perekonomian rakyat yang berproses bersama institusi ekonomi yang memiliki sistem yang mapan dalam membangun dan menumbuhkan giat ekonomi dalam lingkungan masyarakat dengan mengutamakan pemberdayaan sumber-sumber ekonomi masyarakat setempat, bukan menjadi institusi yang membentuk jaringan-jaringan oligopoli bahkan monopoli sumber-sumber ekonomi mulai dari hulu hingga ke hilir oleh satu entitas pemilik modal besar saja, karena ini akan berdampak pada runtuhnya sendi-sendi ekonomi masyarakat yang belum memiliki kemampuan dalam mengelola dan menjual produk-produk mereka berhadapan dengan jaringan-jaringan ekonomi yang mapan secara manajemen dan modal tersebut.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 dengan tegas mencantumkan pokok fikirian ini dengan menyatakan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.

Kemandirian Aceh
Aceh belum bisa dikatakan mandiri secara ekonomi, ketergantungan Aceh terhadap luar, bilkhusus Medan, masih cukup bahkan sangat tinggi karena Aceh belum mampu mengelola potensi ekonomi yang dimiliki untuk menjadi kekuatan swadaya ekonomi. Secara sederhana, kita dapat menyaksikan setiap hari di seluruh terminal-terminal bus Aceh di sepanjang Jl. Ringroad/ gagak Hitam Medan yang memuat barang-barang kebutuhan pokok untuk dibawa ke Aceh mulai dari bawang, kentang, tomat, wortel, terong, cabai, yang sebenarnya bisa tumbuh subur di Aceh. Ini baru dari bus-bus penumpang saja, belum lagi truck-truck kontainer petikemas yang masuk membawa barang kebutuhan pokok lainnya.

Aliran keluar masuk barang ini tentu saja menjadi gambaran umum bagaimana perilaku transaksi keuangan Aceh di dalam maupun di luar wilayah. Data bank Indonesia tahun 2015 dapat mengkonfirmasi situasi ini. Pada tahun 2014 uang yang masuk ke Aceh (inflow) mencapai Rp. 2,8 triliun dan 79% atau sebesar Rp. 2,1 triliun uang tersebut ditransaksikan di luar Aceh (outflow). Artinya, hanya 21% atau sebesar 588 milyar saja uang tersebut yang transaksinya dilakukan di Aceh. Pada tahun 2015, uang masuk ke Aceh menurun menjadi Rp. 824,1 milyar, dan yang ditransaksikan di Aceh sebesar 596,6 milyar atau 28%. Sedangkan sisanya 72% ditransaksikan di luar Aceh. Walau terlihat meningkat persentasenya, namun besaran uang yang ditransaksikan tentu jauh lebih kecil, hanya Rp. 227,2 miliar. Barangkali, ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan daya ungkit ekonomi Aceh tidak kuat sehingga Aceh belum pernah merasakan pertumbuhan ekonomi yang baik, dan bahkan saat ini memperoleh rangking ekonomi yang buruk di regional Sumatera dengan jumlah masyarakat miskin yang membludak.

Melihat kenyataan ini, perlu difikirkan upaya-upaya yang serius diantaranya adalah; memformulasikan model ekonomi di Aceh dengan konsep keberpihakan pada ekonomi masyarakat melalui qanun yang mengatur sistem perekonomian dimana pihak ketiga yang memiliki modal dan membuka usaha di Aceh harus bersinergi dalam bentuk menampung produk-produk lokal Aceh, baik itu bentuknya outlet berjejaring, supermarket, mall maupun supermall yang suatu saat nanti akan bermunculan di Aceh dan tidak dapat dihindari karena seiring perkembangan zaman kebutuhan manusia semakin tinggi dan beragam sehingga mengundang produsen untuk hadir memenuhi permintaan pasar.

Saat ini kita bisa menyaksikan sejumlah outlet berjejaring yang sudah mucul di kota bahkan hingga ke pelosok desa memasarkan produk-produk yang sangat lengkap dan beragam untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mereka bawa dari luar. Hal ini bukanlah sesuatu yang salah dari perspektif bisnis, tetapi konsep ekonomi yang diusung cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang bergelut dalam sektor yang sama guna memenuhi ekonomi keluarga tetapi tidak memiki modal cukup untuk mengembangkan usahanya dan dipaksa berkompetisi di pasar terbuka.

Selain itu, keengganan menampung produk-produk lokal akan mengakibatkan semakin cepatnya aliran uang keluar dari Aceh karena modal kerja usaha akan ditransfer ke produsen pemilik barang yang semuanya berasal dari luar. Artinya, keberadaan outlet jejaring sangat potensial menyedot banyak sekali uang masyarakat lokal yang dihimpun melalui outlet-outlet yang bertebaran di kota bahkan desa-desa untuk kemudian dibawa keluar. Sebaliknya, jika mereka menerima produk lokal sebagai daftar barang dalam outlet tentu saja uang konsumen yang dibelanjakan akan dikembalikan ke masyarakat lokal dan setidaknya ada upaya-upaya untuk menahan atau memperlambat arus keluarnya uang sehingga terdapat waktu yang cukup untuk proses perputaran uang di Aceh yang dapat membentuk pusaran ekonomi baru guna menggerakkan ekonomi daerah.

Perlu menjadi catatan, bahwa keberadaan outlet atau retail jejaring tidak harus menjadi penghambat, tetapi harus ada kerjasama yang saling menguntungkan dengan masyarakat. Sinergisitas masyarakat dengan outlet-outlet tersebut akan memudahkan produk-produk lokal sampai ke seluruh daerah dan saling melengkapi sehingga akan menjadi model pengembangan ekonomi berkemajuan di tengah masyarakat global yang semakin membutuhkan dan melengkapi satu sama lainnya. Ekonomi berkemajuan tercermin dari sifat-sifat kebaikan, keadilan, kesejahteraan serta kemakmuran bersama.

Kemandirian harus dilihat dari kemampuan suatu daerah mengembangkan perekonomiannya dengan semaksimal mungkin mempergunakan sumber daya sendiri, potensi-potensi yang dimiliki Aceh di setiap daerah memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi produk yang kompetitif dan mampu menjadi salah satu produsen yang mengisi persaingan pasar.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Rakyat Aceh. Linknya dapat diakses disini

Baca juga :