Di sepanjang Sungai Mahakam Samarinda, setiap hari terlihat kesibukan hilir mudik kapal-kapal tongkang yang selalu didampingi dua boat bermesin yang berfungsi sebagai boat pendorong di belakang, dan satu lagi boat penarik dari depan tongkang. Tongkang berkapasitas 7.500 metrik ton ini setiap hari mengangkut batu bara yang dikeruk dari perut bukit-bukit di sebelah hulu sungai Mahakam untuk kemudian di bawa ke muara tempat kapal-kapal “Induk” lempar jangkar dan siap menampung batu bara yang diangkut tongkang. Kapal-kapal “induk” ini berkapasitas 80.000 – 100.000 metrik ton dengan ukuran kapal rata-rata 230 – 250 m, atau dua kali lebh luas lapangan bola. Itu berarti, setiap “kapal induk” membutuhkan sekitar 10-15 tongkang untuk memenuhi kapasitas sekali angkut kapal induk. Tujuannya ke Eropa. Kapal-kapal induk tersebut lempar jangkar di lautan berkedalaman 80 – 100 meter.
Untuk mencapai kapal induk, setiap ongkang harus menempuh perjalanan di sepanjang sungai Mahakam selama minimal 36 jam dari kolong jembatan Samarinda ini. Dari kolong jembatan ke lokasi pengerukan batu bara perlu waktu 7 jam lagi. Itu waktu normal, bahkan tidak jarang mereka menempuh waktu sampai 40 jam + 7 jam (perhitungan dari titik kolong jembatan layang Samarinda).
Tongkang-tongkang ini terus berseliweran berjejer setiap 300 – 350 meter antri memanjang ke arah muara. Seolah-olah mereka membawa tumpukan bukit, setiap tongkang memuat 4 – 5 bukit… Seperti bukit berjalan. Tapi, kata masyarakat setempat, ini sudah sepi sekali, biasanya lalu lintas kapal ini seperti lalu lintas di darat, seiring banyaknya perusahaan kecil yang bangkrut, karena tidak mampu membayar demurrage (orang setempat menyebut demorit) jika terjadi keterlambatan, maka mereka harus membayar denda ratusan juta per jam. Yang bertahan adalah perusahaan-perusahaan yang kuat secara finansial, dan mampu menjaga disiplin waktu sandar, atau mereka terkena demorit.
Cerita panjang lebar yang saya dengar dari eks pekerja buruh bongkar batu bara hari ini, sungguh mengharukan sekaligus membingungkan… Satu sisi kekayaan alam Kalimantan bergelimang… Di sisi lain, mereka tetap mengatakan ekonomi saat ini sulit sekali. Dia bertanya, kenapa bisa begitu pak? Menurut Bapak apa yang salah sama negara ini? Aku terpaku dan memberi sedikit jawaban yang akademis.. Tapi entah dia puas atau tidak, Wallahua’lam… Mungkin angguknya tadi hanya untuk menyenangkan perasaan saya saja…..