Akhir-akhir ini, warga kota Subulussalam, salah satu kota yang terletak pada bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Lawe Alas (Kabupaten Aceh Tenggara) dan Kabupaten Dairi (Sumatra Utara), bertetangga dengan Kabupaten Aceh Singkil di bagian Selatan sedang heboh atas rencana pemerintah kota membangun patung dampeng dalam bentuk tiga dimensi yang akan diletakkan di simpang jalan Malkusshaleh Kecamatan Simpang Kiri. Bahkan sudah disahkan anggarannya dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) Subulussalam tahun 2017 senilai Rp1,9 miliar melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Subulussalam.
Dampeng merupakan seni tari yang berasal dari Kampong Laemate (Air Mati). Kampung Laemate termasuk salah satu kampung yang mempunyai sejarah panjang di area Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Kota Subulussalam yang bersambung hingga ke Aceh Singkil.
Heboh penolakan terhadap ‘proyek’ patung ini memiliki banyak dimensi, setidaknya, beberapa alasan masyarakat menolak adalah karena (1) tidak sesuai syariat, (2) bertentangan dengan adat istiadat, (3) pemborosan dana dengan keadaan ekonomi Subulussalam kurang baik, (4) masih tingginya angka kemiskinan, dan (5) tingginya angka pengangguran. Barangkali jika diinventaris lebih dalam akan ada beberapa hal lagi yang dapat dijadikan alasan penolakan tersebut.
Terlepas dari hiruk pikuk kepentingan pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan patung tersebut, sejatinya pihak pemerintah dan masyarakat Subulussalam haruslah berfokus pada visi pembangunan Subulussalam sebagai kota yang masih berusia muda dan membutuhkan jaminan ‘nutrisi’ yang baik untuk tumbuh kembang sebagai kota lintas yang strategis. Sangat disayangkan, jika setiap momen pilkada akan tiba, selalu ada issue-issue yang dapat memanaskan suasana masyarakat mengarah pada perpecahan dari kondisi yang selama ini sudah nyaman.
Mengamati perkembangan Subulussalam, secara fisik terlihat terus bangkit, tetapi data-data yang mengkonfirmasi kondisi perekonomian Subulussalam belum bisa dikatakan menggembirakan. Menurut data BPS 2016, tingkat kemiskinan kota Subulussalam tahun 2015 masih tergolong tinggi mencapai 15ribu jiwa atau 20% dari 75ribu jumlah penduduk kota Subulussalam, hanya berbeda 2% di atas Aceh Singkil yang bertengger di posisi kedua daerah termiskin di Aceh. Sedangkan tingkat pengangguran di kota Subulussalam kecenderungannya juga meningkat sejak 2012 berada pada angka 8,25% meningkat pada tahun 2013 pada angka 9,85%. Artinya laju perumbuhan pengangguran mencapai 1,6% setiap tahunnya. Angka pertumbuhan pengangguran dan kemiskinan ini justeru saling kejar-mengejar dengan tingkat perutumbuhan penduduk yang setiap tahun mencapai rata-rata 2,41%. Ini artinya bahwa pemerintah belum dapat menjalankan program pembangunan ekonomi masyarakat kota Subulussalam.
Berkaitan dengan rencana pembangunan patung dampeng, maka ada beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan; pertama, patut kita apresiasi niat pemkot membangun patung untuk menarik perhatian masyarakat agar kota Subulussalam lebih dukenal dan terasa hidup dari kunjungan orang-orang yang datang dan berselfie-ria di lokasi patung tersebut. Tetapi, kita tidak tahu detil, apakah ada dilakukan analisis untuk mengetahui seberapa besar dampak ekonominya terhadap masyarakat kota Subulussalam? Kedua, Manakah lebih besar dampak ekonominya jika dana tersebut di-re-alokasi untuk pembangunan jembatan penyeberangan di desa Dah yang hingga saat ini belum diselesaikan? Atau untuk membangun museum ataupun sanggar seni yang benar-benar menghidupkan seni tari dampeng sebagai tradisi dan budaya seni kota Subulussalam? Atau lebih memfokuskan pada pembinaan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pertanian dan perkebunan? Atau barangkali dapat membantu meningkatkan kualitas syariat, adat istiadat, ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan, dan pengangguran? Atau begitu urgen-kah patung tari dampeng untuk dibangun pada saat kondisi masyarakat seperti saat ini?
Tanpa bermaksud menggurui, barangkali perlu saling mengingatkan bahwa, apapun bentuk aktifitas pembangunan yang dilakukan pemerintah, orientasinya hanya bermuara kepada satu hal, yaitu meningkat kesejahteraan masyarakat yang di dalamnya setidaknya terdiri dari tiga unsur; yakni, pemerintah, pihak pengembang, dan masyarakat.
Pertama, Pemerintah sebagai eksekutif baik dalam perpektif kelembagaan maupun individu yang diberi amanah memerintah. Bahwa pembangunan merupakan program yang harus dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan janjinya pada saat pilkada. Keuntungannya kepada individu adalah bahwa orang-orang yang diamanahkan dalam pemerintahan akan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat jika kemanfaatannya benar-benar menyentuh masyarakatnya.
Kedua, aktifitas pembangunan memang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan orang-orang yang berada di sekeliling eksekutif yang membantunya memperoleh tempat sebagai pemegang mandat eksekutif. Maka mereka niscaya dimasukkan dalam lingkaran aktifitas yang membantu jalannya pembangunan melalui pengalokasian pekerjaan.
Ketiga, masyarakat sebagai pemegang saham terbesar sebuah pemerintahan yang selalu menunggu realisasi dari program-program yang dijanjikan pada saat mereka butuh suara di hari pilkada. Artinya bahwa setiap pembangunan sarana dan prasarana selalu melibatkan dan memikirkan nilai dan manfaatnya bagi peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat sebagai mesin ekonomi sektor riil.
Ketiga unsur ini sebenarnya dapat disinergikan dalam sebuah program yang menyentuh seluruh unsur tersebut, sehingga terlepas dari aroma kepentingan sesaat yang hanya dapat dinikmati oleh salah satu atau dua kelompok saja dan mengabaikan kelompok lain. Konkritnya, pembangunan yang dijalankan harus selalu menguntungkan ketiga stakeholder ini, yaitu; pemerintah (baik secara kelembagaan maupun individu yang ada di dalamnya), pelaku usaha, kontraktor, konsultan, dan pengembang, sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana pekerjaan dan membantu menurunkan tingkat pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja. Dan masyarakat yang juga harus memperoleh manfaat ekonomi dari semua kegiatan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Jika prinsip pembangunan ini menjadi landasan dasar dalam setiap kegiatan pembangunan, maka dapat diapstikan bahwa ekonomi daerah akan ikut bergerak, angka-angka indikator ekonomi daerah akan terus membaik.
Penolakan masyarakat terhadap pembangunan patung tari dampeng ini tidak harus direspon dengan issue-issue keyakinan beragama dalam lingkungan masyarakat, karena dipandang dari perspektif kemanfaatan dan keuntungan material pun sebenarnya pembangunan ini dapat ditunda terlebih dahulu atau ditiadakan pun tidak akan menjadi persoalan. Persoalan ini hanyalah persaoalan dimana masyarakat kota Subulussalam secara umum masih berada pada anak tangga pertama dan paling dasar yang dikategorikan oleh Maslow sebagai kebutuhan fisiologis (physiological). Sebagian berada pada tingkat kebutuhan rasa aman (safety), dan sebagian lagi ada yang berada pada anak tangga kasih sayang ( love). Pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk hal-hal yang lebih mendasar ini sebaiknya menjadi pertimbangan prioritas dalam melakukan pembangunan daerah.
Membangkitkan girah seni tari dampeng sebagai khazanah budaya lokal adalah upaya yang positif, tetap membangun patung dampeng belum memiliki argumentasi yang mencukupi untuk saat ini baik dari sisi sosial masyarakat maupun aspek ekonomi kota Subulussalam.
Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Sabtu, 27 Mei 2017. Versi online-nya dapat diakses di Opini Harian Waspada
Baca juga :