Jul 282019
 

Kata Halal dalam makna tunggal disebutkan satu kali dalam Alqur’an, sedangkan kata Thayyiban dalam makna tunggal disebutkan dua kali dalam Alqur’an. Dari aspek jumlah penyebutan seakan-akan thayyiban lebih ditekankan dibandingkan halal, tetapi dalam beberapa literasi halal juga menjadi persyaratan sesuatu dikatakan baik (layak konsumsi), karena sesuatu dikatakan thayyib jika sifatnya sempurna dari segi proses memperolehnya dan baik zatnya. Dengan demikian halal dan thayyib merupakan kata yang saling melengkapi kesempurnaan suatu entitas.
Al-Raghib Al-Aṣfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an mendefinisikan halal dengan ‘hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.’ Atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan thayyiban berarti sesuatu yang lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama. Para ahli tafsir dalam menjelaskan kata thayyib dalam konteks makanan adalah makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluwarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya (As’ad Umar, 2014).

Islam mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan sebagaimana termaktub dalam surat Al-A’raf : 31, “Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan.” Ayat ini oleh Ibnu Katsir ditafsirkannya dalam konteks kesehatan dengan kalimat “Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.”

Frasa halalan thayyiban selama ini selalu dikaitkan dengan makanan dan kesehatan, padahal sebenarnya halalan thayyiban memiliki dua implikasi sekaligus bagi kemaslahatan manusia; (1) maslahat kesehatan, dimana proses memperoleh sesuatu secara benar terhadap sesuatu yang thayyib menyebabkan seseorang semakin sehat, atau sebaliknya menjadi mudharat bagi kesehatan jika prosesnya tidak benar dan zat entitasnya tidak baik dikarenakan munculnya feeling guilty pada saat mengkonsumsi sehingga secara psikologis akan mempengaruhi fikiran dan berdampak pada kesehatan. dan (2) maslahat ekonomi, yakni maslahat yang diusung oleh konsep halalan thayyiban melalui pesan pembatasan mengkonsumsi sesuatu agar tidak berlebihan.

Aspek Ekonomi
Halalan thayyiban secara lebih luas bukan hanya bermakna memakan makanan, tetapi sebagaimana tafsir Al-Maraghi dan Jalalayn, halalan thayyiban juga dimaknai dengan ‘menikmati’ semua yang ada di muka bumi. Artinya apa saja yang ingin kita raih dan nikmati di muka bumi ini baik dalam bentuk barang, tempat atau pekerjaan, harus diperoleh dengan proses yang wajar, sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak mengurangi hak orang lain yang bukan menjadi haknya. Jika dikaitkan dengan pesan Al-Qur’an yang melarang manusia mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan karena akan menimbulkan kemurkaan Allah, maka tersirat makna adanya perintah untuk menjaga keseimbangan.
Nilai yang dikandung dalam konteks keseimbangan merujuk pada kondisi dimana jika salah satu pihak memiliki kelebihan maka berarti ada pihak lain yang kondisinya dalam kekurangan sehingga akan menimbulkan kesenjangan yang bisa berdampak pada munculnya penyakit sosial berupa keresahan dan kekacauan. Kondisi ini tidak diinginkan oleh seluruh negara-negara di dunia, oleh karenanya untuk menjaga keseimbangan diatur dalam berbagai perangkat aturan perundang-undangan untuk menjamin agar warga suatu negara dapat mencapai kesejahteraan.

Dalam Islam, keseimbangan diatur sangat ketat, bahkan menjadi salah satu rukun Islam, yaitu menunaikan Zakat, yang menjadi rukun Islam yang ke-4. Zakat bukan hanya sekedar penekanan pada kewajiban mengeluarkan angka 2,5%, tetapi disebutkan bahwa dalam harta setiap orang ada harta/ hak orang lain di dalamnya yang harus dikeluarkan dari harta kita sehingga harta yang tersisa pada kita benar-benar harta milik kita yang tidak bercampur dengan harta orang lain. Jika seseorang yang telah wajib zakat tidak menunaikan zakat maka orang tersebut dapat dikategorikan yang berlebihan, dan harta yang berlebihan (yang tidak dikeluarkan dari harta kita) tersebut jika dikonsumsi menjadi konsumsi yang tidak baik (ghairu thayyiban). Selain zakat yang sudah ditentukan nilainya, Islam juga menganjurkan untuk berinfak/shadaqah yang tidak dibatasi jumlah nilainya. Semua ini menjelaskan konsep keseimbangan dalam kehidupan agar harta tidak bertumpuk pada sekelmpok kecil orang saja, tetapi terdistribusi secara proporsional dan berkeadilan.

Dalam konteks inilah dapat ditarik garis persinggungan antara thayyiban dan implikasi ekonomi dalam konsep halalan thayyiban. Disatu sisi harus menjamin adanya proses yang sesuai dengan aturan dalam memperoleh sesuatu entitas, di sisi lain entitas tersebut haruslah yang baik dan memiliki kemanfaatan bagi yang bersangkutan, serta tidak berlebihan. Implikasi ekonomi merupakan keterkaitan dengan aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.

Proses produksi merupakan aktifitas yang berfungsi untuk mentransformasikan bahan mentah menjadi barang jadi dengan menggunakan material yang bermutu baik sehingga menjadi sebuah produk yang berkualitas dan siap dikonsumsi. Dalam proses produksi, efisiensi menjadi ruh utama yang akan sangat mempengaruhi profitabilitas organisasi bisnis. Ini bermakna bahwa seluruh rangkaian proses produksi memiliki rambu-rambu yang tidak bisa dilanggar agar hasil produksi menjadi berkualitas. Esensi dari efisiensi adalah kemampuan untuk menggunakan input dan sumberdaya yang dimiliki untuk kemudian menghasilkan output yang optimal, dimaknai sebagai sebuah upaya untuk tidak menghasilkan produk dengan bahan baku yang berlebihan. Artinya, terjadi keseimbangan dan proporsionalitas input terhadap output.
Konsumsi merujuk pada kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, minum, melakukan aktifitas apa saja dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran normatif mengkonsumsi sesuatu selalu dianjurkan mengkonsumsi yang baik-baik dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak boleh berlebihan, beraktifitas tidak boleh berlebihan, mencari nafkah juga tidak boleh berlebihan, semuanya dianjurkan mengkonsumsi secara proporsional sesuai dengan kebutuhan. Adapun di luar kebutuhan pada prinsipnya sudah bukan menjadi hak kita lagi, porsi di luar kebutuhan sejatinya terdistribusi kepada orang lain sehingga tidak ada manusia yang mengkonsumsi di luar batas. Kondisi ini mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam kalimat thayyiban sebagai sebuah konsep keseimbangan dalam mengkonsumsi apa saja yang menjadi kebutuhan. Begitu pentingkah aktifitas konsumsi? Ya, Sangat penting sehingga menjadi pembahasan dalam Al-Qur’an, bahkan jika kita melihat porsi serapan anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD, konsumsi pemerintah menjadi salah satu pengeluaran yang porsinya mencapai 30-40%, dan kontribusinya terhadap PDB dan PDRB mencapai 28-30%, bahkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, konsumsi pemerintah dan rumah tangga masyarakat didorong agar tumbuh positif.

Dengan demikian, halalan thayyiban merupakan sebuah konsep multidimensi, tidak semata-mata dikaitkan dengan makanan saja tetapi pemaknaan konsumsi secara lebih luas dalam spektrum aktifitas ekonomi masyarakat. Diskursus dimensi ekonomi halalan thayyiban akan menjadi sebuah gagasan yang dapat memperluas perpektif halalan thayyiban itu sendiri dalam rangka mendorong dan memperkuat sendi-sendi perekonomian melalui aktifitas proses produksi yang benar, distribusi yang merata dan konsumsi yang proporsional, sehingga seluruh rangkaian tersebut menjadi sebuah produk utuh berkualitas yang kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh banyak orang.

Baca Artikel Lain
Resentralisasi Ekonomi di Era Revolusi Industri 4.0

Sep 262016
 

wisata-halal-dan-islamofobiaData yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2015 mencatat bahwa penduduk mancanegara yang berkunjung ke Indonesia (wisatawan mancanegara dalam arti luas) mencapai 10,41 juta kunjungan, dengan rincian 9,73 juta kunjungan wisatawan mancanegara reguler, 370.869 kunjungan warga negara asing (WNA) yang memasuki wilayah Indonesia melalui Pos Lintas Batas (PLB), serta 306.540 merupakan kunjungan singkat WNA atau kunjungan khusus lainnya.

Data kunjungan ini masih sulit diidentifikasi karena pencatatannya dilakukan secara umum, sehingga tidak dapat diketahui jenis kunjungan untuk kepentingan apa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Pengamat Pariwisata Ida Bagus Surakusuma, yang menyatakan bahwa pencatatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia masih dicampur penduduk mancanegara di pos lintas batas.

Walau demikian, setidaknya kita masih dapat mengetahui besaran devisa yang masuk atas kunjungan wisman tersebut. Di tahun 2015 jumlah kunjungan wisman sebanyak 10 juta; jumlah perjalanan wisnus 255 juta; kontribusi pariwisata terhadap PDB Nasional sebesar 4%; devisa yang dihasilkan sekitar Rp 155 triliun, dan lapangan kerja yang diciptakan sebanyak 11,3 juta ; angka indek daya saing naik signifikan 20 poin menjadi ranking 50 dari 141 negara. Dan ditahun 2016 ditargetkan mencapai 12juta kunjungan dengan proyeksi devisa 172 trilyun, kontribusi pariwisata naik menjadi 5%, hanya 1% dari tahun sebelumnya. Ini tentu angka yang sangat pesimistis jika dilihat dari potensi wisata luar biasa yang dimiliki Indonesia. Salah satu kelemahan yang terlhat dari rasa pesimis ini disebabkan karena tidak adanya data statistik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bentuk, jenis dan ragam wisata yang berlangsung di Indonesia, sehingga dalam kampanye pariwisata tidak menyentuh pada sasaran yang benar-benar memiliki potensi belanja wisata yang optimal sesuai segmentasi pasar yang ada. Jenis pariwisata saat ini semakin beragam dan memiliki pasar yang semakin tersegmentasi. Salah satu pasar wisata global yang memiliki potensi belanja yang besar adalah wisata halal.

Dalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan berpenduduk muslim, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat non-muslim.

Selain fenomena pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia, dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan Perda yang ditengarai berbau syariah di beberapa daerah selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Faktanya memang segmentasi pasar syariah tumbuh sangat pesat sehingga permintaan terhadap produk-produk halal otomatis semakin meningkat. Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda berbau syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang lahir dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3.000 trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia. Belum lagi untuk belanja muslim di luar dua kawasan tersebut sebagaimana data pertumbuhan ummat Islam dunia di atas.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Indonesia, sebaliknya, Indonesia juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah adalah; (1) membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. (2) Memperkenalkan potensi wisata Indonesia sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Indonesia dengan seluruh cakupan wilayahnya sangat indah yang juga dihuni oleh warga yang ramah. (3) Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke tempat-tempat destinasi wisata di seluruh Indonesia dengan perasaan aman dan nyaman. (4) tidak terjebak pada perangkap isu-isu islamofobia yang kecenderungannya dalam perspektif bisnis ingin mengalihkan potensi pasar syariah ke negara-negara lain yang.

Sangat disayangkan, jika Indonesia tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat dalam perspektif bisnis syariah. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global. Issu-issu islmaofobia yang dihembuskan, mestinya kita tengarai sebagai upaya untuk meruntuhkan percaya diri masyarakat bisnis Indonesia yang ingin bergelut dalam bisnis halal, karena kenyataan yang kita lihat saat ini, produk-produk halal (syariah) diproduksi oleh negara-negara lain yang penduduknya bukan mayoritas muslim. Jadi, tidak perlu “inferior” dengan label halal atau syariah, karena inferioritas yang tertanam dalam diri masyarakat Indonesia justeru dimanfaatkan oleh negara lain untuk memperkuat superior mereka dalam konteks bisnis halal/syariah.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan. Epaper Waspada dapat diakses melalui link Waspada

Baca juga

Jul 262016
 

wisataHalalDalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.

Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu;  (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63,  Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.

Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.

Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.

Sebut saja misalnya  negara-negara  yang  bukan Islam, seperti  Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura,  telah mensosialisasikan diri sebagai pusat  keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank  syariah adalah non-Muslim.

Potensi Bisnis

Menurut the Almanac Books of facts, pertumbuhan ummat Islam mencapai 235%, atau lima kali lipat laju pertumbuhan Kristen yang hanya 46%, dengan prediksi bahwa di tahun 2030 kelak 1 dari 3 penduduk dunia adalah muslim. Konsekuensi dari kondisi ini adalah permintaan terhadap produk-produk halal secara global dipastikan juga meningkat.

Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakt non-muslim.

Dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.

Aceh dan Syariat Islam

Sebagai salah satu provinsi yang memiliki keistimewaan, Aceh telah mendeklarasikan diri sebagai wilayah syariat Islam. Wisata Halal bukanlah menjadi hambatan sama sekali, bahkan bisa menjadi modal utama dalam merespon kondisi global yang semakin menuntut tersedianya produk halal.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan syariah Islam di Aceh selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Namun demikian, konteks syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh bukan lah sekedar mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah semata, tetapi juga harus fokus pada pengaturan muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan; seperti jual-beli, sewa, dsb (Munawwir, 1997). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (hablunminannas), hubungan manusia dengan alam, ekonomi, termasuk sistem dan mekanisme perdagangan dan bisnis sudah harus menjadi pembahasan serius.

Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang diturunkan dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.

Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3ribu trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.

Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Aceh, sebaliknya, Aceh juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi dengan status Aceh sebagai daerah Syariat Islam, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.

Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. Memperkenalkan Aceh sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Aceh sangat indah. Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke Aceh.

Sangat disayangkan, label syariah yang kita miliki tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global.

Baca juga: