Upaya stabilisasi yang dilakukan pemerintahan Indonesia merupakan respon positif terhadap kondisi ekonomi yang memburuk di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Walau terkesan panik, dan ditengarai beberapa kalangan sebagai program yang ambisius, inisiatif meluncurkan program-program yang diduga akan menstimulasi ekonomi nasional ke arah yang lebih baik harus diapresiasi dan didukung oleh segenap komponen bangsa.
Sejak awal September 2015 hingga awal Februari 2016, setidaknya pemerintah Indonesia telah meluncurkan 10 jilid paket kebijakan ekonomi dengan masing-masing fokus yang berbeda di setiap paket. Paket jilid I mengusung misi deregulasi untuk menggerakkan sektor riil dalam mengantisipasi dampak krisis global, hal ini dilakukan melalui peluncuran program isi paket melalui tiga kebijakan, yaitu ;
- Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha;
- Mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional; dan
- Meningkatkan investasi di sektor properti
Paket-paket serupa juga diluncurkan setelah ini dengan terma Paket 2, 3, 4 hingga 10, yang dipersiapkan untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan kelemahan-kelemahan pada paket-paket sebelumnya, atau mendorong dan menstimulasi aspek-aspek lain yang belum terakomodir dalam setiap paket yang telah diluncurkan.
Karena banyaknya cakupan yang ingin disasar dalam setiap paket ekonomi tersebut, hal mendasar yang menjadi pertanyaan kita adalah sejauhmana pengaruh peluncuran paket-paket ekonomi tersebut terhadap ekonomi Indonesia? Khususnya daya beli masayarakat.
Pertanyaan tersebut sangat menarik untuk dikaji karena selama ini fenomena yang nampak dalam masyarakat adalah rendahnya daya beli yang berakibat pada rendahnya konsumsi masyarakat sehingga mempengaruhi lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Walau terbilang berusia baru, beberapa kalangan telah melakukan penelitian awal terhadap rumusan masalah tersebut, walau hanya sampai pada paket ekonomi jilid 5 atau 6, karena memang efek dari suatu kebijakan ada yang belum bisa diukur dalam waktu yang singkat. Selain itu kebijakan paket 1 s.d. 6 didominasi oleh kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk mengatasi perlambatan ekonomi dan mendorong daya saing industri, yang mendesak saat ini.
Ahmad Saefulloh (2015) melakukan kajian terhadap paket ekonomi jilid 1-5, untuk menjawab bagaimana respon publik atas paket kebijakan ekonomi tersebut, dan agenda kebijakan ekonomi apa yang belum tercakup dalam Paket Kebijakan Ekonomi yang sudah dikeluarkan tersebut. Demikian juga kajian dilakukan loleh A. Andrew Toejono untuk membuktikan apakah paket-paket kebijakan tersebut berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Dari dua peneliti ini dipereh hasil bahwa paket kebijakan ekonomi 1 s.d. 6 belum mampu mendorong peningkatan daya beli masyarakat, karena program-program yang dijalankan tidak menyentuh langsung ke sektor ril melainkan masih berputar di sekitar pelaku bisnis kalangan atas.
Cakupan Paket Kebijakan
Dalam paket kebijakan jilid I pemerintah telah berupaya untuk melakukan deregulasi guna menggerakkan sektor riil dalam mengantisipasi dampak krisis global. jilid II melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan kendala investasi dan perizinan, jilid III berfokus pada pemberian diskon tarif dan kemudahan izin penanaman modal, dan jilid IV berorientasi mendorong tenaga kerja agar terus meningkat. Sehingga, Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) tidak lagi terjadi, serta jilid V dengan tema Revaluasi aser, pajak ganda, dan deregulasi di bidang perbankan syari’ah.
Bergejolaknya nilai rupiah yang berdampak pada menurunnya daya saing adalah merupakan salah satu landasan berfikir munculnya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I, II, III, IV, dan V. Namun menurut ekonom Prasetyantoko, substansi dari kebijakan paket tersebut hanya berfungsi untuk memandu dan mengarahkan situasi jangka pendek. Karena itu, menurutnya, dalam jangka panjang Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mampu mengubah pola fundamental ekonomi. Jika Indonesia terus belum mampu mengganti ekspor komoditas dengan produk manufaktur dan ketergantungan pada pendanaan asing sangat tinggi, maka Indonesia berada pada posisi yang harus siap diombang-ambingkan gejolak pasar.
Tingginya ketergantungan kepada asing, khususnya terhadap bahan baku impor, merupakan tantangan yang menjadi persoalan tersendiri bagi Indonesia. Pengembangan industri diarahkan untuk tujuan ekspor, tetapi di sisi lain, salah satu contoh adalah di bidang kesehatan, 90% bahan bakunya adalah impor. Demikian juga pada industri tekstil, sekalipun pada tahun lalu ekspor mencapai 156 trilyun per tahun, tetapi bahan baku kapas 100% impor.
Respon Atas Paket Kebijakan Ekonomi
Berbagai kalangan merespon baik semua kebijakan paket tersebut, terutama pelaku indistri, selain itu terlihat dari menguatnya nilai rupiah setelah terdepresiasi sebesar 18,02% dari Januari 2015 sampai 2 Oktober 2015. termasuk pihak KADIN sangat antusias mendukung program-program dalam paket-paket tersebut.
Namun demikian, sejumlah pihak masih banyak yang merespon secara negatif karena kebijakan-kebijakan dalam paket ekonomi tersebut baru berorientasi pada kalangan pebisnis dan pengusaha, belum sampai menyentuh lapisan masyarakat di akar rumput yang juga memiliki peran penting dalam menggerakkan sektor ril.
Selain itu, kebijakan-kebijakan tersebut masih bergerak pada area sektor penawaran, bukan pada permintaan. Ini terbukti dari deflasi yang terjadi selama 2 bulan berturut – turut yaitu -0,5% dan -0,8% pada bulan September dan Oktober. Situasi ini justeru mengkonfirmasi bahwa pada saat yang sama daya beli masyarakat rendah. Walau pemerintah melalui presiden Jokowi, menghimbau masyarakat untuk membeli produk lokal, tetapi kecenderung masyarakat bukan soal lokal dan non-lokal, namun membeli barang yang murah. Produk lokal masih sulit untuk menetapkan harga murah, karena persoalan bahan baku yang didominasi oleh bahan impor.
Disamping itu, rendahnya daya beli masyarakat dikarenakan kebijakan menaikkan harga BBM, yang efeknya, pelaku usaha menjadikan kebijakan ini untuk menaikkan harga-harga kebutuhan mendasaar rumah tangga seperti gas elpiji, tarif listrik, air dll. Dan saat harga BBM turun, harga-harga yang sudah dinaikkan tersebut tidak ikut turun, sehingga daya beli masyarakat sulit ditingkatkan.
Mengapa daya beli masyarakat penting? karena daya beli masyarakat mencerminkan konsumsi masyarakat yang menjadi ukuran penopang ekonomi domestik. Daya beli masyarakat dapat ditingkatkan melalui antra lain dengan melibatkan BUMN-BUMN untuk menjalankan proyek-proyek yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan, mengendalikan harga energi yang merupakan komoditas administered price yang seharusnya pemerintah punya kendali untuk menstabilkannya.
Selain itu, daya beli masyarakat dapat ditingkatkan melalui optimalisasi pengelolaan dana desa yang dialokasikan pemerintah sebesar 46,9 trilyun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 20,7 trilyun. Artinya, dana desa benar-benar harus direalisasikan sesuai instruksi pengalokasiannya, digunakan untuk infrastruktur yang padat karya agar menyerap banyak tenaga kerja dari desa bersangkutan. Upah-upah yang diterima warga desa akan sangat membantu mendorong konsumsi dan meningkatkan transaksi perdagangan guna menggerakkan perekonomian.
Semua stimulasi yang diformulasika. Dalam butir-butir paket kebijakan ekonomi “ambisius” tersebut, jika tidak juga mampu memutar gerigi ekonomi, maka paket-paket tersebut dapat diduga barangkali penggunaannya sengaja “dihemat” untuk suatu kepentingan. Jangan sampai paket kebijakan ini kelak diberi tagline oleh masyarakat menjadi “Wkonomi Paket Hemat”
Artikel ini telah diterbitkan dalam opini Serambi Indonesia tanggal 30 Maret 2016, dengan judul “Ekonomi Paket hemat”, versi Onlinenya dapat diakses di link Serambi Indonesia.
Baca juga :