Dec 062016
 

aksi-filantropi-212Data pasti mengenai jumlah massa yang turut serta dalam aksi super damai 212 di Jakarta yang baru saja kita saksikan memang masih simpang siur. Sebagaimana diketahui umum bahwa kapasitas Monas hanya mampu menampung 700ribu massa. Sementara jika melihat lautan massa yang begitu menyemut diduga jumlah massa mencapai jutaan, pendapat sebagian kalangan dihari ketiga pasca aksi, bermunculan data-data jumlah massa hingga mencapai 7juta jiwa. Kalkulasi yang dilakukan berbagai pihak sangat beragam, mulai dari menghitung secara kasar dan mengira-ngira, menghitung luas area dengan mengkalikan perorang 0,3 sehingga diperoleh jumlah total massa, hingga yang menggunakan kalkulasi lebih canggih dan praktis seperti google earth.

Saudi Arabia dalam musim haji 2016 hanya dapat menampung 1,8 juta jama’ah, tidak terbayangkan jika kuota haji Indonesia dibuka lebih lebar, barangkali pemerintahan Saudi akan sangat kewalahan menyediakan fasilitas bagi jama’ah haji ummat Islam Indonesia. Sebagai catatan, bahwa aksi 212 adalah panggilan hati, bukan “panggilan surat”. Ummat Islam yang menunaikan haji adalah panggilan Allah, sehingga, membuka lebar-lebar kuota haji dapat diprediksi bahwa jama’ah Indonesia lah yang paling banyak mendaftarkan diri.

Lantas berapa angka yang wajar kita catatkan untuk massa 212 tersebut? Agar tidak terlalu berlebihan, dapat kita ambil angka tengah dari sekian banyak seliweran data yang beredar, katakanlah 4 juta orang peserta aksi. Jika diasumsikan empat juta massa ini menghabiskan belanja 1,5 juta per orang, maka akan diperoleh angka 6 triliun uang yang beredar pada satu hari tersebut. Angka yang sangat fantastis, dan jauh melampaui potensi ekonomi yang dihasilkan oleh even tahunan seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang hanya mampu mendatangkan potensi sebesar Rp. 4,5 triliun dalam satu minggu. Artinya PRJ hanya dapat meraup potensi Rp. 643 milyar per hari, atau hanya 11,71% dari potensi ekonomi 212. Atau bahkan jika dibandingkan dengan target pendapatan pemprov DKI Jakarta dari sektor pariwisata pada tahun 2015 sebagaimana disampaikan Kepala Disparhub DKI Jakarta dengan 2,5 juta wisman dan 32juta wisatawan nusantara, hanya mampu mendatangkan uang lebih kurang sebesar Rp. 3,5 – 4 triliun. Angka yang sangat jauh dalam pencapaian satu tahun dibandingkan sehari pada aksi super damai 212.

Selain potensi ekonomi yang ditimbulkan dari aksi ini, ada sisi-sisi unik lainnya yang mengalir menyertai kesejukan dalam aksi ini, sampah tidak berserakan, rumput tidak ada yang terinjak sehingga jelas terlihat batas tepi manusia berdiri dengan garis lapangan tempat rumput tumbuh menghijau. Jika menggunakan helicopter view terlihat seperti lukisan yang memperjelas warna jalan yang memutih dan rerumputan serta pepohonan hijau yang tak bergeming sedikitpun. Dan menelisik lebih jauh ke dalam kerumunan sungguh banyak aksi-aksi filantropi yang dipraktekkan peserta.

Aksi Filantropi dan Ekonomi Berbagi

Di belakang hiruk pikuk massa aksi super damai 212 ini sangat banyak cerita dan hikmah yang harus digali dan dapat diambil hikmahnya. Selain dari perspektif ekonomi, sosial, politik dan keamanan, hal yang jarang menjadi sorotan adalah aspek filantropi para peserta aksi yang menghanyutkan kita dalam rasa haru yang dahsyat. Energi ini tidak dapat direkayasa sedemikian rupa karena jika hati yang berbicara dia akan menghasilkan power yang tiada bandingnya. Kerelaan para peserta untuk hadir ke Jakarta dengan biaya sendiri saja merupakan suatu sikap batin yang sulit diukur. Apakah gerangan yang menggerakkan hati ummat Islam seluruh nusantara menjadi satu suara? Tertib, rapi, indah berbaris bershaf-shaf seperti bangunan kokoh yang sulit ditembus oleh provokasi dan hasutan, sehingga aksi benar-benar berjalan lancar dan super damai. Untuk ini, kita patut angkat topi untuk manajemen aksi massa dan seluruh peserta.

Para pedagang keliling, penjual nasi bungkus, lontong dan segala jenis makanan merelakan dagangan mereka untuk disantap gratis oleh para peserta aksi. Di gerobak-gerobak dan buffet-buffet dagangan meraka dituliskan kalimat “gratis untuk para mujahid”. Aksi kedermawanan yang tak kalah hebatnya. Apakah ini benar-benar gratis? Ya, memang demikian menurut peserta yang hadir. Tetapi jangan keliru sangka. Karena sikap kedermawanan tersebut pula justeru para pedagang yang ikhlas tersebut memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar dan berlipat. Karena ternyata para peserta tidak serta merta merasa berhak memperoleh makanan tersebut secara gratis jika mereka merasa punya uang cukup. Para peserta justeru memaksa pedagang-pedagang tersebut untuk menerima uang mereka sebagai layaknya antara penjual dan pembeli. Bahkan banyak dari pedagang yang terharu. Kebaikan mereka hari itu ternyata langsung dilipatgandakan karena menurut pengakuan banyak pedagang, biasanya mereka memperoleh pemasukan setiap hari antara 200-500 ribu perhari. Tetapi hari ini mereka bahkan mendapat rezeki 1-1,5 juta dari hasil kedermawanan para peserta aksi.

Sebenarnya potensi ekonomi yang dihasilkan dari aksi massa ini dapat memberikan manfaat ekonomi bukan hanya bagi Jakarta, tetapi juga bagi seluruh daerah dari mana massa berasal karena pada peristiwa ini, seluruh peserta pasti akan membelanjakan uang mereka mulai dari tempat berangkat hingga ke tempat tujuan dan kembali lagi ke kampung halaman. Dan sifatnya sangat liquid, cari-secair-cairnya karena kebutuhan selama aksi diselenggarakan menuntut uang harus dikeluarkan dari kantong sehinga peredaran uang berlangsung cepat dan sangat membantu mengatasi kemacetan sisi-sisi gerigi ekonomi. Rangkaian seluruh aksi massa ini tentu saja akan berdampak pada sharing economic (ekonomi berbagi) yang memberikan kesempatan kepada banyak pihak menikmati belanja para peserta aksi.

Situasi serupa barangkali dapat kita bandingkan dengan dampak ekonomi yang dialirkan oleh ummat Islam saat mudik dan arus balik pada peristiwa hari raya idul fitri dan idul adha setiap tahunnya. Ummat Islam mengalirkan uang dari kota ke kampung dan kembali lagi ke tempat kerja mereka. Arus uang yang mengalir ini sudah biasa dianalisis oleh para pakar ekonomi baik secara mikro maupun makro sebagai salah satu bentuk pergerakan dan peredaran uang yang berdampak pada perekonomian masyarakat. Untuk kasus ini sebaliknya, uang dari seluruh desa-desa di nusantara mengalir dan hanyut ke kota Jakarta.

Dengan tidak bermaksud menyederhanakan makna ekonomi berbagi, dapat diprediksi bahwa dampak ekonomi yang ditimbulkan aksi massa ini akan mengalir ke banyak sektor riil. Mulai dari pengusaha perhotelan, pedagang pulsa, depot obat dan apotek, warung nasi, kafe, sol sepatu, pedagang asongan, penjual minuman, hingga pemulung sekalipun akan panen dari sampah-sampah yang dihasilkan oleh para peserta aksi.

Dampak ekonomi seperti ini tentu akan sulit diperoleh seandainya para peserta aksi tak dapat dikendalikan dan melakukan tindakan-tindakan anarkis yang merusak fasilitas sekitarnya sehingga menimbulkan kerugian yang mungkin juga sangat besar karena massa yang begitu banyak akan sulit dikendalikan saat terjadi kekacauan.

Kedermawanan bisa dihadirkan di setiap tempat dan waktu seperti dipraktekkan oleh peserta aksi damai 212 ini. Saling memberi dan saling berbagi dapat menciptakan kesimbangan. Keseimbangan akan terjadi pada saat orang yang memiliki kelebihan mengalirkan sebagian kelebihannya kepada orang yang kekurangan. Dalam transaksi ekonomi pun terdapat teori demand & supply yang akan menciptakan titik equilibrium, titik keseimbangan yang hanya terjadi pada saat dua pihak mampu menciptakan satu titik kerelaaan. Aksi filantropi merupakan salah satu dimensi yang dapat menciptakan titik equilibrium dalam kehidupan bermasyarakat.

Artikel ini telah diterbitkan pada kolom Opini Harian Serambi Indonesia tanggal 06 Desember 2016, dan dapat diakses melalui link Opini Serambi Indonesia.

Baca Juga :

Sep 022016
 

Baitul Asyi dan Filantropi Para HajiDana kompensasi Baitul Atsyi khusus untuk jama’ah haji Aceh telah dibayarkan sebesar 1.200 riyal, setara dengan Rp. 4.4 juta rupiah per orang (serambi Indonesia, 22 Agustus 2016). Tahun ini masyarakat Aceh yang berangkat ke haji mencapai 3.140 jam’ah (menurut kuota). Dengan demikian, jumlah keseluruhan dana kompensasi yang dibayarkan mencapai 13,8 milyar.

Jama’ah haji Aceh tentu bergembira mendapatkan dana kompensasi tersebut karena sangat membantu mengurangi beban biaya selama menjalankan proses dan rangkaian ibadah haji selama di Mekkah dan Madinah. Selain untuk kebutuhan-kebutuhan dasar, uang tersebut juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para jama’ah terhadap barang-barang sekunder dan oleh-oleh untuk kerabat di kampung halaman, sebagaimana telah menjadi kebiasaan para jama’ah Indonesia pada umumnya.

Sebagaimana diketahui, dana kompensasi Baitul Atsyi berasal dari wakaf berupa rumah pemondokan di Qasasiah, tempat antara Marwah dan Masjidil Haram, dekat pintu Bab Al-Fatah, oleh Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang hidup pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam. Beliau telah menghadap Hakim Mahkamah Syar’iyyah Mekkah pada 1224 H/ 1809 M untuk mendaftarkan harta wakafnya tersebut. Wakaf rumah pemondokan tersebut  diperuntukkan bagi warga Aceh yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau bagi siswa siswi Aceh yang belajar di Mekkah. Disamping itu, Habib Bugak Asyi meniatkan pemondokan ini untuk tempat tinggal bagi warga Aceh yang bermukim di Mekkah.

Ruang Lingkup Diperluas

Berkaitan dengan rencana pemerintah Aceh mengundang nadhir Baitul Atsyi ke Aceh untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan dana kompensasi tersebut, serta kemungkinan memperluas ruang lingkup penyalurannya, maka diperlukan kajian yang konprehensif dan melibatkan pakar/ ahli dalam bidang ini agar tujuan wakaf itu sendiri tidak melenceng. Sebagaimana wacana yang telah dilontarkan pemerintah Aceh, bahwa ruang lingkup penggunaan dana kompensasi Baitul Atsyi akan diperluas, yakni (1) penggunaannya tidak hanya untuk Jama’ah calon haji saja, (2) pembagian dana kompensasi dilakukan di Aceh setelah jama’ah haji kembali, (3) digunakan untuk beasiswa warga Aceh yang studi di Timur Tengah.

Wacana tersebut sangat penting untuk diapresiasi karena nilai kemanfaatannya semakin tinggi dan penerima manfaatnya semakin menyebar luas sehingga lebih banyak masyarakat Aceh yang akan merasakan dampak dari kebaikan aset wakaf ini. Bahkan, jika memungkinkan, calon jama’ah haji yang notbene sebenarnya telah masuk dalam kategori mampu (menunaikan haji secara mental dan material) untuk berfikir jauh lebih maju dengan “menolak” menerima uang tunai wakaf tersebut, dan mengikrarkannya untuk disalurkan kepada masyarakat Aceh lainnya yang masuk dalam kategori fakir dan miskin, bentuknya bisa saja dalam bentuk beasiswa, pembangunan rumah dhuafa, modal dan pembinaan usaha kecil masyarakat pinggiran. Maka dana kompensasi 14 milyar tersebut akan sangat membantu Aceh dalam membangun masyarakat.

Wacana tentang pembagian dana kompensasi dilakukan di Aceh setelah jama’ah haji kembali dengan tujuan agar uang tersebut berputar di Aceh merupakan ide yang baik dari perspektif ekonomi. Namun demikian, jika dana tersebut tetap dibagikan kepada jama’ah haji, tentu sejak awal para jama’ah sudah memperkirakan bahwa uang tersebut mereka terima, dan sebelum berangkat haji, para jama’ah juga meningkatkan jumlah rencana belanjanya selama musim haji di Mekkah dan Madinah, setidaknya setara dengan dana kompensasi baitul Atsyi, artinya tujuan dari wacana tersebut tidak dapat dicapai karena uang yang dibawa keluar dari Aceh oleh jama’ah calon haji untuk dibelanjakan di Mekkah dan Madinah sudah setara dengan dana kompensasi yang akan mereka terima saat pulang.

Untuk wacana ketiga, digunakan untuk beasiswa warga Aceh yang studi di Timur Tengah. Kita semua belum mengetahui persis secara detil isi dari butir-butir lembaran wakaf yang dihadapkan pada Mahkamah Syar’iyyah Mekkah oleh Habib Bugak 207 tahun yang lalu itu. Secara umum yang berkembang di masyarakat bahwa sang Wakif meniatkannya untuk kompensasi bagi jama’ah haji yang tidak menginap di baitul atsyi, atau bagi masyarakat warga Aceh yang bermukim di Mekkah, atau bagi warga Aceh yang sedang menjalankan studi di Mekkah. Dengan menyebutkan nama tempat secara khusus berarti memiliki ikatan teritorial batas wilayah dimana dana kompensasi tersebut boleh disalurkan. Jika wacana pemerintah menyebutkan Timur Tengah, berarti yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang secara politis, dan budaya merupakan bagian dari benua Asia, atau Afrika-Eurasia. Dimana pusat dari wilayah ini adalah daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab dan Semenanjung Sinai. Setidaknya kawasan Timur Tengah mencakup lebih kurang 27 negara. Perluasan ruang lingkup ini menjadi menarik dan jika terwujud tentu secara nilai, harta wakaf yang dikandung oleh aset baitul atsyi ini semakin meningkat dan kemanfaatannya dirasakan oleh lebih banyak masyarakat Aceh.

Filantropi Masyarakat Aceh

Kedermawanan sang wakif, Habib Bugak Al-Asyi ini tak mungkin lagi kita pungkiri. Dalam banyak catatan dan cuplikan cerita mengenai baitul asyi ini, hanya kebaikan-kebaikan beliau saja yang disebut, bahkan untuk sosok pribadi beliau sendiri pun sangat sulit untuk ditelusuri, karena di dalam surat wakaf yang beliau tandatangani hanya menyebutkan dirinya sebagai Habib Bugak Asyi. Jika seorang Habib Bugak Asyi sudah jauh-jauh hari berfikir untuk seluruh masyarakat Aceh yang tidak beliau kenal tanpa kecuali mendapatkan kompensasi dengan tidak menetapkan batas waktu, maka nilai-nilai kebaikan itu sangat pantas kita teladani dengan melakukan hal yang sama dalam ruang lingkup yang kecil dan tanpa mengurangi suatu apapun dari diri kita. Tidak ada salahnya masyarakat Aceh, khususnya yang menjadi sasaran dalam lembaran wakaf baitul atsyi tersebut secara serentak menjadi dermawan massal, menunjukkan bahwa pribadi-pribadi kita sebagai masyarakat Aceh memang memiliki ruh-ruh filantropi yang dahsyat. Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusian, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Bagaimana caranya? Dengan merelakan dana kompensasi tersebut dialokasikan untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kapasitas masyarakat fakir dan miskin di seluruh wilayah Aceh. Sikap ini barangkali akan sangat membantu menginternalisasi nilai-nilai luhur yang melambangkan kepedulian bersama terhadap keadaan yang tidak menguntungkan bagi sebagian masyarakat. Sebagaimana pedulinya sang wakif Habib Al-Asyi kepada masyarakat Aceh.

Karena wacana ini akan menyeret beberapa konsep yang berbeda di waktu yang bersamaan, yaitu; konsep wakaf, ekonomi, dan di satu sisi filantropi masyarakat Aceh, khususnya jama’ah calon haji, maka akan dibutuhkan kajian yang mendalam yang melibatkan banyak pihak untuk sama-sama memikirkan nilai dan kemanfaatan aset wakaf ini sehingga apa yang menjadi cita-cita sang wakif dapat terwujud dan menularkan sifat-sifat kebaikannya bagi masyarakat Aceh secara umum.

Sebagai penutup, wacana pemerintah untuk memperluas penggunaan dana kompensasi baitul atsyi merupakan ide yang penting untuk didiskusikan dengan berorientasi pada manfaat yang lebih luas dengan cakupan sasaran yang lebih banyak serta membantu fakir dan miskin meningkatkan kualitas hidup mereka. Masyarakat Aceh memiliki banyak kesempatan menjadi filantropis, jiwa-jiwa dermawan yang telah ditanamkan oleh para endatu harus dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku nyata dalam keseharian, bukan sekedar menjadi cerita nostalgia masa lalu (MY)

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 2 September 2016. Versi onlinenya dapat diakses melalui link Opini Serambi Indonesia.

Baca juga :

Dec 302015
 

filantropiBeberapa waktu lalu terdengar kabar bahwa ada komunitas yang menggerakkan anggota mereka untuk melakukan kebaikan melalui kegiatan-kegiatan ringan tetapi sangat bermanfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bentuk kegiatannya sederhana, menghimbau masyarakat luas untuk mendermakan sebagian rezeki mereka agar disalurkan kepada yang berhak, dalam hal ini sasarannya spesifik, yaitu tim kebersihan kota Banda Aceh, lebih tepatnya para pekerja yang ditugaskan menyapu dan membersihkan ruas-ruas jalan di Kota Banda Aceh.

Bantuan yang mereka peroleh tersebut didistribusikan dalam bentuk nasi bungkus untuk sarapan pagi para pekerja kebersihan, dan untuk saat ini, sambil melakukan sosialisasi melalui media sosial, mereka hanya membagikan sarapan pagi gratis tersebut di setiap hari Sabtu dalam jumlah yang terbatas dan di tempat-tempat terbatas. Komunitas ini menamakan diri mereka dengan Ruman Aceh. Selain membagikan sarapan pagi gratis bagi pekerja kebersihan kota, Ruman Aceh yang digerakkan oleh Arif ini juga membuka lapak pustaka setiap minggu pagi di Public Sport Centre Blang Padang. Dan buku-bukunya bisa dipinjam oleh masyarakat untuk dibawa pulang tanpa dipungut biaya. Ruman Aceh memadukan kegiatan kedermawanan di satu sisi dan sekaligus melakukan kegiatan edukasi.

Selain Ruman Aceh, ada warga Aceh lainnya secara pribadi berinisiatif melakukan kegiatan kedermawanan serupa dalam bentuk lain, yaitu Edi Fadhil. Rasa pedulinya muncul ketika melihat banyaknya warga masyarakat yang tinggal di tempat-tempat yang tidak layak huni, bahkan tidak manusiawi, yaitu di kandang sapi, kandang ayam dan tempat-tempat lain yang sangat memprihatinkan, padahal Aceh merupakan daerah yang memiliki APBA sangat luar biasa dibandingkan provinsi lain, dan bahkan memiliki Baitul Mal yang telah memperoleh penghargaan sebagai Lembaga Zakat yang memiliki manajemen terbaik nasional. Edi telah membangun banyak rumah warga miskin di pelosok Aceh, dan masyarakat telah memberikan amanah kepada Edi untuk menyampaikan amanah yang dititipkan kepada beliau untuk pembangunan rumah-rumah warga miskin tersebut, dan hingga saat ini terus berjalan baik.

Fenomena dua cerita singkat di atas mengingatkan kita pada istilah yang baru-baru ini dipopulerkan kembali di Indonesia oleh dosen sekaligus peneliti muda dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Alumni Utrech University Belanda,  Hilman Latief, MA, Ph.D, yaitu Filantropi.

Dalam Kamus Wikipedia dikatakan bahwa, Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Menurut Hilman, wujud dari kegiatan filantropi adalah perilaku kedermawanan, dan membangun relasi sosial yang baik antara kaya dan miskin.  Inti dari kegiatan filantropi adalah untuk mendorong terciptaanya kemaslahatan, public good, kesejahteraan bersama.

Melihat dan mengamati adanya kegiatan kedermawanan ini di Aceh, sungguh luar biasa dan patut diapresiasi dengan semangat yang tinggi agar tidak berhenti pada dua cerita di atas, tetapi bisa bergerak dan berlaku secara massif hingga pada titik dimana kegiatan ini menjadi suatu gerakan yang memang muncul karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk berderma, bukan karena aktifitas politik guna meraup suara saja.

Konon lagi, Aceh yang merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan Syariat Islam sebagai pedoman hidupnya, maka mestinya filantropi bukan merupakan hal yang asing bagi masyarakat Aceh. Hilman pada presentasinya dalam acara Interdiscplinary Colloquium bulanan  yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana STAIN Salatiga, menjelaskan secara singkat bagaimana substansi filantropi dalam Islam dengan menyatakan “Dalam filantropi Islam, hubungan pemberi dan penerima bukan untuk melanggengkan relasi superior-inferior, tetapi lebih pada kemitraan, partnership, sehingga hubungan dalam keseimbangan dan kesetaraan, dan karenanya dapat dihindarkan  pemberian yang disertai dengan pesan-pesan tertentu”

Pengelola filantropi bisa ditangani oleh banyak pelaku, mulai dari Negara dengan   mendirikan dan mengelola Badan Amil Zakat dll, masyarakat sipil seperti pendirian dan pengelolaan Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat, dll, dan dapat pula korporasi atau perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Beberapa lembaga Filantropi Islam yang didirikan oleh masyarakat antara lain  Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, BAZNAS, LAZISMU, Infaq Club (Dewan Dakwah), LAZISNU, PKPU, MDMC, dan banyak lagi. Persoalan yang dihadapi umat Islam negeri ini bukan pada jumlah lembaga pengelola filantropi itu sendiri, tetapi apakah dengan meningkatnya kedermawanan umat Islam dapat menjadi pendorong perubahan pada tingkat individual dan kolektif itu. Maka di sinilah letak pentingnya distribusi dan pemanfaatan dana filantropi Islam untuk kesejahteraan sosial, yang antara lain mencakup bidang kesehatan seperti klinik dan RS, dll; bidang pendidikan: sekolah, madrasah, perguruan tinggi; bidang social seperti panti asuhan, bantuan bencana, dll; dan bidang pemberdayaan ekonomi seperti koperasi, dan BMT.

Walaupun empat hal di atas merupakan tanggung jawab Negara, namun karena keterbatasan negara untuk memenuhinya, atau negara tidak memiliki kebijakan dan kemauan politik yang berpihak, maka masyarakat perlu mengambil sebagian dari peran dan tanggung jawab negara itu.

Mungkin banyak masyarakat baik secara pribadi maupun lembaga yang melakukan kegiatan filantropi di Aceh, tetapi banyak dari mereka yang tidak ingin mempublikasikannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi yang mengatasnamakan lembaga, atau pribadi yang menyalurkan amanah pihak ketiga, penting untuk dipublikasi karena sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada ‘donatur’, sedangkan yang pribadi tidak melakukan hal tersebut karena mereka tidak harus mempertanggungjawabkan kegiatannya. Kedua model ini sama-sama dermawan, semoga mereka dikaruniai kesehatan dan diberi kelapangan atas segala upaya yang mereka lakukan untuk memperbaiki situasi di lingkungan masing-masing.

Baca juga :