May 292019
 

Dampak Ekonomi Internet ShutdownBabak akhir proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia sudah hampir selesai diproses, seluruh fikiran masyarakat Indonesia sedang bertumpu pada satu titik kesimpulan, menunggu presiden “baru”. Tetapi negeri ini harus berhadapan dengan masalah lain yang terdampak dari perilaku politik para elit karena perbedaan sikap dalam menerima hasil akibat dari proses yang bermasalah. Sehingga masyarakat pemilih yang merasa proses demokrasi ini tidak jurdil melakukan aksi demo di ibukota dalam jumlah massa yang sangat besar.

Demo yang berlangsung 22 Mei 2019 baru-baru ini harus diakui berdampak signifikan terhadap roda ekonomi masyarakat karena adanya tekanan psikologis terhadap para pedagang dan pebisnis di pusat ibukota Jakarta. Pasar Tanah Abang yang merupakan pusat grosir terbesar di Indonesia shutdown sementara saat aksi demo berlangsung. Jika kita deskripsikan, terdapat lebih kurang 11.000 pedagang yang membuka lapak di blok A, B, PGMTA, dan di areal jembatan Tanah Abang. Menurut rilis KADIN Pusat, rata-rata omzet para pelapak mencapai 4iuta – 5juta perhari yang diperoleh dari 140ribu pengunjung setiap harinya, dan pada bulan ramadhan biasanya pengunjung melonjak mencapai 250ribu orang perhari dengan peningkatan omzet mencapai 10juta – 15juta per orang. KADIN memperkirakan kerugian akibat tutupnya Tanah Abang akibat aksi demo pada bulan ramadhan ini mencapai 165 milyar.

Kekhawatiran para pedagang pasar terhadap kerusuhan merupakan alasan yang kuat untuk tidak membuka toko karena akan sangat beresiko terjadinya penjarahan barang-barang dagangan mereka. Walau sebenarnya, dalam konteks proses politik di Indonesia masa kepemimpinan Jokowi-JK telah terjadi beberapa kali aksi massa, ternyata tidak terjadi kerusuhan sebagaimana yang diblow-up oleh sebagian media mainstream dan media sosial di dunia maya, tetapi aksi masa yang terakhir ini tercium aroma yang berbeda dari aksi massa sebelumnya, dimana kemungkinan kerusuhan terjadi karena pertarungan para elit politik sudah berada pada puncaknya dan sebagai final countdown yang menentukan siapa yang akan menjadi the next president. Karena hanya ada dua calon, maka para pihak yang berkepentingan terhadap pemenangan calonnya akan all out bertarung sehingga situasi diperkirakan kurang kondusif bagi para pedagang di pasar Tanah Abang dan pasar-pasar lain yang terdampak.

Tutupnya pasar Tanah Abang sebagai urat nadi perdagangan, bukan merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi menurunnya giat ekonomi nasional, khususnya Jakarta, kebijakan pemerintah melalui kementrian Kominfo yang membatasi penggunaan media sosial dalam rangka memutus arus keluar masuk informasi terkait dengan situasi politik saat ini dimana seliweran informasi hoax semakin sulit dibendung dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkeruh suasana. Namun di satu sisi menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan terhadap bisnis online yang selama ini juga menjadi prioritas pemerintahan Jokowi dalam upayanya mendorong para pelaku bisnis online agar dapat berkompetisi dengan baik. Justeru spektrumnya lebih luas berdampak melintasi batas karena pasar yang disasar para bisnis online bukan hanya lokal, tetapi bisnis global.

Ekonomi Internet Shutdown
Perhatian presiden Jokowi terhadap bisnis digital bukan tanpa alasan, sebagaimana beliau sampaikan saat menghadiri acara pembukaan Digital Start Up pada tahun 2018 lalu, bahwa ekonomi digital berkontribusi 8,5% terhadap pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Angka tersebut meningkat dibanding tahun 2017 yang hanya berkontribusi sebesar 7,3%. Dan Jokowi menyatakan bahwa angka tersebut jauh tumbuh dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,1%. Bahkan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa PDB Indonesia tahun 2018 mencapai sekitar Rp. 14 Triliun dengan kontribusi ekonomi digital mencapai Rp. 1 triliun. Pencapaian ini merupakan lompatan-lompatan yang perlu diperkuat dengan memperkokoh kebijakan yang serius berkaitan dengan kelancaran proses transaksi bisnis digital. Terbitnya kebijakan Kementrian Kominfo terkait pembatasan penggunaan medsos khususnya untuk konten gambar dan video, maka dapat ditengarai menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Berapa besar kira-kira kerugian yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut?

Saat ini sudah tersedia tool yang memilki kemampuan untuk memperkirakan dampak ekonomi dari gangguan internet, pemadaman data seluler, atau pembatasan aplikasi yang disebut dengan The NetBloks Cost of Shutdown Tool (COST). Aplikasi ini menggunakan indikator dari Bank Dunia, ITU, Eurostat (Statistical Office of the European Communities/ Kantor Statistik Komunitas Eropa), dan Sensus AS. Aplikasi ini menggunakan angka PDB nasional dan populasi regional untuk melakukan penilaian dampak ekonomi subnasional, menggunakan metode Brookings Institution dengan indikator pembangunan, selain itu, juga menggunakan teknik GDP (Gross Domestic Product) klasik untuk menilai shutdown internet secara parsial terhadap platform media sosial yang dibatasi atau difilter.

Berdasarkan hitungan COST terhadap pembatasan media sosial di Indonesia yang dikalkulasi untuk satu hari; dampak kerugian yang dialami Jakarta berdasarkan layanan yang diblokir dan difilter, untuk 3 (tiga) jenis media sosial, yakni; WhatsApp, Facebook dan Instagram mencapai $1,577,469 atau setara dengan 22,5 milyar per hari dengan nilai kurs per tanggal 22 Mei 2019 sebesar Rp. 14.328. Hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai berapa hari pemerintah akan memberlakukan pembatasan ini. Jika sampai seminggu saja, itu artinya akan ada kerugian yang mencapai 158 milyar per minggu untuk wilayah Jakarta. Untuk Surabaya, dengan layanan pembatasan media sosial yang sama, kerugian mencapai 6,2 milyar per hari, Bandung mencapai angka 4,4 milyar, Medan mencapai 4,6 milyar, dan Semarang 3,3 milyar per hari. Kalkulasi kerugian ini hanya parsial dan belum memasukkan media youtube dan twitter. Jika dikalkulasi secara nasional tentu angka kerugiannya terlihat sangat besar bagi ekonomi Indonesai akibat dari pembatasan tiga jenis media sosial tersebut.

Melihat situasi terkini, pembatasan penggunaan medsos oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi justeru menjadi bumerang bagi kebijakan umum pemerintah dalam memajukan dunia bisnis digital, fungsi koordinasi antara kementiran dalam Kabinet Kerja Jokowi belum terlihat padu. Di satu sisi memberikan peluang yang positif, tetapi kebijakan lain secara sepihak dapat menurunkan kinerja ekonomi. Keputusan parsial yang merupakan sub-sistem dari sistem besar dalam pemerintahan belum bergerak searah, konon lagi menyangkut persoalan politik dan hukum, sering sekali mengabaikan aspek dan dampak ekonomi yang ditimbulkan di kalangan masyarakat bawah.

Kondisi politik bisa saja stabil dalam waktu cepat, tetapi bisa jadi semakin memanas pasca pengumuman pemenang pilpres dalam waktu dekat ini. Artinya, kemungkinan pemerintah memberlakukan pembatasan penggunaan media sosial akan terus berlangsung hingga persoalan politik pilpres ini selesai dan semua pihak sudah menerima. Semakin panjang durasi pembatasan media sosial, maka akan semakin lama dampak buruk ekonomi digital ini melanda Indonesia dan akan semakin luas, karena pengguna internet yang mencari nafkah menghidupi keluarga dari bisnis online memiliki kesabaran yang terbatas. Pada tahap awal barangkali mereka masih bisa mengatasi dalam jangka waktu pendek karena masih memiliki tabungan, tetapi untuk jangka panjang akan menjadi masalah baru yang menimbulkan kepaninkan.

Situasi saat ini menjelaskan bahwa kalkulasi ekonomi di dunia serba digital saat ini tidak bisa semata-mata dilihat dari aspek perdagangan bisnis yang menggunakan sistem konvensional dengan mematok Tanah Abang sebagai ukuran tunggal, tetapi harus memasukkan perspektif bisnis digital yang menjadi media utama penyampaian pesan-pesan bisnis secara lebih luas dalam aspek pasar dan pemasarannya. Tanpa peran internet, arus lalu lintas barang-barang bisnis dan perputaran uang akan melambat dan mengganggu sistem perekonomian negara yang selama ini sudah berkomitmen untuk mendukung dan mendorong bisnis digital sebagai sarana untuk memicu pertumbuhan ekonomi.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Rabu 29 Mei 2019. Untuk membaca melalui e-paper, silahkan klik Link ini

Sep 152017
 

page_16_Ekonomi DigitalData tak pernah tidur, setiap menit dalam jumlah yang sangat besar data mengalir dari setiap telepon, website, dan aplikasi yang lalu lalang di internet. Seberapa banyak kah data tersebut dibuat dan dari mana datangnya? Retorika tersebut dilontarkan  Josh James, founder, CEO & Chairman of the board pada tahun 2012 lalu dan menampilkannya dalam poster infografik dengan membagi setidaknya 15 jenis data yang berlalu-lalang di dunia maya.

Kita ambil saja contoh 5 jenis media maya yang paling populer saat ini menyediakan kanal tempat berseliwerannya data-data tersebut; (1) Ada sekitar 204 juta email yang dikirim oleh pengguna dalam setiap menit. Itu artinya ada sekitar 12 milyar email terkirim dalam setiap jam, atau 288 milyar email per hari. (2) Google membukukan catatan sebanyak 2 juta permintaan searching setiap menit, sama dengan 120juta per jam, atau 2,8 milyar perhari. (3) Tercatat sebanyak 684 ribu data sharing/update status Facebook setiap menit, berarti ada sekitar 985 juta sharing/ update status facebook setiap hari. (4) Pengguna twitter mengirim 100ribu twit setiap menit. Sama dengan 144juta twit setiap hari. (5) Data Belanja online mencapai $272.070. Dengan kurs 13.000, angka tersebut setara dengan Rp. 3.5 milyar setiap menit atau Rp. 212 milyar per jam. Artinya transaksi online mencapai Rp. 5.093 triliun sehari-semalam.

Melihat begitu besarnya transaksi uang melalui kanal digital ini, walau terlihat ambisius, tidak terlalu berlebihan jika pemerintah mencanangkan Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020 dengan target terciptanya 1000 digital start-up (rintisan) dengan valuasi bisnis 10 miliar dolar AS, dan pertumbuhan e-commerce 50 persen per tahun dengan transaksi 130 miliar dolar AS, dengan asumsi pencapaian tersebut dapat diraih melalui dukungan kuat bagi pelaku wirausaha dalam kategori usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Bahkan untuk mewujudkan target itu pemerintah menyiapkan gerakan inklusif transaksi digital.

Selain data-data digital yang dicatat James tersebut, tentu saja didukung oleh sikap masyarakat Indonesia yang digital oriented. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) serta We Are Social menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia berada di kisaran 52%, dan sebagian besar diantaranya mengakses internet secara mobile selama 4 jam per hari. Lebih jauh, saat ini terdapat 370 juta kartu SIM aktif di Indonesia, jauh lebih besar dari populasi Indonesia yang sudah hampir mencapai 270 juta penduduk. Itu artinya, pelanggan mobil rata-rata menggunakan lebih dari satu kartu SIM dengan asumsi satu nomor khusus untuk panggilan, dan nomor lainnya digunakan untuk berselancar di internet melalui ponsel pintar yang dimanfaatkan untuk kegiatan transaksi digital.

Komitmen Pemerintah

Potensi transaksi digital tentu saja tidak serta merta dapat memenuhi target sebagaimana dicanangkan jika pemerintah tidak berkomitmen mengimplementasikan visi digital tersebut. Satu sisi pemerintah bertekad memberikan akses pembiayaan bagi UMKM dan perusahaan IT baru berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kebijakan likuiditas pasar bagi perusahaan rintisan. Di samping itu juga kebijakan modal ventura yang memberi insentif dan mempermudah pembiayaan bagi pengusaha IT baru.

Di sisi lain, sebagaimana kita saksikan, usaha mikro kecil dan menengah juga mengalami kesulitan menghadapi kenyataan bahwa komoditas pangan seperti garam, gula, kedelai, bawang, daging dan komoditas keperluan rumah tangga lainnya yang sedang berusaha tumbuh di dalam negeri digulung oleh barang-barang impor. Salah satu dampak dari kebijakan dwelling time justeru benar-benar dimanfaatkan pihak lain untuk menaikkan kapasitas impor. Akibatnya pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah dalam negeri, jangankan dapat meningkatkan nilai tambah produk mereka, untuk bertahan di harga yang berkecukupan saja mereka tidak mampu, konon lagi di tengah masyarakat tersebar issue tentang gula dan garam yang diproduksi masyarakat tidak bersertifikat, artinya tidak mendapat jaminan dari pemerintah atas kualitas produknya, sehingga tidak memperoleh kepercayaan di pasar.

Pun dalam soal pemanfaatan teknologi untuk sistem perizinan terintegrasi (single submission) baru diluncurkan baru-baru ini, Agustus 2017, melalui paket ekonomi jilid XVI dengan Satgas Leading Sector pada kementerian/lembaga antara lain berada pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan. Dimana, reformasi peraturan perizinan berusaha yang mulai dilakukan pada tahap kedua oleh pemerintah pusat menyerahkan kepada Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan evaluasi atas seluruh dasar hukum pelaksanaan proses perizinan berusaha yang berlaku pada saat ini termasuk untuk UMKM

Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara target yang disasar, waktu target yang dicapai, serta perangkat aturan yang diberlakukan, dan kondisi para pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah yang belum maksimal dibina agar produk mereka memenuhi standar produk pada umumnya sehingga dapat ditampung oleh pasar global.

Bagaimana Memasuki Ekonomi Digital

Melihat kenyataan sulitnya pegiat ekonomi mikro kecil dan menengah tumbuh dalam situasi kebijakan pemerintah yang masih tarik ulur dalam “spektrum utopia” ekonomi digital, patut kita menduga bahwa target-target yang ditorehkan dalam visi mewujudkan ekonomi digital Indonesia di tahun 2020 yang hanya tinggal lebih kurang dua tahun lagi terhambat. Data-data transaksi ekonomi yang sangat dahsyat di dunia maya yang disuguhkan James di atas, dikhawatirkan memang hanya mengawang-awang dan memenuhi catatan para pengamat saja. Buktinya, belum lama ini pemerintah, sebagaimana disampaikan menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin nasution,  sudah mulai gamang dengan kondisi lesunya perekonomian dan mengakui sedang mencari akar penyebab lesunya daya beli masyarakat.

Pernyataan tersebut menjadi kurang relevan, karena pemerintah sendiri yang telah menyusun visi ekonomi digital, artinya pemerintah sudah menyadari betul bahwa terjadi pergeseran (shifting) dan perusakan (disruption) ekonomi dengan munculnya teknologi informasi yang terus menggerus peran ekonomi konvensional yang malas memperbaiki diri. Oleh karenanya diperlukan inovasi-inovasi agar kemampuan pegiat ekonomi dapat meningkat signifikan dan produk-produk dapat ditingkatkan kualitasnya. Yang terpenting adalah kebijakan pemerintah yang memang benar-benar memihak kepada masyarakat dan pegiat ekonomi mikro, kecil dan menengah.

Jika pertumbuhan UMKM tersendat, tentu saja produk-produknya akan sulit untuk masuk pasar dan juga memiliki kesempatan yang sedikit untuk meramaikan pasar e-commerce. Oleh karenanya penting untuk diperhatikan dan memastikan status data transaksi digital yang berseliweran di Indonesia, dimana nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 saja mencapai angka Rp130 triliun. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah masyarakat Indonesia dalam transaksi tersebut berstatus sebagai konsumen atau produsen? Atau berperan sebagai reseller dari produk-produk luar negeri? Jika 50 persen saja status transaksi sebagai penjual, tentu ini akan sangat baik dampaknya terhadap perekonomian, tetapi jika hanya sebagai konsumen, maka makna disruptive dalam konteks karakter perusak ekonomi yang disebutkan oleh Reynald Kasali memang menjadi bahan pemikiran kita untuk melakukan revolusi mental untuk menciptakan produk-produk yang inovatif agar mampu bersaing dengan produk-produk global yang selama ini mendominasi pasar melalui transaksi digital.

Diperlukan sikap tegas untuk menopang dan menjamin berputarnya gerigi ekonomi melalui penguatan sistem produksi dan pembinaan kemampuan digital para pegiat ekonomi mikro, kecil dan menengah, dan pemerintah juga harus berani menginterupsi kegiatan impor jika terindikasi merusak aktifitas ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah dalam negeri.

Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Kamis, 14 September 2017. E-papernya dapat dibaca di link Memasuki Ekonomi Digital.

Baca juga :

Sep 042017
 

ekonomidigitalMaraknya pertumbuhan bisnis ritel dan mini market akhir-akhir ini selain memudahkan konsumen dari segi akses lokasi, juga dimanjakan dengan harga yang terjangkau, tempat yang nyaman dan ketersediaan barang yang lebih lengkap sehingga menjadi one stop shoping yang sangat memadai bagi masyarakat, hal ini tentu akan sangat membantu memudahkan segala aktifitas rumah tangga. Konsep bauran pemasaran yang diracik oleh bisnis ritel berjejaring ini tumbuh bak jamur di musim hujan bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa di seluruh indonesia. Di sisi lain, kehadiran ritel berjejaring tak dapat dipungkiri mampu menggerus keberadaan pedagang-pedagang tradisional yang tidak memiliki kemampuan manajemen dan tidak mungkin menerapkan bauran pemasaran karena tidak memiliki modal yang cukup.

Beberapa daerah melalui kebijakan pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah memberikan batasan-batasan tertentu bagi pelaku bisnis ritel berjejaring yang masuk dengan syarat yang ketat demi menjaga keseimbangan antara pegiat ekonomi modern dan tradisional sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya gesekan sosial di lingkungan masyarkat. Namun masih banyak daerah-daerah yang sama sekali tidak menerbitkan Perda berkaitan dengan keberadaan bisnis ritel berjejaring ini. Abainya beberapa daerah kabupaten dan provinsi terhadap peraturan daerah berkaitan dengan keberadaan toko modern ritel berjejaring ini berdampak terhadap kesenjangan ekonomi suatu daerah karena umumnya ritel berjejaring menguasai seluruh rantai ekonomi mulai dari hilir hingga ke hulu. Potensi tersedotnya uang di desa-desa mengalir ke kota dan bertumpuk pada sekelompok orang sangat besar kemungkinannya. Jika kita perhatikan barang-barang yang dipajang di outlet-outlet ritel berjejaring, nyaris seluruhnya didatangkan dari luar daerah, karena sampai saat ini belum terlihat adanya kemitraan strategis antara masyarakat dengan bisnis ritel modern ini sehingga tidak menampung produk-produk lokal sebagai salah satu barang yang dipajang di rak belanja mereka. Inilah sebenarnya alasan mengapa diperlukan campur tangan pemerintah yang mengatur teknis kemitraan antara bisnis ritel sebagi penjual dengan masyarakat secara individu atau kelompok binaan sebagai supplier.

Era tumbuh kembang toko modern dengan sistem ritel berjejaring walau masih terasa di beberapa tempat, tetapi secara nasional sejak awal 2015 mulai menemui masalah yang serius, tiba-tiba masuk ke area decline di usia yang belum begitu tua. Sebut saja misalnya gerai 7-Eleven (Sevel) yang memiliki 187 gerai pada tahun 2015 menyusut menjadi 166 gerai pada tahun 2016. Namun pada 30 Juni 2017 lalu, PT Modern Internasional Tbk telah mengumumkan penutupan semua gerai 7-Eleven (Sevel) di seluruh Indonesia. Demikian juga PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) pemilik minimarket Indomaret yang mencatat kinerja kurang memuaskan. Melansir bahwa sepanjang semester I-2017 perseroan hanya mampu membukukan laba bersih Rp 30,5 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, Indoritel Makmur Internasional mampu membukukan laba bersih Rp 105,5 miliar. Itu artinya laba bersih perseroan merosot 71,03%.

Selain Sevel dan Indomart, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) juga bernasib tak jauh berbeda. perusahaan pengelola Alfamart ini sepanjang semester I-2017 hanya mampu mengantongi laba bersih sebesar Rp 75,5 miliar. Angka itu turun 16,38% dibanding laba bersih pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 90,37 miliar.

Secara umum, fenomena lesunya pasar dan perlambatan ekonomi yang oleh sebagian pengamat mengatakan bahwa ini gejala bahkan sudah masuk kategori krisis yang ditandai turunnya daya beli masyarakat, dibantah oleh Reynald Kasali dengan mengatakan bahwa fenomena ini bukanlah disebabkan turunnya daya beli masyarkat, tetapi karena terjadinya shifting dan disruption. Secara umum Kasali menjelaskan, “Era sudden shift. Sebab pada era baru ini telah terjadi pemenggalan tren dan kita harus menangani masa depan dengan intuisi baru. Ceritanya begini. Produk- produk tradisional seberapa pun laku dan modernnya, kelak akan digantikan dengan produk-produk yang lebih baru atau cara model bisnisnya berbeda, lebih mudah dicapai, efisien, mampu mengolah data besar, dan seterusnya.”

Pergeseran (shifting) cara konsumen memperoleh barang yang selama ini dilakukan secara konvensional berganti dengan cara yang modern melalui dunia maya. Pasar yang jenuh juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran. Produsen barang dan jasa yang berada sangat jauh sekalipun dari aspek geografis saat ini menjadi penyegar bagi pasar jenuh. Mereka menawarkan kemudahan bertransaksi melalui teknologi canggih dengan menyediakan barang-barang yang berkualitas dan lebih lengkap, cukup menjaga kepercayaan saja, maka netizen yang menjadi konsumen akan ketagihan berbelanja online. Cara-cara konvensional tidak lagi menarik bagi konsumen, apalagi segmen millenial, sudah sangat melekat dengan gadget dan memanfaatkannya untuk aktifitas dan transaksi apa saja. Pergeseran ini bisa jadi persis seperti terjadinya pergeseran pembeli pasar tradisional yang kumuh, jorok dan tidak beraturan kepada pasar modern seperti supermarket, hypermarket atau mall-mall yang menampilkan suasana nyaman dan berkelas.

Teknologi menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan bisnis. Di satu sisi akan sangat membantu memperbaiki dan meningkatkan mutu produk, tapi di sisi lain menjadi perusak bagi produk-produk lama yang enggan berubah. Reynald Kasali mengingatkan, “begitulah teknologi memang mempunyai karakter perusak, istilahnya disruptive. Ia membunuh yang lama, menggantinya dengan yang baru, yang lebih cepat, dan efisien.”

Jika analisis mengenai lesunya perekonomian disebabkan oleh shifting dan disruption, maka perlu studi lebih lanjut, seberapa besar persentase pergeseran tersebut terjadi, apakah barang-barang yang dibeli konsumen tersebut seluruhnya atau sebagian besar memang datang dari produsen baru sama sekali atau sebenarnya produsen-produsen konvensional selama ini juga sudah masuk aktifitas jaringan bisnis modern yang melakukan transaksi dunia maya yang lazim disebut dengan e-commerce.

Kemudian, pertanyaan penting lainnya, benarkah sikap pemerintah yang jelas-jelas menyatakan bahwa lesunya perekonomian disebabkan oleh daya beli masyarakat menurun? Atau arus transaksi dunia maya menyebabkan pemerintah tak mampu mendeteksi aliran jual beli barang sehingga tidak “tertangkap” sebagai barang yang kena pajak, dan angka-angka di badan pusat statistik juga tidak bisa menghimpun data aliran barang tersebut?

Barangkali, ada tangan-tangan yang tak nampak (invisible hand) yang melakukan “intervensi” pasar. Tapi, untuk saat ini, menurut banyak pakar, yang perlu dilakukan untuk menghadapi situasi ini adalah inovasi. Tanpa inovasi dapat dipastikan produsen-produesn pemalas akan angkat kaki.

Lain Kasali, lain lagi pendapat salah seorang tim riset Ekonomi dan Keuangan INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, “Setelah ditelusuri dan dicocokkan dengan berbagai data, kehadiran e-commerce dan generasi milenial tidak bisa menggambarkan kondisi ekonomi secara nasional.”

Bhima melanjutkan, Porsi e-commerce terhadap total ritel nasional masih dibawah 1 persen. Ini artinya teori shifting dari toko konvensional ke online tidak bisa disalahkan sebagai penyebab penurunan penjualan ritel secara nasional.

Meskipun ada fakta omset salah satu perusahaan e-commerce selama Lebaran naik hingga 200 persen, dan sebuah perusahaan logistik dikabarkan merekrut 500 karyawan baru, hal itu tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas kondisi yang terjadi.  Faktanya daya beli masyarakat memang menurun tajam sejak 3 tahun lalu. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga berdasarkan data triwulanan BPS terus melambat yakni dari 5,15 persen di 2014 menjadi 4,93 persen di tahun 2017.

Bagi negara dengan 57 persen kue ekonomi yang dibentuk dari konsumsi, tentu tren penurunan tersebut berimbas pada banyak sektor. Otomatis sektor ritel yang menjual consumer goods pasti menurun. Indikator kedua kelesuan daya beli juga bisa ditelusuri dari rendahnya inflasi selama 2 tahun terakhir.  Klaim Pemerintah bahwa inflasi terkendali pun menimbulkan tanda tanya.

Ini zamannya ECONOMI DIGITAL broo…!!!

Don Tapscott mengemukakan dua belas karakteristik penting dari ekonomi digital yang harus diketahui dan dipahami, yaitu: Knowledge, Digitazion, Virtualization, Molecularization, Internetworking, Disintermediation, Convergence, Innoavation, Prosumption, Immediacy, Globlization, dan Discordance (Tapscott, 1996).

Baca juga :