Dua even nasional yang saya ikuti di Surabaya dan Malang sungguh menakjubkan, masing-masing Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke 7 Ikatan Dokter Anak Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober – 04 November di Surabaya. Dan event kedua adalah Kemah Nasional SIT yang diikuti oleh peserta dari tingkat SD hingga SMA dari seluruh Indonesia dan utusan beberapa negara Asean yang berlangsung dari tanggal 3 – 7 November 2015 di areal kemnas Coban Rondo, Batu, Malang.
PIT ke 7 IDAI diikuti oleh dokter anak seluruh Indonesia plus residen yang presentasi poster dengan jumlah peserta lebih kurang 3.000 (tiga ribu) orang, ini belum termasuk yang membawa serta keluarga. Hampir dapat dipastikan, sangat sedikit dari peserta ini yang tidak membawa keluarga, termasuk saya ikut serta, sebagian keluarga menyusul tiba di saat akhir kegiatan dan mereka berwisata di beberapa tempat di provinsi Jawa Timur.
Sedangkan Kemah Nasional berlangsung di malang, tepatnya di Coban Rondo, Batu, Malang, yang masih berada dalam provinsi Jawa Timur. Kemah Nasional ini diikuti sebanyak 8.749 peserta dari Indonesia, 318 dari Malaysia, dan 6 orang dari Thailand.
Sebagai orang yang berminat pada bidang-bidang manajemen, ekonomi dan bisnis, saya memiliki perspektif tersendiri melihat dua even besar ini. Setidaknya ada sekitar 12.000-an (Dua Belas Ribuan) pengunjung datang ke Surabaya dan Malang, bukan Jawa Timur secara keseluruhan, hanya dua kota ini saja. Jika diasumsikan 3000 peserta PIT 7 ini mengeluarkan uang untuk belanja masing-masing 5juta untuk beli oleh-oleh dan wisata kuliner, maka akan ada uang beredar sebesar lebih kurang 15 milyar dalam rentang waktu tanggal 31 Okt – 04 November di kota Surabaya. Dan harus diperhitungkan juga biaya kegiatan ini yang tentu saja sangat besar dan semuanya beredar dalam putaran bisnis.
Di Malang, peserta Kemnas dari anak-anak SD-SMA, menurut pantauan saya, diberi uang jajan dari orang tua mereka mulai Rp. 300ribu – Rp. 1 juta, jika dirata-rata jajan mereka Rp. 500ribu saja, maka dari kemnas ini akan beredar uang sebesar lebih kurang Rp. 4,3 milyar di Kota Malang. Dalam minggu tersebut, uang-uang dari seluruh provinsi tersedot ke Surabaya dan Malang dengan total lebih kurang hampir 20 milyar.
Ini baru dari dua even saja. Dan, di beberapa ruas jalan, masih banyak terbentang spanduk Selamat Datang yang ditujukan bagi peserta even nasional lainnya dalam bulan ini, ya, even nasional, bisa kita bayangkan berapa orang lagi yang akan mengunjungi Surabaya di tahun ini, belum lagi mengintip data BPS Jatim untuk informasi tentang wisman, mungkin kita tercengang, setidaknya saya, karena saya teringat ke Aceh, yang babak belur mensosialisasikan Aceh sebagai daerah Bandar Wisata Islami, tapi sepi pengunjung, dan bahkan investor pun membatalkan untuk berinvestasi.
Fenomena ini sungguh luar biasa. Di Surabaya, hotel-hotel penuh sesak oleh penginap, bahkan bagian-bagian acara PIT 7 berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel lain untuk menyesuaikan kapasitas hotel. Dan, saat jadwal Ishoma, Istirahat Shalat dan Makan, ruang dan lorong-lorong hotel sudah seperti pasar tempat hilir mudik pembeli dan penjual. Bahkan makan pun harus berdiri karena tidak cukup kursi.
Uang-uang yang dibawa pengunjung ini akan sangat cepat berputar di masayarakat karena uang beredar di berbagai tempat; Mall, tempat hiburan, wisata religi, warung nasi, kafe, pedagang souvenir, pernak-pernik, sablon, taksi, becak, ojek, pedagang asongan, rental mobil, sampai tukang sampah pun panen dengan memanfaatkan sampah yang dibuang para pengunjung. Ekonomi masyarakat tampak bergairah, mereka sibuk semua menangkap peluang ini dengan berbagai cara dan menurut profesinya masing-masing. Efek bola Bilyar menggelinding dan menyentuh semua sudut-sudut gerigi ekonomi masyarakat.
Gubernur Jatim, Pak De Karwo, dalam sambutannya di PIT 7 IDAI, jelas sekali menunjukkan bagaimana beliau memberikan informasi yang gamblang tentang Jatim. “Bapak-bapak, ibu-ibu dan seluruh peserta, nanti setelah selesai acara ini, jangan pulang dulu, nikmatilah kota terindah di Indonesia ini. Jawa Timur adalah provinsi yang paling ramah di seluruh Indonesia, bahkan orang Batak yang baik-baik semua tinggal disini, dan juga orang Batak yang datang kemari semua yang baik-baik”, demikian seloroh pak de Karwo kepada ketua IDAI Pusat yang kebetulan dari Sumut, Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp. A (K).
Di sela-sela sambutannya, berkali-kali pak De Karwo menyebut-nyebut tempat-tempat yang wajib dikunjungi, kuliner khas Jatim yang mesti dicicipi, keindahan alam yang harus diekplorasi, serta keramahan masyarakat Jatim menerima tamu serta jaminan keamanan dan kenyamanan pengunjung selama berada di Jawa Timur, baik yang berada di utara, Barat, Selatan, maupun di bagian Timur Jawa Timur ini.
Membandingkan Jawa Timur yang berpenduduk 38juta dengan provinsi Aceh yang hanya 4juta, tentu sesuatu hil yang bukan mustahal. karena alam Aceh, seperti yang saya lihat di Coban Rondo yang katanya seperti Puncak nya Bogor itu, bukan lah sesuatu yang istimewa, jauh sekali lebih indah Seulawah dan Saree. Jalannya? jauh lebih hebat jalan-jalan lintas di Aceh, rata, lebar dan hotmix. Sedang Surabaya dan jalan lintasnya sangat buruk, mirip seperti Sumut, keriting dan bergelombang.
Selain itu, dengan penduduk 38juta, APBD 2014 Jawa Timur hanya sebesar 16 Triliun, Sementara Aceh yang berpenduduk 4juta memiliki APBA 13 triliun. Secara rasio, tentu saja APBA Aceh jauh melebihi Jawa Timur, tetapi pertumbuhan ekonomi Jatim di tahun tersebut mencapai 6,17 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 5,94 persen. Sedangkan Aceh hanya tumbuh sebesar 1,65 persen, angka yang sangat “menyakitkan”. ini sangat kontras.
Yang paling membuat saya terkesan adalah, ucapan gubernur Jatim, pak De Karwo, bahwa Jawa Timur adalah provinsi paling ramah di Indonesia. Pernyataan ini sungguh menarik, karena implikasi ekonominya sangat tinggi, dan menggiurkan untuk dikunjungi karena adanya jaminan kemanan, kenyamanan, dan kepauasan berkunjung ke Jawa Timur. Sekalipun kalimat ini mungkin tidak sepenuhnya benar, tetapi kenyataannya banyak pengunjung yang datang ke Jawa Timur dan “menguras” uang mereka untuk menghidupkan ekonomi masyarakat setempat.
Apa kabar Aceh? Mampukan menjaga perdamaian dan menjamin keamanan pengunjung yang datang ke Aceh? Untuk membuktikannya, kita bisa intip terus data pengunjung lokal dan wisman yang hilir mudik dari dan ke Aceh melalui data dan informasi BPS.
Pemerintah tidak mampu melakukan kampanye Aceh damai sendirian, konon lagi munculnya kisruh-kisruh politik kepentingan yang berdampak pada masyarakat dalam bentuk benturan dan gesekan sosial yang merambat ke persoalan agama. Situasi-situasi seperti ini menjadi preseden buruk Aceh di mata masyarakat luar, dan memunculkan image negatif bahwa Aceh tidak aman dan nyaman. Sikap ini tentu tidak sinkron dengan jargon Aceh yang mengusung Syari’at Islam sebagai nilai-nilai hidup kesehariannya.
Baca juga :