Data pasti mengenai jumlah massa yang turut serta dalam aksi super damai 212 di Jakarta yang baru saja kita saksikan memang masih simpang siur. Sebagaimana diketahui umum bahwa kapasitas Monas hanya mampu menampung 700ribu massa. Sementara jika melihat lautan massa yang begitu menyemut diduga jumlah massa mencapai jutaan, pendapat sebagian kalangan dihari ketiga pasca aksi, bermunculan data-data jumlah massa hingga mencapai 7juta jiwa. Kalkulasi yang dilakukan berbagai pihak sangat beragam, mulai dari menghitung secara kasar dan mengira-ngira, menghitung luas area dengan mengkalikan perorang 0,3 sehingga diperoleh jumlah total massa, hingga yang menggunakan kalkulasi lebih canggih dan praktis seperti google earth.
Saudi Arabia dalam musim haji 2016 hanya dapat menampung 1,8 juta jama’ah, tidak terbayangkan jika kuota haji Indonesia dibuka lebih lebar, barangkali pemerintahan Saudi akan sangat kewalahan menyediakan fasilitas bagi jama’ah haji ummat Islam Indonesia. Sebagai catatan, bahwa aksi 212 adalah panggilan hati, bukan “panggilan surat”. Ummat Islam yang menunaikan haji adalah panggilan Allah, sehingga, membuka lebar-lebar kuota haji dapat diprediksi bahwa jama’ah Indonesia lah yang paling banyak mendaftarkan diri.
Lantas berapa angka yang wajar kita catatkan untuk massa 212 tersebut? Agar tidak terlalu berlebihan, dapat kita ambil angka tengah dari sekian banyak seliweran data yang beredar, katakanlah 4 juta orang peserta aksi. Jika diasumsikan empat juta massa ini menghabiskan belanja 1,5 juta per orang, maka akan diperoleh angka 6 triliun uang yang beredar pada satu hari tersebut. Angka yang sangat fantastis, dan jauh melampaui potensi ekonomi yang dihasilkan oleh even tahunan seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang hanya mampu mendatangkan potensi sebesar Rp. 4,5 triliun dalam satu minggu. Artinya PRJ hanya dapat meraup potensi Rp. 643 milyar per hari, atau hanya 11,71% dari potensi ekonomi 212. Atau bahkan jika dibandingkan dengan target pendapatan pemprov DKI Jakarta dari sektor pariwisata pada tahun 2015 sebagaimana disampaikan Kepala Disparhub DKI Jakarta dengan 2,5 juta wisman dan 32juta wisatawan nusantara, hanya mampu mendatangkan uang lebih kurang sebesar Rp. 3,5 – 4 triliun. Angka yang sangat jauh dalam pencapaian satu tahun dibandingkan sehari pada aksi super damai 212.
Selain potensi ekonomi yang ditimbulkan dari aksi ini, ada sisi-sisi unik lainnya yang mengalir menyertai kesejukan dalam aksi ini, sampah tidak berserakan, rumput tidak ada yang terinjak sehingga jelas terlihat batas tepi manusia berdiri dengan garis lapangan tempat rumput tumbuh menghijau. Jika menggunakan helicopter view terlihat seperti lukisan yang memperjelas warna jalan yang memutih dan rerumputan serta pepohonan hijau yang tak bergeming sedikitpun. Dan menelisik lebih jauh ke dalam kerumunan sungguh banyak aksi-aksi filantropi yang dipraktekkan peserta.
Aksi Filantropi dan Ekonomi Berbagi
Di belakang hiruk pikuk massa aksi super damai 212 ini sangat banyak cerita dan hikmah yang harus digali dan dapat diambil hikmahnya. Selain dari perspektif ekonomi, sosial, politik dan keamanan, hal yang jarang menjadi sorotan adalah aspek filantropi para peserta aksi yang menghanyutkan kita dalam rasa haru yang dahsyat. Energi ini tidak dapat direkayasa sedemikian rupa karena jika hati yang berbicara dia akan menghasilkan power yang tiada bandingnya. Kerelaan para peserta untuk hadir ke Jakarta dengan biaya sendiri saja merupakan suatu sikap batin yang sulit diukur. Apakah gerangan yang menggerakkan hati ummat Islam seluruh nusantara menjadi satu suara? Tertib, rapi, indah berbaris bershaf-shaf seperti bangunan kokoh yang sulit ditembus oleh provokasi dan hasutan, sehingga aksi benar-benar berjalan lancar dan super damai. Untuk ini, kita patut angkat topi untuk manajemen aksi massa dan seluruh peserta.
Para pedagang keliling, penjual nasi bungkus, lontong dan segala jenis makanan merelakan dagangan mereka untuk disantap gratis oleh para peserta aksi. Di gerobak-gerobak dan buffet-buffet dagangan meraka dituliskan kalimat “gratis untuk para mujahid”. Aksi kedermawanan yang tak kalah hebatnya. Apakah ini benar-benar gratis? Ya, memang demikian menurut peserta yang hadir. Tetapi jangan keliru sangka. Karena sikap kedermawanan tersebut pula justeru para pedagang yang ikhlas tersebut memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar dan berlipat. Karena ternyata para peserta tidak serta merta merasa berhak memperoleh makanan tersebut secara gratis jika mereka merasa punya uang cukup. Para peserta justeru memaksa pedagang-pedagang tersebut untuk menerima uang mereka sebagai layaknya antara penjual dan pembeli. Bahkan banyak dari pedagang yang terharu. Kebaikan mereka hari itu ternyata langsung dilipatgandakan karena menurut pengakuan banyak pedagang, biasanya mereka memperoleh pemasukan setiap hari antara 200-500 ribu perhari. Tetapi hari ini mereka bahkan mendapat rezeki 1-1,5 juta dari hasil kedermawanan para peserta aksi.
Sebenarnya potensi ekonomi yang dihasilkan dari aksi massa ini dapat memberikan manfaat ekonomi bukan hanya bagi Jakarta, tetapi juga bagi seluruh daerah dari mana massa berasal karena pada peristiwa ini, seluruh peserta pasti akan membelanjakan uang mereka mulai dari tempat berangkat hingga ke tempat tujuan dan kembali lagi ke kampung halaman. Dan sifatnya sangat liquid, cari-secair-cairnya karena kebutuhan selama aksi diselenggarakan menuntut uang harus dikeluarkan dari kantong sehinga peredaran uang berlangsung cepat dan sangat membantu mengatasi kemacetan sisi-sisi gerigi ekonomi. Rangkaian seluruh aksi massa ini tentu saja akan berdampak pada sharing economic (ekonomi berbagi) yang memberikan kesempatan kepada banyak pihak menikmati belanja para peserta aksi.
Situasi serupa barangkali dapat kita bandingkan dengan dampak ekonomi yang dialirkan oleh ummat Islam saat mudik dan arus balik pada peristiwa hari raya idul fitri dan idul adha setiap tahunnya. Ummat Islam mengalirkan uang dari kota ke kampung dan kembali lagi ke tempat kerja mereka. Arus uang yang mengalir ini sudah biasa dianalisis oleh para pakar ekonomi baik secara mikro maupun makro sebagai salah satu bentuk pergerakan dan peredaran uang yang berdampak pada perekonomian masyarakat. Untuk kasus ini sebaliknya, uang dari seluruh desa-desa di nusantara mengalir dan hanyut ke kota Jakarta.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan makna ekonomi berbagi, dapat diprediksi bahwa dampak ekonomi yang ditimbulkan aksi massa ini akan mengalir ke banyak sektor riil. Mulai dari pengusaha perhotelan, pedagang pulsa, depot obat dan apotek, warung nasi, kafe, sol sepatu, pedagang asongan, penjual minuman, hingga pemulung sekalipun akan panen dari sampah-sampah yang dihasilkan oleh para peserta aksi.
Dampak ekonomi seperti ini tentu akan sulit diperoleh seandainya para peserta aksi tak dapat dikendalikan dan melakukan tindakan-tindakan anarkis yang merusak fasilitas sekitarnya sehingga menimbulkan kerugian yang mungkin juga sangat besar karena massa yang begitu banyak akan sulit dikendalikan saat terjadi kekacauan.
Kedermawanan bisa dihadirkan di setiap tempat dan waktu seperti dipraktekkan oleh peserta aksi damai 212 ini. Saling memberi dan saling berbagi dapat menciptakan kesimbangan. Keseimbangan akan terjadi pada saat orang yang memiliki kelebihan mengalirkan sebagian kelebihannya kepada orang yang kekurangan. Dalam transaksi ekonomi pun terdapat teori demand & supply yang akan menciptakan titik equilibrium, titik keseimbangan yang hanya terjadi pada saat dua pihak mampu menciptakan satu titik kerelaaan. Aksi filantropi merupakan salah satu dimensi yang dapat menciptakan titik equilibrium dalam kehidupan bermasyarakat.
Artikel ini telah diterbitkan pada kolom Opini Harian Serambi Indonesia tanggal 06 Desember 2016, dan dapat diakses melalui link Opini Serambi Indonesia.
Baca Juga :