Sep 012019
 

Kita merasakan sepasang ironi yang mencerminkan eforia keistimewaan, (1) “memaksa” diri untuk terus meningkatkan angka-angka dalam akun-akun anggaran, tetapi belum optimal dalam mengelola kinerja keuangan, jika tidak ingin dikatakan tak mampu. (2) Besaran alokasi dana otsus belum mencerminkan kemampuan pengelolaan dana otsus menjadi tuas untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, memberantas pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.

Ironi yang pertama, kita ketahui barsama, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh setiap periode terus ditingkatkan angkanya melalui perhitungan-perhitungan yang tentu saja tidak sederhana dan rumit melalui analisis situasi pasar yang berlaku. Tetapi, sering sekali asumsi-asumsi yang dibangun dalam menetapkan angka pendapatan belum sepenuhnya berdasarkan analisis target yang benar-benar dapat dicapai untuk memperoleh satuan angka yang ditargetkan berdasarkan potensi ekonomi yang kita miliki. Jika ditelusuri lebih detil, angka-angka potensi yang digali sebagai sumber pendapatan belum seluruhnya mencerminkan realitas potensi yang dapat digali berdasarkan teknologi dan sumber daya yang kita miliki, sehingga muncul data yang tidak relevan yang kemudian dikalkulasi menjadi angka pendapatan. Belum lagi asumsi-asumsi yang mempertimbangan aspek politiknya.

Penetapan angka pendapatan “berbasis eforia” ini kemudian menjadi landasan dalam menetapkan anggaran belanja pemerintah, yang sudah tentu digenjot karena paham ekonomi yang kita anut menuntut agar pemerintah menjaga untuk terus meningkatkan belanja sebagai salah satu komponen pertumbuhan ekonomi daerah. Toh, ternyata kita dihebohkan dengan munculnya SiLPA. Ini suatu ironi yang terjadi akibat tidak bersesuaiannya penggalian pendapatan dengan besarnya keinginan untuk membelanjakan uang, atau sebaliknya.

Ironi yang kedua, Aceh memiliki dana otsus yang cukup besar yang dialokasikan setiap tahunnya sejak 2008, yang mestinya benar-benar dimanfaatkan untuk mendongkrak pertumbuhan Pendapatan Asli Aceh, dengan harapan, saat era otsus berakhir, Aceh akan tetap kokoh berdiri tegak di atas kaki sendiri melalui geliat ekonomi yang telah dibangun dari alokasi dana otsus sebagaimana amanat penggunaan Dana Otsus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menyebutkan bahwa Dana Otsus harus digunakan untuk program/kegiatan, yaitu: 1) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; 2) Pemberdayaan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan; 3) Pendidikan; 4) Kesehatan; dan 5) Sosial dan Keistimewaan Aceh.

Kita dapat melihat bahwa peningkatan jumlah dana otsus dan anggaran dari tahun ke tahun tidak searah dengan peningkatan pertumbuhan pendapatan asli Aceh yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi secara signifikan, bahkan Aceh bisa terpuruk dalam klasemen tiga besar kemiskinan di regional Sumatera.

Sejak dikucurkannya Dana Otsus pada tahun 2008 lalu, Aceh telah menggunakan alokasi dana otsus tersebut sebesar Rp 56,67 Triliun hingga tahun 2017. Setiap tahun Dana Alokasi Umum Nasional (DAU-N) terus meningkat sehingga secara otomatis juga terjadi peningkatan terhadap alokasi Dana Otsus Aceh yang sangat mempengaruhi besaran APBA.
Melihat kecenderungan peningkatan Dana Otsus, sejak tahun pertama dikucurkan, yaitu sebesar 3,5 triliun pada tahun 2008, kemudian meningkat 3,7 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi pada tahun 2010 sebesar 3,8 triliun, bahkan pada tahun 2018 sudah mencapai 8 triliun, artinya terjadi peningkatan rata-rata alokasi dana otsus sebesar 3,5% per tahun. Aceh, secara nominal keuangan sebenarnya merupakan sebuah provinsi yang kaya raya dan memiliki kemampuan keuangan yang cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi jika kekayaan tersebut dikelola untuk membangun program-program yang produktif dan tepat sasaran dengan sistem pengendalian manajemen yang terukur.
Tetapi besaran tersebut tidak serta merta meningkat sepanjang tahun hingga 2027, Aceh hanya menikmat dana otsus tersebut 2% dari DAU hingga 2021, dua tahun lagi. Selanjutnya, dari 2022 hingga 2027 hanya sebesar 1% dari DAU.

Nasib Aceh Pasca Otsus
Mengapa Dana Otsus menjadi penting untuk didiskusikan? Jika mengurai sturktur APBA yang secara garis besar memiliki 3 komponen utama, yakni, Pendapatan Aceh, Belanja Aceh, dan Pembiayaan Aceh, maka Alokasi Dana Otonomi Khusus menjadi komponen yang memiliki porsi paling besar kontribusinya dibandingkan komponen-komponen lain yang terdapat dalam akun Pendapatan Aceh. Walaupun komponen Dana Otsus tersebut menjadi subordinasi yang masuk dalam “lungkik” Lain-Lain Pendapatan Aceh pada komponen Pendapatan Aceh yang dituangkan dalam pasal-pasal setiap qanun yang disahkan, tetapi kontribusinya mencapai rata-rata 70% terhadap besaran APBA. Harus menjadi catatan juga, bahwa kemungkinan dana otsus menurun juga dapat terjadi seiring menurunnya penerimaan (omset) pajak secara nasional, sehingga trend penurunan tentu mendapat dua kali pukulan, selain akibat dari penurunan omset pajak secara nasional, juga karena ketentuan alokasi dana otsus 1% dari Dana Alokasi Umum pada 5 tahun terakhir, yaitu dari 2022 hingga 2027.
Melihat situasi tersebut, patut kita merenung. Bagaimana Aceh pasca otsus? Mampukan Aceh tegak berdiri jika dana otsus benar-benar tidak lagi tercantum dalam akun Pendapatan Aceh?

Optimalisasi Pendapatan Asli Aceh
Walau masyarakat secara umum belum dapat melihat bagaimana sebenarnya proses detil alokasi dana otsus untuk Aceh, tetapi setidaknya kabar mulut ke mulut yang sampai ke pojok warung kopi dapat mengkomfirmasi kegalauan pemerintahan Aceh dan para pelaku usaha bahkan masyarakat awam sekalipun, bahwa Aceh tidak lama lagi menjadi daerah kaya. Kegalauan ini tentu beralasan, sebab masyarakat dan pelaku usaha bisa merasakan kondisi riil di lapangan yang masih sulit menggerakkan roda ekonomi keluarga. Ekspektasi masyarakat terhadap dana otsus sudah terlanjur tinggi bahwa dengan dana tersebut sejatinya akan banyak membantu menggerakkan ekonomi masyarakat Aceh. Seiring besaran dana otsus yang tersisa, kita tentu harap-harap cemas, artinya masih memiliki harapan, tetapi sekaligus sangat cemas jika waktu yang sudah berlalu belum menjadi pembelajaran dalam pengelolaan dana otsus.

Sisa dana Otsus harus sesegera mungkin dituangkan dalam konsep pembangunan ekonomi yang berkemajuan, untuk pembiayaan yang produktif dan menjamin terjadinya peningkatan geliat ekonomi masyarakat guna memacu agar terjadi income generating bagi masyarakat Aceh. Sekaligus, euforia dana Otsus harus segera dihentikan, Aceh harus fokus pada penggalian sumber dana yang memang diciptakan dari hasil pengelolaan sumber daya ekonomi yang ada di Aceh melalui tangan-tangan terampil generasi Aceh untuk memastikan bahwa Aceh mampu menciptakan roadmap berkesinambungan sebagai bentuk keseriusan Aceh mencapai sustainability Development Goal’s (SDG’s) yang menjadi indikator global saat ini.

Kita bisa melihat, betapa sebenarnya lemahnya kemampuan keuangan Aceh dalam struktur APBA jika tidak ditopang oleh dana Otsus dan kenyataan lemahnya sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan Aceh dalam memanfaatkan dan melihat peluang membangun ekonomi dari dana-dana yang ada.

Kita tentu tidak berharap bahwa suatu saat nanti, pada saat kucuran dana di luar Pendapatan Asli Aceh memudar bahkan menghilang, akan muncul kembali gejolak sosial yang berdampak pada konflik yang baru saja kita lalui. Persoalan ekonomi menjadi masalah krusial disamping perlunya mengendalikan kebijakan-kebijakan politik yang mendorong stabilitas ekonomi Aceh ke depan.

Jangan sampai euforia dana otsus menjadikan kita lupa untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Aceh melalui stimulasi ekonomi menjelang berakhirnya era otsus. Butuh keseriusan untuk mengintegrasikan perilaku birokrasi, sikap politik dan kesamaan persepsi membangun Aceh dan mengurangi ketergantungan yang akut.

Jul 282019
 

Kata Halal dalam makna tunggal disebutkan satu kali dalam Alqur’an, sedangkan kata Thayyiban dalam makna tunggal disebutkan dua kali dalam Alqur’an. Dari aspek jumlah penyebutan seakan-akan thayyiban lebih ditekankan dibandingkan halal, tetapi dalam beberapa literasi halal juga menjadi persyaratan sesuatu dikatakan baik (layak konsumsi), karena sesuatu dikatakan thayyib jika sifatnya sempurna dari segi proses memperolehnya dan baik zatnya. Dengan demikian halal dan thayyib merupakan kata yang saling melengkapi kesempurnaan suatu entitas.
Al-Raghib Al-Aṣfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an mendefinisikan halal dengan ‘hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.’ Atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan thayyiban berarti sesuatu yang lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama. Para ahli tafsir dalam menjelaskan kata thayyib dalam konteks makanan adalah makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluwarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya (As’ad Umar, 2014).

Islam mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan sebagaimana termaktub dalam surat Al-A’raf : 31, “Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan.” Ayat ini oleh Ibnu Katsir ditafsirkannya dalam konteks kesehatan dengan kalimat “Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.”

Frasa halalan thayyiban selama ini selalu dikaitkan dengan makanan dan kesehatan, padahal sebenarnya halalan thayyiban memiliki dua implikasi sekaligus bagi kemaslahatan manusia; (1) maslahat kesehatan, dimana proses memperoleh sesuatu secara benar terhadap sesuatu yang thayyib menyebabkan seseorang semakin sehat, atau sebaliknya menjadi mudharat bagi kesehatan jika prosesnya tidak benar dan zat entitasnya tidak baik dikarenakan munculnya feeling guilty pada saat mengkonsumsi sehingga secara psikologis akan mempengaruhi fikiran dan berdampak pada kesehatan. dan (2) maslahat ekonomi, yakni maslahat yang diusung oleh konsep halalan thayyiban melalui pesan pembatasan mengkonsumsi sesuatu agar tidak berlebihan.

Aspek Ekonomi
Halalan thayyiban secara lebih luas bukan hanya bermakna memakan makanan, tetapi sebagaimana tafsir Al-Maraghi dan Jalalayn, halalan thayyiban juga dimaknai dengan ‘menikmati’ semua yang ada di muka bumi. Artinya apa saja yang ingin kita raih dan nikmati di muka bumi ini baik dalam bentuk barang, tempat atau pekerjaan, harus diperoleh dengan proses yang wajar, sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak mengurangi hak orang lain yang bukan menjadi haknya. Jika dikaitkan dengan pesan Al-Qur’an yang melarang manusia mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan karena akan menimbulkan kemurkaan Allah, maka tersirat makna adanya perintah untuk menjaga keseimbangan.
Nilai yang dikandung dalam konteks keseimbangan merujuk pada kondisi dimana jika salah satu pihak memiliki kelebihan maka berarti ada pihak lain yang kondisinya dalam kekurangan sehingga akan menimbulkan kesenjangan yang bisa berdampak pada munculnya penyakit sosial berupa keresahan dan kekacauan. Kondisi ini tidak diinginkan oleh seluruh negara-negara di dunia, oleh karenanya untuk menjaga keseimbangan diatur dalam berbagai perangkat aturan perundang-undangan untuk menjamin agar warga suatu negara dapat mencapai kesejahteraan.

Dalam Islam, keseimbangan diatur sangat ketat, bahkan menjadi salah satu rukun Islam, yaitu menunaikan Zakat, yang menjadi rukun Islam yang ke-4. Zakat bukan hanya sekedar penekanan pada kewajiban mengeluarkan angka 2,5%, tetapi disebutkan bahwa dalam harta setiap orang ada harta/ hak orang lain di dalamnya yang harus dikeluarkan dari harta kita sehingga harta yang tersisa pada kita benar-benar harta milik kita yang tidak bercampur dengan harta orang lain. Jika seseorang yang telah wajib zakat tidak menunaikan zakat maka orang tersebut dapat dikategorikan yang berlebihan, dan harta yang berlebihan (yang tidak dikeluarkan dari harta kita) tersebut jika dikonsumsi menjadi konsumsi yang tidak baik (ghairu thayyiban). Selain zakat yang sudah ditentukan nilainya, Islam juga menganjurkan untuk berinfak/shadaqah yang tidak dibatasi jumlah nilainya. Semua ini menjelaskan konsep keseimbangan dalam kehidupan agar harta tidak bertumpuk pada sekelmpok kecil orang saja, tetapi terdistribusi secara proporsional dan berkeadilan.

Dalam konteks inilah dapat ditarik garis persinggungan antara thayyiban dan implikasi ekonomi dalam konsep halalan thayyiban. Disatu sisi harus menjamin adanya proses yang sesuai dengan aturan dalam memperoleh sesuatu entitas, di sisi lain entitas tersebut haruslah yang baik dan memiliki kemanfaatan bagi yang bersangkutan, serta tidak berlebihan. Implikasi ekonomi merupakan keterkaitan dengan aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.

Proses produksi merupakan aktifitas yang berfungsi untuk mentransformasikan bahan mentah menjadi barang jadi dengan menggunakan material yang bermutu baik sehingga menjadi sebuah produk yang berkualitas dan siap dikonsumsi. Dalam proses produksi, efisiensi menjadi ruh utama yang akan sangat mempengaruhi profitabilitas organisasi bisnis. Ini bermakna bahwa seluruh rangkaian proses produksi memiliki rambu-rambu yang tidak bisa dilanggar agar hasil produksi menjadi berkualitas. Esensi dari efisiensi adalah kemampuan untuk menggunakan input dan sumberdaya yang dimiliki untuk kemudian menghasilkan output yang optimal, dimaknai sebagai sebuah upaya untuk tidak menghasilkan produk dengan bahan baku yang berlebihan. Artinya, terjadi keseimbangan dan proporsionalitas input terhadap output.
Konsumsi merujuk pada kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, minum, melakukan aktifitas apa saja dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran normatif mengkonsumsi sesuatu selalu dianjurkan mengkonsumsi yang baik-baik dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak boleh berlebihan, beraktifitas tidak boleh berlebihan, mencari nafkah juga tidak boleh berlebihan, semuanya dianjurkan mengkonsumsi secara proporsional sesuai dengan kebutuhan. Adapun di luar kebutuhan pada prinsipnya sudah bukan menjadi hak kita lagi, porsi di luar kebutuhan sejatinya terdistribusi kepada orang lain sehingga tidak ada manusia yang mengkonsumsi di luar batas. Kondisi ini mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam kalimat thayyiban sebagai sebuah konsep keseimbangan dalam mengkonsumsi apa saja yang menjadi kebutuhan. Begitu pentingkah aktifitas konsumsi? Ya, Sangat penting sehingga menjadi pembahasan dalam Al-Qur’an, bahkan jika kita melihat porsi serapan anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD, konsumsi pemerintah menjadi salah satu pengeluaran yang porsinya mencapai 30-40%, dan kontribusinya terhadap PDB dan PDRB mencapai 28-30%, bahkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, konsumsi pemerintah dan rumah tangga masyarakat didorong agar tumbuh positif.

Dengan demikian, halalan thayyiban merupakan sebuah konsep multidimensi, tidak semata-mata dikaitkan dengan makanan saja tetapi pemaknaan konsumsi secara lebih luas dalam spektrum aktifitas ekonomi masyarakat. Diskursus dimensi ekonomi halalan thayyiban akan menjadi sebuah gagasan yang dapat memperluas perpektif halalan thayyiban itu sendiri dalam rangka mendorong dan memperkuat sendi-sendi perekonomian melalui aktifitas proses produksi yang benar, distribusi yang merata dan konsumsi yang proporsional, sehingga seluruh rangkaian tersebut menjadi sebuah produk utuh berkualitas yang kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh banyak orang.

Baca Artikel Lain
Resentralisasi Ekonomi di Era Revolusi Industri 4.0

May 292019
 

Dampak Ekonomi Internet ShutdownBabak akhir proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia sudah hampir selesai diproses, seluruh fikiran masyarakat Indonesia sedang bertumpu pada satu titik kesimpulan, menunggu presiden “baru”. Tetapi negeri ini harus berhadapan dengan masalah lain yang terdampak dari perilaku politik para elit karena perbedaan sikap dalam menerima hasil akibat dari proses yang bermasalah. Sehingga masyarakat pemilih yang merasa proses demokrasi ini tidak jurdil melakukan aksi demo di ibukota dalam jumlah massa yang sangat besar.

Demo yang berlangsung 22 Mei 2019 baru-baru ini harus diakui berdampak signifikan terhadap roda ekonomi masyarakat karena adanya tekanan psikologis terhadap para pedagang dan pebisnis di pusat ibukota Jakarta. Pasar Tanah Abang yang merupakan pusat grosir terbesar di Indonesia shutdown sementara saat aksi demo berlangsung. Jika kita deskripsikan, terdapat lebih kurang 11.000 pedagang yang membuka lapak di blok A, B, PGMTA, dan di areal jembatan Tanah Abang. Menurut rilis KADIN Pusat, rata-rata omzet para pelapak mencapai 4iuta – 5juta perhari yang diperoleh dari 140ribu pengunjung setiap harinya, dan pada bulan ramadhan biasanya pengunjung melonjak mencapai 250ribu orang perhari dengan peningkatan omzet mencapai 10juta – 15juta per orang. KADIN memperkirakan kerugian akibat tutupnya Tanah Abang akibat aksi demo pada bulan ramadhan ini mencapai 165 milyar.

Kekhawatiran para pedagang pasar terhadap kerusuhan merupakan alasan yang kuat untuk tidak membuka toko karena akan sangat beresiko terjadinya penjarahan barang-barang dagangan mereka. Walau sebenarnya, dalam konteks proses politik di Indonesia masa kepemimpinan Jokowi-JK telah terjadi beberapa kali aksi massa, ternyata tidak terjadi kerusuhan sebagaimana yang diblow-up oleh sebagian media mainstream dan media sosial di dunia maya, tetapi aksi masa yang terakhir ini tercium aroma yang berbeda dari aksi massa sebelumnya, dimana kemungkinan kerusuhan terjadi karena pertarungan para elit politik sudah berada pada puncaknya dan sebagai final countdown yang menentukan siapa yang akan menjadi the next president. Karena hanya ada dua calon, maka para pihak yang berkepentingan terhadap pemenangan calonnya akan all out bertarung sehingga situasi diperkirakan kurang kondusif bagi para pedagang di pasar Tanah Abang dan pasar-pasar lain yang terdampak.

Tutupnya pasar Tanah Abang sebagai urat nadi perdagangan, bukan merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi menurunnya giat ekonomi nasional, khususnya Jakarta, kebijakan pemerintah melalui kementrian Kominfo yang membatasi penggunaan media sosial dalam rangka memutus arus keluar masuk informasi terkait dengan situasi politik saat ini dimana seliweran informasi hoax semakin sulit dibendung dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkeruh suasana. Namun di satu sisi menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan terhadap bisnis online yang selama ini juga menjadi prioritas pemerintahan Jokowi dalam upayanya mendorong para pelaku bisnis online agar dapat berkompetisi dengan baik. Justeru spektrumnya lebih luas berdampak melintasi batas karena pasar yang disasar para bisnis online bukan hanya lokal, tetapi bisnis global.

Ekonomi Internet Shutdown
Perhatian presiden Jokowi terhadap bisnis digital bukan tanpa alasan, sebagaimana beliau sampaikan saat menghadiri acara pembukaan Digital Start Up pada tahun 2018 lalu, bahwa ekonomi digital berkontribusi 8,5% terhadap pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Angka tersebut meningkat dibanding tahun 2017 yang hanya berkontribusi sebesar 7,3%. Dan Jokowi menyatakan bahwa angka tersebut jauh tumbuh dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,1%. Bahkan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa PDB Indonesia tahun 2018 mencapai sekitar Rp. 14 Triliun dengan kontribusi ekonomi digital mencapai Rp. 1 triliun. Pencapaian ini merupakan lompatan-lompatan yang perlu diperkuat dengan memperkokoh kebijakan yang serius berkaitan dengan kelancaran proses transaksi bisnis digital. Terbitnya kebijakan Kementrian Kominfo terkait pembatasan penggunaan medsos khususnya untuk konten gambar dan video, maka dapat ditengarai menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Berapa besar kira-kira kerugian yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut?

Saat ini sudah tersedia tool yang memilki kemampuan untuk memperkirakan dampak ekonomi dari gangguan internet, pemadaman data seluler, atau pembatasan aplikasi yang disebut dengan The NetBloks Cost of Shutdown Tool (COST). Aplikasi ini menggunakan indikator dari Bank Dunia, ITU, Eurostat (Statistical Office of the European Communities/ Kantor Statistik Komunitas Eropa), dan Sensus AS. Aplikasi ini menggunakan angka PDB nasional dan populasi regional untuk melakukan penilaian dampak ekonomi subnasional, menggunakan metode Brookings Institution dengan indikator pembangunan, selain itu, juga menggunakan teknik GDP (Gross Domestic Product) klasik untuk menilai shutdown internet secara parsial terhadap platform media sosial yang dibatasi atau difilter.

Berdasarkan hitungan COST terhadap pembatasan media sosial di Indonesia yang dikalkulasi untuk satu hari; dampak kerugian yang dialami Jakarta berdasarkan layanan yang diblokir dan difilter, untuk 3 (tiga) jenis media sosial, yakni; WhatsApp, Facebook dan Instagram mencapai $1,577,469 atau setara dengan 22,5 milyar per hari dengan nilai kurs per tanggal 22 Mei 2019 sebesar Rp. 14.328. Hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai berapa hari pemerintah akan memberlakukan pembatasan ini. Jika sampai seminggu saja, itu artinya akan ada kerugian yang mencapai 158 milyar per minggu untuk wilayah Jakarta. Untuk Surabaya, dengan layanan pembatasan media sosial yang sama, kerugian mencapai 6,2 milyar per hari, Bandung mencapai angka 4,4 milyar, Medan mencapai 4,6 milyar, dan Semarang 3,3 milyar per hari. Kalkulasi kerugian ini hanya parsial dan belum memasukkan media youtube dan twitter. Jika dikalkulasi secara nasional tentu angka kerugiannya terlihat sangat besar bagi ekonomi Indonesai akibat dari pembatasan tiga jenis media sosial tersebut.

Melihat situasi terkini, pembatasan penggunaan medsos oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi justeru menjadi bumerang bagi kebijakan umum pemerintah dalam memajukan dunia bisnis digital, fungsi koordinasi antara kementiran dalam Kabinet Kerja Jokowi belum terlihat padu. Di satu sisi memberikan peluang yang positif, tetapi kebijakan lain secara sepihak dapat menurunkan kinerja ekonomi. Keputusan parsial yang merupakan sub-sistem dari sistem besar dalam pemerintahan belum bergerak searah, konon lagi menyangkut persoalan politik dan hukum, sering sekali mengabaikan aspek dan dampak ekonomi yang ditimbulkan di kalangan masyarakat bawah.

Kondisi politik bisa saja stabil dalam waktu cepat, tetapi bisa jadi semakin memanas pasca pengumuman pemenang pilpres dalam waktu dekat ini. Artinya, kemungkinan pemerintah memberlakukan pembatasan penggunaan media sosial akan terus berlangsung hingga persoalan politik pilpres ini selesai dan semua pihak sudah menerima. Semakin panjang durasi pembatasan media sosial, maka akan semakin lama dampak buruk ekonomi digital ini melanda Indonesia dan akan semakin luas, karena pengguna internet yang mencari nafkah menghidupi keluarga dari bisnis online memiliki kesabaran yang terbatas. Pada tahap awal barangkali mereka masih bisa mengatasi dalam jangka waktu pendek karena masih memiliki tabungan, tetapi untuk jangka panjang akan menjadi masalah baru yang menimbulkan kepaninkan.

Situasi saat ini menjelaskan bahwa kalkulasi ekonomi di dunia serba digital saat ini tidak bisa semata-mata dilihat dari aspek perdagangan bisnis yang menggunakan sistem konvensional dengan mematok Tanah Abang sebagai ukuran tunggal, tetapi harus memasukkan perspektif bisnis digital yang menjadi media utama penyampaian pesan-pesan bisnis secara lebih luas dalam aspek pasar dan pemasarannya. Tanpa peran internet, arus lalu lintas barang-barang bisnis dan perputaran uang akan melambat dan mengganggu sistem perekonomian negara yang selama ini sudah berkomitmen untuk mendukung dan mendorong bisnis digital sebagai sarana untuk memicu pertumbuhan ekonomi.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Rabu 29 Mei 2019. Untuk membaca melalui e-paper, silahkan klik Link ini

Sep 212018
 

Campak dan Rubella dari Perpektif EkonomiACEH saat ini menjadi satu satunya provinsi yang belum melaksanakan kembali program nasional imunisasi Measles Rubella (MR). Hal tersebut berkaitan dengan belum keluarnya instruksi dari Bapak Gubernur dan juga Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Provinsi lain di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan luar Pulau Jawa lainnya yang pada awalnya juga menunda, sudah memulai kembali setelah dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.33 Tahun 2018 yang membolehkan penggunaan vaksin MR.

Secara lengkap, Fatwa MUI itu tertuang pada point 3 yang berbunyi, “Penggunaan Vaksin MR produk dari SII pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal. Kebolehan vaksin MR tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.”

Banyak pihak yang mempertanyakan tentang kondisi darurat yang dimaksud. Mengapa Aceh juga harus melaksanakan imunisasi MR ini? Apakah Aceh bisa dikatakan “darurat” campak dan rubella? Namun, tulisan ini tidak bermaksud mengulang jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi lebih melihat pada perspektif ekonomi dari cost yang dikeluarkan dari tingginya kasus MR tersebut.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus secara klinis campak dan rubella di Indonesia dari 2014-2017 yaitu 54.667 kasus. Data sampai Juni 2018 terdapat 2.160 kasus. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan serologis positif untuk campak adalah 8.581 kasus dan serologis positif untuk Rubella adalah 5.005 kasus.

Secara global, Indonesia menduduki peringkat keenam pada 2016 sebagai negara dengan penderita campak terbanyak di dunia setelah Mongolia, Cina, Congo, Nigeria, dan India. Untuk Indonesia, berdasarkan pemetaan daerah risiko campak 2017, terdapat 56% provinsi di Indonesia dengan kategori daerah risiko sangat tinggi. Data kejadian luar biasa (KLB) campak dan rubella 2018 terjadi di 17 provinsi, termasuk Aceh.

Bagaimana Aceh?
Nah, untuk Aceh bagaimana? Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh untuk kasus klinis penyakit campak pada 2016 ditemukan 1.588 kasus, pada 2017 terdapat 1.027 kasus, dan sampai Juli 2018 sudah ditemukan sebanyak 1.157 kasus. Berdasarkan Case Based Measles Surveilance (CBMS Percentage) Aceh 2012-2017, ditemukan 221 kasus campak dan 176 kasus rubella. Data tersebut dengan catatan tidak semua kabupaten/kota melapor dan tidak semua sampel diperiksa laboratorium.

Campak dan Rubella merupakan penyakit yang sangat menular dan berbahaya. Untuk penderita campak bisa berkomplikasi menyebabkan radang paru, infeksi otak, diare dehidrasi berat, infeksi telinga dan kematian. Sedangkan Rubella, efek kepada penderita tidak terlalu berat dibandingkan dengan penderita campak, akan tetapi bila Rubella menyerang ibu hamil, maka bisa terjadi keguguran ataupun lahir anak dengan kecacatan atau disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital (SRK).

Kecacatan yang timbul ini bisa berupa penyakit jantung bawaan (bocor jantung), kerusakan jaringan otak yang bisa menyebabkan kelumpuhan ataupun retardasi mental, katarak kongenital (terdapat selaput putih di lensa mata), dan gangguan pendengaran atau tuli. Sampai 2017 terdapat 2.767 kasus SRK di Indonesia dan di Aceh sampai saat ini belum ada data jelas mengenai penderita SRK, akan tetapi kasus SRK sudah ditemukan dan ada di sekitar kita.

Seorang penderita campak atau rubella membutuhkan rawatan di rumah sakit (RS), terutama dengan indikasi campak dengan komplikasi ataupun campak tanpa komplikasi, tapi dengan kondisi sulit makan dan minum. Untuk seorang penderita campak, biaya yang dibutuhkan (berdasarkan standar BPJS), yaitu campak ringan tanpa komplikasi sebesar Rp 2.680.000 per kasus, campak dengan radang paru sebesar Rp 12.890.700 per kasus, campak dengan radang otak yaitu sebesar Rp 11.719.300 per kasus.

Biaya tersebut belum termasuk biaya hidup selama penderita dirawat juga biaya untuk keluarga yang mendampingi. Termasuk juga selama rawatan, orang tua, baik Ayah atau Ibu tidak bisa bekerja mencari nafkah sebagaimana aktivitas sehari-hari dalam memenuhi ekonomi rumah tangga.

Sedangkan untuk biaya pengobatan cacat karena penyakit rubella (SRK), butuh biaya yang sangat besar untuk alat bantu dengar (implant kokhlea) di telinga (tidak ditanggung BPJS), hanya biaya operasi yang ditanggung BPJS. Biaya operasi katarak kongenital, juga biaya yang dibutuhkan untu perawatan cacat seumur hidup (terapi rehabilitasi berupa terapi wicara, terapi jalan), biaya hidup selama perawatan (transportasi, makan) juga kerugian yang ditimbulkan karena orang tua tidak bekerja.

Untuk 3 (tiga) tahun terakhir dari kasus campak di Aceh dengan asumsi rata-rata pengeluaran setiap kasus yang diklaim ke BPJS sekitar sebesar Rp 7,8 juta, maka total cost yang dikeluarkan hampir mencapai Rp 30 miliar. Angka ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga pasien dengan rata-rata durasi waktu 7 hari, baik untuk pasien rawatan tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi yang bisa menghabiskan biaya rata-rata Rp 2 juta per keluarga.

Artinya, keluarga pasien akan mengeluarkan biaya mencapai Rp 4,7 miliar selama tiga tahun tersebut, sehingga nilai ekonomi yang harus ditanggung akibat dari proses pengobatan Campak dan Rubella totalnya mencapai Rp 34 miliar.

Komponen biaya
Nilai ekonomi yang muncul dari data tersebut belum termasuk biaya yang dikeluarkan dari kasus SRK yang secara nasional dalam lima tahun terakhir berjumlah 2.767 kasus dengan biaya perawatan, operasi, terapi dan lain-lain yang membutuhkan komponen biaya berupa alat bantu dengar implant sebesar Rp 327 juta – Rp 370 juta, terapi wicara Rp 74 juta, katarak Rp 22 juta, dan rehabilitasi sebesar Rp 2,6 juta. Sehingga total biaya yang dikeluarkan oleh pasien SRK per pasien adalah sebesar Rp 619 juta.

Bisa kita bayangkan, pemerintah harus merogoh kocek tidak kurang dari Rp 1,7 triliun untuk melakukan pengobatan dan rehabilitasi khusus untuk penderita SRK, belum lagi ditambah dengan kasus-kasus penyakit yang mewabah yang dikarenakan rendahnya cakupan imunisasi misalnya, seperti difteri yang sejak 2017 menjadi masalah di Aceh, bahkan sampai sekarang.

Untuk Aceh, hingga saat ini kasus SRK tidak bisa dihitung, karena penulis belum mendapatkan informasi dan data riil mengenai jumlah penderita SRK. Tapi yang jelas kasusnya ada. Dengan asumsi besaran biaya pada kasus SRK di atas, sekalipun terpapar salah satu saja kelainannya, masih sangat tinggi bagi Aceh untuk dijadikan beban biaya di tengah-tengah ekonomi Aceh yang hingga saat ini masih tumbuh lambat dan terkesan tidak menggeliat.

Informasi di atas menunjukkan betapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak pasien. Dan sejatinya, semua biaya tersebut dapat dihindari melalui tindakan preventif berupa pemberian imunisasi MR kepada seluruh anak-anak yang ditargetkan.

Biaya pengadaan vaksin tersebut, jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan dan rehabilitasi. Selain itu, pemerintah dapat mengalokasikan biaya tersebut untuk kebutuhan lain, dari pihak pasien (masyarakat) juga bisa menambah tabungan untuk menjaga keseimbangan ekonomi keluarga.

Tidak terlaksananya program imunisasi MR ini, tentu saja berdampak pada tidak tercapainya target cakupan imunisasi sebesar 95%, dan juga akan mengukuhkan kecemasan kita karena kemungkinan mewabahnya kembali penyakit campak dan rubella serta meningkatnya angka kejadian SRK di kemudian hari.

Di samping itu, tentu saja berpengaruh terhadap besaran nilai ekonomi dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Menjelang garis finish dana otsus, Aceh harus mulai serius memikirkan efisiensi, sehingga ke depan kita tidak terjebak pada frasa “darurat ekonomi”.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Campak dan Rubella dari Perspektif Ekonomi, http://aceh.tribunnews.com/2018/09/20/campak-dan-rubella-dari-perspektif-ekonomi.

Sep 152017
 

page_16_Ekonomi DigitalData tak pernah tidur, setiap menit dalam jumlah yang sangat besar data mengalir dari setiap telepon, website, dan aplikasi yang lalu lalang di internet. Seberapa banyak kah data tersebut dibuat dan dari mana datangnya? Retorika tersebut dilontarkan  Josh James, founder, CEO & Chairman of the board pada tahun 2012 lalu dan menampilkannya dalam poster infografik dengan membagi setidaknya 15 jenis data yang berlalu-lalang di dunia maya.

Kita ambil saja contoh 5 jenis media maya yang paling populer saat ini menyediakan kanal tempat berseliwerannya data-data tersebut; (1) Ada sekitar 204 juta email yang dikirim oleh pengguna dalam setiap menit. Itu artinya ada sekitar 12 milyar email terkirim dalam setiap jam, atau 288 milyar email per hari. (2) Google membukukan catatan sebanyak 2 juta permintaan searching setiap menit, sama dengan 120juta per jam, atau 2,8 milyar perhari. (3) Tercatat sebanyak 684 ribu data sharing/update status Facebook setiap menit, berarti ada sekitar 985 juta sharing/ update status facebook setiap hari. (4) Pengguna twitter mengirim 100ribu twit setiap menit. Sama dengan 144juta twit setiap hari. (5) Data Belanja online mencapai $272.070. Dengan kurs 13.000, angka tersebut setara dengan Rp. 3.5 milyar setiap menit atau Rp. 212 milyar per jam. Artinya transaksi online mencapai Rp. 5.093 triliun sehari-semalam.

Melihat begitu besarnya transaksi uang melalui kanal digital ini, walau terlihat ambisius, tidak terlalu berlebihan jika pemerintah mencanangkan Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020 dengan target terciptanya 1000 digital start-up (rintisan) dengan valuasi bisnis 10 miliar dolar AS, dan pertumbuhan e-commerce 50 persen per tahun dengan transaksi 130 miliar dolar AS, dengan asumsi pencapaian tersebut dapat diraih melalui dukungan kuat bagi pelaku wirausaha dalam kategori usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Bahkan untuk mewujudkan target itu pemerintah menyiapkan gerakan inklusif transaksi digital.

Selain data-data digital yang dicatat James tersebut, tentu saja didukung oleh sikap masyarakat Indonesia yang digital oriented. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) serta We Are Social menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia berada di kisaran 52%, dan sebagian besar diantaranya mengakses internet secara mobile selama 4 jam per hari. Lebih jauh, saat ini terdapat 370 juta kartu SIM aktif di Indonesia, jauh lebih besar dari populasi Indonesia yang sudah hampir mencapai 270 juta penduduk. Itu artinya, pelanggan mobil rata-rata menggunakan lebih dari satu kartu SIM dengan asumsi satu nomor khusus untuk panggilan, dan nomor lainnya digunakan untuk berselancar di internet melalui ponsel pintar yang dimanfaatkan untuk kegiatan transaksi digital.

Komitmen Pemerintah

Potensi transaksi digital tentu saja tidak serta merta dapat memenuhi target sebagaimana dicanangkan jika pemerintah tidak berkomitmen mengimplementasikan visi digital tersebut. Satu sisi pemerintah bertekad memberikan akses pembiayaan bagi UMKM dan perusahaan IT baru berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kebijakan likuiditas pasar bagi perusahaan rintisan. Di samping itu juga kebijakan modal ventura yang memberi insentif dan mempermudah pembiayaan bagi pengusaha IT baru.

Di sisi lain, sebagaimana kita saksikan, usaha mikro kecil dan menengah juga mengalami kesulitan menghadapi kenyataan bahwa komoditas pangan seperti garam, gula, kedelai, bawang, daging dan komoditas keperluan rumah tangga lainnya yang sedang berusaha tumbuh di dalam negeri digulung oleh barang-barang impor. Salah satu dampak dari kebijakan dwelling time justeru benar-benar dimanfaatkan pihak lain untuk menaikkan kapasitas impor. Akibatnya pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah dalam negeri, jangankan dapat meningkatkan nilai tambah produk mereka, untuk bertahan di harga yang berkecukupan saja mereka tidak mampu, konon lagi di tengah masyarakat tersebar issue tentang gula dan garam yang diproduksi masyarakat tidak bersertifikat, artinya tidak mendapat jaminan dari pemerintah atas kualitas produknya, sehingga tidak memperoleh kepercayaan di pasar.

Pun dalam soal pemanfaatan teknologi untuk sistem perizinan terintegrasi (single submission) baru diluncurkan baru-baru ini, Agustus 2017, melalui paket ekonomi jilid XVI dengan Satgas Leading Sector pada kementerian/lembaga antara lain berada pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan. Dimana, reformasi peraturan perizinan berusaha yang mulai dilakukan pada tahap kedua oleh pemerintah pusat menyerahkan kepada Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan evaluasi atas seluruh dasar hukum pelaksanaan proses perizinan berusaha yang berlaku pada saat ini termasuk untuk UMKM

Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara target yang disasar, waktu target yang dicapai, serta perangkat aturan yang diberlakukan, dan kondisi para pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah yang belum maksimal dibina agar produk mereka memenuhi standar produk pada umumnya sehingga dapat ditampung oleh pasar global.

Bagaimana Memasuki Ekonomi Digital

Melihat kenyataan sulitnya pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah tumbuh dalam situasi kebijakan pemerintah yang masih tarik ulur dalam “spektrum utopia” ekonomi digital, patut kita menduga bahwa target-target yang ditorehkan dalam visi mewujudkan ekonomi digital Indonesia di tahun 2020 yang hanya tinggal lebih kurang dua tahun lagi terhambat. Data-data transaksi ekonomi yang sangat dahsyat di dunia maya yang disuguhkan James di atas, dikhawatirkan memang hanya mengawang-awang dan memenuhi catatan para pengamat saja. Buktinya, belum lama ini pemerintah, sebagaimana disampaikan menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin nasution,  sudah mulai gamang dengan kondisi lesunya perekonomian dan mengakui sedang mencari akar penyebab lesunya daya beli masyarakat.

Pernyataan tersebut menjadi kurang relevan, karena pemerintah sendiri yang telah menyusun visi ekonomi digital, artinya pemerintah sudah menyadari betul bahwa terjadi pergeseran (shifting) dan perusakan (disruption) ekonomi dengan munculnya teknologi informasi yang terus menggerus peran ekonomi konvensional yang malas memperbaiki diri. Oleh karenanya diperlukan inovasi-inovasi agar kemampuan pegiat ekonomi dapat meningkat signifikan dan produk-produk dapat ditingkatkan kualitasnya. Yang terpenting adalah kebijakan pemerintah yang memang benar-benar memihak kepada masyarakat dan pegiat ekonomi mikro, kecil dan menengah.

Jika pertumbuhan UMKM tersendat, tentu saja produk-produknya akan sulit untuk masuk pasar dan juga memiliki kesempatan yang sedikit untuk meramaikan pasar e-commerce. Oleh karenanya penting untuk diperhatikan dan memastikan status data transaksi digital yang berseliweran di Indonesia, dimana nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 saja mencapai angka Rp130 triliun. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah masyarakat Indonesia dalam transaksi tersebut berstatus sebagai konsumen atau produsen? Atau berperan sebagai reseller dari produk-produk luar negeri? Jika 50 persen saja status transaksi sebagai penjual, tentu ini akan sangat baik dampaknya terhadap perekonomian, tetapi jika hanya sebagai konsumen, maka makna disruptive dalam konteks karakter perusak ekonomi yang disebutkan oleh Reynald Kasali memang menjadi bahan pemikiran kita untuk melakukan revolusi mental untuk menciptakan produk-produk yang inovatif agar mampu bersaing dengan produk-produk global yang selama ini mendominasi pasar melalui transaksi digital.

Diperlukan sikap tegas untuk menopang dan menjamin berputarnya gerigi ekonomi melalui penguatan sistem produksi dan pembinaan kemampuan digital para pegiat ekonomi mikro, kecil dan menengah, dan pemerintah juga harus berani menginterupsi kegiatan impor jika terindikasi merusak aktifitas ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah dalam negeri.

Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Kamis, 14 September 2017. E-papernya dapat dibaca di link Memasuki Ekonomi Digital.

Baca juga :

Aug 012017
 

uangRamadhan dinobatkan sebagai bulan keberkahan dan penuh kebaikan, bahkan salah satu malam di bulan ramadhan, yakni malam lailatulqadar lebih baik dari seribu bulan. Keberkahan bulan ramadhan memiliki setidaknya dua dimensi, yaitu dimensi akhirat dan dunia. Syarat untuk dapat memperoleh keberkahan di akhirat adalah iman dan orientasi harapan, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Dimensi ukhrawi pada bulan ramadhan ini bukan hanya pengampunan dosa, tetapi juga memiliki keutamaan-keutamaan di setiap ibadah yang dilakukan dimana Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi setiap muslim yang melaksanakan puasa dengan penuh keikhlasan.

Tidak makan dan tidak minum serta menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan yang berlebihan bukan sekedar larangan yang ingin menguji ummat Islam agar Allah tahu siapa yang patuh dan siapa yang inkar, tetapi memiliki makna lain yang bersifat duniawi, dimana orang-orang yang berpuasa menurut hasil penelitian ilmiah dapat dipastikan sangat baik bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah, demikian juga aspek psikologis menahan amarah dapat menurunkan kadar adrenalin dalam tubuh.

Dimensi duniawi ramadhan juga memiliki spektrum tersendiri dalam aspek perekonomian yang dapat dilihat dari sisi mikro dan makro yang muncul akibat aktifitas dan pola konsumsi masyarakat yang mencapai puncak tertinggi selama bulan ramadhan hingga menjelang lebaran tiba. Hal ini dapat dilihat dari salah satu indikator yang dirilis oleh bank Indonesia, yakni jumlah uang yang beredar pada bulan ramadhan dan menjelang hari raya.

Memperhatikan data uang kartal yang diedarkan (UYD) Bank Indonesia tahun 2016, terlihat bahwa trend peredaran uang di masyarakat pada dua bulan menjelang puasa selalu meningkat. Fenomena ini terjadi secara nasional dan juga lebih rinci pada setiap provinsi di Indonesia, tak terkecuali Aceh. Tingginya tingkat pengedaran uang ini tentu saja akibat dari perilaku konsumsi yang tinggi dalam masyarakat. Sebagai gambaran, di tahun 2014 bulan ramadhan jatuh pada akhir bulan Juni, tepatnya 29 Juni 2014. Data BI menunjukkan jumlah pengedaran uang di Aceh pada bulan April sebesar Rp. 168,1 milyar, dan pada bulan Juni meningkat menjadi 195 milyar. Kenaikan pengedaran uang sebesar 16% tersebut karena terdapat aktifitas meugang di akhir Juni. Pada tahun 2015, kenaikan tingkat pengedaran uang di masyarakat terlihat lebih tinggi, dimana ramadhan jatuh pada tanggal 18 Juni 2015 dengan jumlah pengedaran uang sebesar Rp. 398,5 milyar. Dan bulan April sebelumnya jumlah pengedaran uang hanya sebesar Rp. 256,6. Artinya jumlah uang masuk yang beredar mencapai lebih kurang 55%.

Di sisi lain, selain peningkatan konsumsi yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan selama ramadhan, belanja masyarakat juga didorong oleh aktifitas menjelang dan pasca hari raya idul fitri, yaitu mudik dan arus balik yang menciptakan suatu pergerakan masyarakat urban yang mudik ke kampung dan balik lagi ke kota untuk melakukan aktifitas normal sehari-hari. Pergerakan penduduk pada dua momen penting saat mudik dan arus balik ini bahkan menjadi salah satu peristiwa yang dimasukkan dalam pertimbangan survey kependudukan yang dilakukan oleh BKKBN melalui program survey RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) di setiap tahunnya. Pada bulan Juli 2015, pengedaran uang melonjak mencapai Rp. 977,9 milyar, atau meningkat sebesar 145% karena adanya peningkatan aktifitas ekonomi menjelang hari raya idul fitri.

Fenomena ini dapat diterjemahkan sebagai sebuah kondisi dimana ramadhan, saat ummat Islam berpuasa, menahan makan dan minum, berarti juga menahan belanja makanan dan minuman sebagaimana hari-hari biasa. Tetapi kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat justru terlihat semakin tinggi jauh melebihi konsumsi hari-hari biasa di luar ramadhan. Hal ini tentu akan mempengaruhi ekonomi karena transaksi yang berlangsung searah dengan jumlah uang yang beredar di masyakat. Kondisi ini berlangsung hingga momen mudik dan arus balik.

Sebagaimana diketahui bahwa ekonomi suatu negara direfleksikan melalui nilai produk domestik bruto (PDB) yang diukur menggunakan indikator konsumsi rumah tangga, investasi keseluruhan, belanja pemerintah, serta ekspor dan impor, maka konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi hingga mencapai 50% untuk negara Indonesia. Jika dikaitkan dengan fenomena tingginya UYD di setiap bulan ramadhan hingga memasuki iedul fitri, maka dapat diduga bahwa perilaku konsumsi ini dapat mempercepat perputaran uang dan akan mempengaruhi ekonomi daerah dan bahkan negara.

Uniknya, kekhawatiran beberapa kalangan yang selalu timbul menjelang ramadhan dan hari raya berupa “sang pencuri yang tak dapat ditangkap”, yaitu inflasi, yang menggambarkan naiknya harga-harga barang tertentu yang menyebabkan menurunnya daya beli seolah-olah tidak menjadi masalah bagi masyarakat. Secara psikologi masyarakat lebih fokus pada kepuasan batin dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan selama ramadhan serta hari kemenangan setelah sebulan penuh menahan  haus dan lapar.

Dua peristiwa besar ini menjadi pilar ekonomi yang dapat menopang kondisi suatau daerah bahkan negara, dimana pada bulan-bulan biasa di luar ramadhan dan syawal dapat kita lihat catatan ekonomi yang berfluktuasi secara tajam sehingga pemerintah bekerja keras meningkatkan belanja konsumsi untuk memperoleh keseimbangan dari sisi ekonomi mikro dan makro. Tingginya transaksi ini bahkan bisa berlanjut hingga dua bulan setelah idul fitri, yakni bersambung dengan momen idul adha dimana masyarakat muslim di seluruh Indonesia akan melakukan transaksi ekonomi untuk belanja hewan kurban yang setiap tahun sebelumnya selalu meningkat, dan diprediksi di tahun-tahun selanjutnya akan terus meningkat karena meningkatknya kesadaran masyarakat ekonomi menengah terhadap ibadah kurban.

Dimensi ekonomi yang mengiringi dimensi ibadah puasa dan perayaan hari kemenangan idul fitri dan idul adha menjadi penyeimbang setiap tahun yang akan menutupi celah-celah kekosongan prestasi ekonomi di luar bulan puasa dan syawal serta dzulhijjah tersebut sehingga dapat menjadi satu tonggak puncak prestasi ekonomi karena secara otomatis masyarakat dengan sendirinya terdorong untuk melakukan transaksi yang optimal karena muncul dari dorongan psikologis yang tidak dapat ditunda atau dihambat oleh siapapun.

Kondisi ini sekaligus akan mengurangi beban pemerintah, setidaknya 3 hingga 4 bulan pemerintah dapat bernafas dengan lega dan “berhenti” menstimulasi ekonomi arus bawah untuk bergerak, karena mesin ekonomi berputar melalui energi yang dihasilkan dari aktifitas-aktifitas berdimensi ibadah yang diyakini sebagai suatu aktifitas transendental namun di sisi lain mampu mendongkrak sisi-sisi material dalam hubungannya dengan sesama manusia melalui transaksi ekonomi di lingkungan masyarakat. Sisanya, 8 bulan pemerintah dapat melakukan stimulasi ekonomi yang mengacu pada teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi seperti biasa dengan mengaktifkan mesin-mesin ekonomi konvensional.

Puasa di bulan ramadhan, perayaan idul fitri di bulan syawal, dan kurban di hari raya idul adha merupakan aktifitas yang berdimensi ibadah dan muammalah, mengajarkan dan mendidik kita untuk mendekatkan hubungan dengan Allah di satu sisi, serta menyadarkan manusia untuk memupuk hubungan baik dengan sesama manusia di sisi yang lain. Kedua dimensi ini tidak mungkin dapat dipisahkan dan akan terus menjadi dua sisi yang melekat serta menjadi titik koordinat yang menyeimbangkan aspek ukhrawi dan duniawi dalam waktu bersamaan.

May 092017
 

Menata Ekonomi Berkeadilan_cropToko modern dalam wujud ritel saat ini tumbuh pesat di seluruh Indonesia, pangsa pasarnya semakin melebar dan mengiris pangsa pasar ritel tradisional, jika dihadapkan antara pangsa pasar ritel tradisional dan modern, maka terlihat jelas pangsa pasar ritel tradisional semakin hari semakin mengecil karena digerus oleh keberadaan ritel modern.

KPPU merilis gesekan pangsa pasar antara modern dan tradisional ini dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2000 pangsa pasar ritel tradisional berada pada angka 65% sedangkan ritel modern memiliki pangsa pasar 35%. Namun sejak tahun 2004, pertumbuhan pangsa pasar ritel modern terus meningkat dari 35% mencapai 39%. dengan tingkat pertumbuhan pangsa pasar pada angka tersebut, pada tahun 2008 saja, pangsa pasar ritel modern sudah mencapai 53% sedangkan ritel tradisional menurun menjadi 47%. Angka-angka ini adalah akumulasi dari seluruh pertumbuhan pasar secara nasional. Barangkali persentase ini akan jauh lebih berfluktuasi dan fantastis jika dilihat secara detil per provinsi atau bahkan per kabupaten di seluruh Indonesia.

Kehadiran pengusaha ritel modern ini di satu sisi memang membawa berkah bagi konsumen karena akan dapat menyeimbangkan harga di pasar serta terjaminnya ketersediaan barang yang lebih variatif memenuhi kebutuhan dengan kualitas yang baik, tetapi di sisi lain berdampak pada tergusurnya keberadaan ritel-ritel tradisional yang secara pelan tapi pasti akan kehilangan momen meraih peluang ekonomi dalam skala yang kecil sekalipun, karena dapat dipastikan bahwa ritel tradisional tidak akan mampu bersaing dari aspek apapun dinilai, atau jika dikomparasi kekuatan ritel modern dan tradisional dari aspek bauran pemasaran yang mencakup product (produk) yang memiliki ciri kualitas, kemasan, feature, ukuran, pelayanan dan garansi. Demikian juga dengan dimensi price (harga) yang memiliki ciri harga bersaing dan metode bayar, place (tempat) yang strategis dan interior yang menarik, dan promotion (promosi). Tentu semuanya mutlak dimiliki ritel-ritel modern.

Di samping itu, melihat kenyataan produk-produk yang dijual di etalase ritel-ritel modern terkesan tanpa batas, dalam arti, semua produk-produk kebutuhan hidup rumah tangga dapat dijual sekalipun barng-barang yang sebenarnya jika dilihat dari aspek utility-nya tidak terlalu dipandang penting, bahkan dapat diadakan oleh produsen-produsen lokal yang selama ini kita lihat masih belum ditampung oleh ritel-ritel modern. Ini tentu saja akan menutup kemungkinan berkembangnya usaha ritel tradisional yang selama ini menjadi andalan pencari nafkah masyarakat menengah ke bawah.

Ekonomi Berkeadilan

Jauh-jauh hari, pemerintah telah menyadari fenomena ketidakadilan ekonomi dalam masyarakat Indonesia, dan memberikan signal serta dorongan kuat untuk mewujudkan keadilan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang dinyatakan dalam berbagai aturan. Dalam klausul poin (a) Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 menyatakan bahwa dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran, dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Selanjutnya dinyatakan dalam poin (b) bahwa untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen;

Pesan keras dalam peraturan presiden tersebut mestinya menjadi daya ungkit semangat ekonomi berkeadilan melalui implementasi aktifitas ekonomi yang melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat sebagai salah satu faktor produksi yang dapat dijadikan mitra penyedia/ pemasok barang-barang yang dapat diproduksi di lingkungan masyarkat lokal. Ini menjadi pemicu kuat akan terjadinya sharing economic di antara para pelaku usaha kecil menengah yang bermitra dan terlibat dalam proses-proses transaksi ekonomi yang berlangusng. Dan jika kemitraan ini bertahan dalam jangka waktu yang lama dapat dipastikan bahwa ekonomi berkeadilan bisa mengalami masa yang berbunga-bunga.

Keengganan memanfaatkan produk lokal oleh ritel-ritel modern ini akan menjadi beban berat pemerintah yang visi ekonominya untuk melakukan pemeratan dan keadilan ekonomi justeru menjadi penumpukan kekayaan hanya kepada pemodal-pemodal besar pemiliki ritel modern yang akan terus tumbuh dengan cepat dan menyedot banyak uang masyarakat desa untuk dibawa ke kota karena mereka memiliki sumber daya yang jauh melebihi kapasitas pelaku usaha kecil serta sistem bisnis yang mapan dengan peralatan yang modern dan canggih. Simpul-simpul ekonomi yang dibangun ritel berjejaring ini berdiri bak jamur tumbuh di musim hujan di seluruh pelosok tanah air dan menghimpun uang-uang masyarakat melalui kegiatan transaksi belanja. Salah satu cara untuk mengantisipasi munculnya persoalan ekonomi yang lebih berat ke depan adalah, ritel-ritel modern harus bersedia menampung produk-produk lokal. Dengan demikian sebagian dari uang belanja masyarkat akan tetap berputar di daerah tersebut walaupun persentasenya kecil, tetapi bila rutin dan perputarannya cepat akan sangat membantu berderaknya gerigi-gerigi ekonomi di lingkungan masyarakat.

Barangkali yang menjadi pertanyaan adalah persoalan kualitas produk lokal. Sebagaimana diketahui bahwa produk-produk yang dipajang di outlet dan ritel-ritel modern bukanlah produk yang diletakkan begitu saja, tetapi produk tersebut memiliki standar kualitas yang terukur melalui serangkaian riset yang panjang sehingga menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual di pasar. Inilah tantangan kemitraan bisnis di dunia global saat ini, selain melakukan transaksi ekonomi yang berfungsi untuk mencari profit, kemitraan juga memiliki dimensi pemberdayaan yang dapat mengembangkan dan meningkatkan standar dan kualitas produk lokal yang akan dijadikan sebagai salah satu menu dalam etalase ritel modern. Oleh karenanya, ritel-ritel modern yang memiliki potensi sumber daya manusia yang berkualitas dapat melakukan pelatihan peningktan kapasitas sumber daya manusia dan kualitas produk yang berstandar kepada mitranya (orang lokal). Hal ini akan sangat membantu masyarakat untuk lebih bersemangat dan giat bekerja memperbaiki kualitas diri dan produk yang ditawarkan untuk diakomodir pada etalase ritel-ritel modern.

Keuntungan lain adalah, produk-produk lokal akan dengan cepat dapat menembus pasar-pasar global, setidaknya nasional, karena ritel modern memiliki jejaring di seluruh tanah air bukan hanya di kota-kota, tetapi sudah sampai di pelosok desa. Dengan modal jejaring ini, ritel modern dapat melakukan pertukaran silang barang-barang lokal untuk dijual di daerah lain, dan bahkan suatu saat produk-produk lokal ini akan menjadi menu baru dalam daftar produk nasional.

Sangat disayangkan, pada butir-butir setiap pasal pada Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tidak ada kalimat tegas yang menyebutkan bahwa sumber-sumber barang produksi yang dijual toko-toko dan ritel modern harus menampung produk-produk lokal dalam kuantitas tertentu dimana ritel tersebut berdiri. Perpres tersebut hanya mengatur persoalan administrasi kemitraan guna mengikat antara pemasok dan toko modern dalam urusan sengketa jika kemudian hari muncul persoalan hukum. Namun demikian, masih ada harapan yang bisa digantungkan kepada pemerintahan daerah melalui penerbitan peraturan daerah yang berisi tuntutan untuk memasok produk lokal pada toko dan ritel-ritel modern berjejaring.

Artikel ini sudah dipublikasWaspada Medan, Selasa, 9 Mei 2017. Versi onlinenya dapat diakses di link Opini Waspada.

Baca juga :

Jan 292017
 

Kontrol KekuasaanJika tidak ada aral melintang, pada hari rabu, 15 Februari 2017, sebanyak 101 daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak. Pesta politik lima tahunan yang paling banyak menguras energi seluruh komponen masyarakat, mulai lapisan bawah hingga ke tingkat pusat pemerintahan. Mulai dari energi psikologi, badan dan materi semua akan terlibat.

Dari 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada tersebut terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Aceh termasuk salah satu provinsi yang turut serta dalam pesta demokrasi yang cukup bergengsi ini bersama sama dengan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Untuk diketahui, bahwa Aceh adalah daerah yang paling banyak menggelar pilkada pada tahun 2017; satu pemilihan gubernur dan 20 untuk pemilihan bupati dan walikota. Selain yang terbanyak, Aceh masih memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, yakni keberadaan partai lokal. Hal ini tentu akan memberikan warna politik yang berbeda dan semarak.

Sejak genderang pilkada ditabuh pada 3 Agustus 2016 yang lalu, maka sejak itu pula pintu gerbang tahapan pilkada dimulai. Terlalu bising aliran informasi yang keluar masuk dari seluruh media yang berlomba-lomba menyajikan berita, memancing masyarakat berspekulasi, berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi menciptakan opini masing-masing terhadap pasangan calon yang diduga atau dipastikan maju. Perang kata-kata sudah menjadi biasa di dunia maya, mulai dari yang santun hingga yang tak beretika semua ada. Bahkan para timses tidak segan-segan menggunakan berbagai cara membantu mendongkrak citra paslon dukungannya, termasuk “tega” memperkosa google sebagaimana yang sedang menjadi trending topic para netizen saat ini untuk pilkada DKI jakarta.

Esensi demokrasi

Hiruk pikuk pilkada nyaris membuat masyarakat bahkan para pasangan calon lupa terhadap esensi demokrasi yang digelar melalui pilkada ini. Perilaku politik di negeri kita cenderung memberikan warna berbeda, mendefinisikan demokrasi sebagai ajang kompetisi an sich, yang digunakan untuk memperebutkan jabatan politik, setidaknya fenomena ini sangat jelas terlihat untuk even-even pilkada dari periode ke periode. Bahkan untuk pemilihan umum presiden pun kita masih merasakan aroma perebutan jabatan politik yang bukan merupakan esensi dari demokrasi.

Esensi demokrasi adalah kesejahteraan (setidaknya bagi demokrasi di Indonesia), namun yang kita saksikan dalam setiap pilkada, kesejahteraan baru sebatas slogan yang hanya muncul saat kampanye berlangsung karena pada saat itu merupakan momen dimana opini media begitu masif menyuguhkan informasi politik yang tidak menyisakan waktu kepada masyarakat untuk memilih berita lain. Dan pada saat yang sama tingkat emosional masyarakat sedang dalam klimaks yang luar biasa dan harus menentukan sikapnya agar dapat berpartisipasi dalam argumen-argumen politik di lingkungan masing-masing. Akibatnya kita semua terjebak dalam proses-proses demokratisasi yang kita definisikan sebagai demokrasi itu sendiri, padahal sebenarnya kita sedang mendefinisi ulang demokrasi secara liar menjadi perebutan kekuasaan. Inilah definisi yang sangat mainstream di tengah-tengah masyarakat saat ini.

Berebut Kekuasaan

Bagaimana dengan kesejahteraan? Ya, memang tetap dituntut oleh masyarakat saat pasangan calon terpilih menjadi pimpinan daerah. Tapi bukan rahasia lagi, walaupun hanya sebatas candaan, adagium yang menyatakan perbedaan pilkada dan pil-KB; “Pilkada, kalau jadi dia lupa, sedangkan pil-KB, kalau lupa dia jadi”, memang menjadi hipotesa. Dengan telah melewati banyak pilkada, hipotesa ini sudah bisa dibuktikan dan menjadi tesis. Mengapa bisa demikian? Karena para kontestan pilkada barangkali belum memiliki kapasitas untuk memimpin daerah dalam artian visi dan misinya tidak dipersiapkan untuk mendorong kesejahteraan, tetapi ingin berkompetisi memperebutkan kekuasaan, padahal ini baru merupakan salah satu dari proses-proses demokrasi yang harus dilalui. Celakanya, kebanyakan berhenti pada tahapan ini. Kalaupun ada upaya-upaya untuk mendorong kesejahteraan, maka sulit sekali kesejahteraan tersebut terdistribusi untuk masyarakat luas, tetapi untuk kalangan “terbatas” jelas. Kondisi ini persis seperti bunyi teori John Rawls.

John Rawls dalam Caporaso & Levine (2015) mengajukan sebuah pendekatan berbasis keadilan yang dia sebut sebagai pendekatan Kontraktarian Modern, dimana Rawls mengatakan bahwa semua nilai sosial-kebebasan dan peluang, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar dari martabat individu (self respect)- harus didistribusikan secara merata (equally) kecuali jika distribusi yang tidak merata terhadap sebagian atau semua dari nilai-nilai ini bisa menguntungkan semua orang.

Teori Rawls ini tentu saja beraroma ekonomi politik karena memang Rawls dalam hal ini sedang membahas hubungan ekonomi dan politik. Dalam realitas dunia politik saat ini, memang kalimat terakhir dari pernyataan Rawls sangat relevan. Artinya, proses-proses demokrasi yang diselenggarakan melalui pilkada selama ini lebih cenderung kepada perebutan kekuasaan untuk mengontrol kesejahteraan individu dan kelompok-kelompok tertentu. Rawls membenarkan penguasaan harta yang bertumpuk pada sekelompok orang dengan syarat dapat menguntungkan semua orang, pernyataan yang terbalik dengan logika keadilan yang selama ini dipahami orang.

Berkaitan dengan teori Rawls ini, dapat kita duga bahwa para calon pemimpin barangkali awalnya berniat mengontrol kekuasaan, kemudian menguasai sumber-sumber ekonomi dan mendistribusikannya kepada kolega untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Tetapi pasca terpilih hanya ada satu penggal teori tersebut yang dapat direalisasikan, yaitu penguasaan harta oleh sekelompok orang. Adapun syarat agar menguntungkan semua orang- dalam hal ini rakyat- maka dapat kita lihat dari kondisi sulitnya ekonomi masyarakat selama ini atau dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi serta indikator-indikator kesejahteraan yang dirilis secara resmi oleh badan pusat statistik.

Lantas siapa pihak yang harus kita mitntai tanggungjawab untuk meluruskan pola pikir para calon pemimpin daerah agar orientasi berebut kekuasaan dapat dibelokkan menjadi kesejahteraan? Secara umum kita semua bertanggungjawab melakukan pendidkan politik melalui berbagai media dan institusi pendidikan politik, tetapi karena proses-proses demokratisasi di Indonesia telah melahirkan desentralisasi kekuasaan dengan hadirnya instutusi-institusi politik formal, maka tidak berlebihan jika pekerjaan ini diarahkan menjadi domain-nya partai politik, sesuai definisi partai politik menurut UU No.2 Tahun 2008, yaitu untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Peran Partai Politik

Partai politik yang sejatinya memiliki tanggungjawab moral terhadap pembinaan dan edukasi politik bagi masyarakat dan anggotanya tidak jarang mengusung calon-calon yang lebih populer dari perspektif pencitraan dan mengabaikan kapasitas calon yang benar-benar memiliki visi membangun daerah. Bukan tidak boleh, tetapi alangkah lebih baiknya ada proses pendidikan politik dan kepemimpinan yang memang dipersiapkan sejak dini sehingga calon yang dipersiapkan memang benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Tetapi seperti yang kita saksikan, kecenderungan partai politik memang lebih memilih calon-calon yang populer karena pencitraan, dan ini tentu saja tidak salah karena memang masyarakat kita masih terpukau dengan pencitraan, terdapat titik ekuilibrium atas “permintaan” masyarakat dan “penawaran” yang diajukan oleh partai politik.

Jika partai politik tidak menjalankan fungsi-fungsinya sebagai institusi pendidikan politik, dikhawatirkan menjadi energi yang akan turut serta mempersempit definisi demokrasi pada ruang lingkup perebutan kekuasaan karena keputusan untuk menentukan figur-figur yang diusung didasari oleh tingginya elektabilitas di mata publik yang diperoleh dari tingginya popularitas akibat serangan masif iklan-iklan pencitraan. Setelah kekuasaan dicapai, para pejabat yang berkuasa nyaris tak mampu menampilkan diri sebagai sosok yang dapat menarik benang merah antara demokrasi dan kesejahteraan, terputus pada pencapaian kekuasaan dan terlelap dalam comfort zone. Padahal mestinya selain berkompetisi memperebutkan kekuasaan, pemimpin yang terpilih harus dapat dipastikan bahwa mereka memiliki kemampuan memahami persoalan, mengidentifikasi, menganalisis, dan membuat keputusan hingga memiliki keberanian mengeksekui program-program kesejahteraan bagi masyarakat yang menjadi inti dari perebutan kekuasaan yang dimenangkan.

Baca juga :