Mengamati trend batu akik saat ini mengingatkan kita pada masa-masaoh hebohnya beberapa jenis bunga di tanah air. Kira-kira kurun waktu tahun 2006 hingga 2008, entah dari mana bermula, sebatang Anthurium jenis Jenwave Black Buise ditawarkan oleh sebuah nusrsery dengan harga 250juta (Dua ratus lima puluh juta rupiah), seharga rumah mewah saat itu. Saya bahkan belum melihat bagaimana bentuk bunganya, tapi daun bunga ini hijau seperti daun-daun bunga lainnya, bentuknya mirip daun mangga, tetapi lebih besar.
Ada yang lebih gila lagi, di tempat lain pemilik Anthurium Jenmanii menawarkan bunganya seharga Rp. 1,2 Milyar, membuat kita tak habis fikir. Saya sering merenung dan bertanya, berapa lama kah tanaman tersebut hidup, apakah bunganya memang sedemikian indah? Atau apakah hanya karena bunga tersebut berasal dari belanara Amazone di Amerika sana? Atau karena tanaman ini jenis tumbuhan yang berumah satu dimana setiap satu bunga terdapat dua jenis kelamin, jantan dan betina? tapi yang jelas, kemunculan tanaman hias dengan harga melebihi intan berlian ini redup dan menghilang sering datangnya musin Euphorbia, begitupun, Euphorbia juga ‘layu’.
Kembali ke batu akik, seumur hidup saya, baru kali ini saya merasakan puncak heboh batu akik pasca terjualnya Giok Aceh kepada warga Canada seharga 2,5 milyar, itu angka yang sangat fantastik. Musim batu akik ini sedikit tidaknya membuat banyak masyarakat terbelalak dan ikut mengambil peran sebagai pebisnis dadakan. Bagaimana tidak harga batu mulia ini yang semula pernah ditawarkan ke saya di awal musimnya hanya 500ribu – 1,5 juta per kilo gram, saat ini harga dibuka mulai Rp. 20 – 25juta. Di luar angka psikologis bagi orang yang awam terhadap batu, tapi mungkin akan berbeda pandangan bagi orang yang memang hobi dan menghargai keindahan batu ajaib ini.
Ada fenomena yang saya rasakan mulai berbeda, antusiasme masyarakat untuk memiliki batu akik ini terlihat melemah karena harganya yang sudah di luar kendali, jika pasar sasarannya adalah masyarakat lokal, maka strategi pebisnis batu ini cenderung bunuh diri, tapi jika memang yang ditarget adalah pasar luar, mungkin masuk akal. Tapi melihat perilaku para pebisnis batu akik ini, sepertinya pasar sasarannya bias, belum terfokus, dan penetapan harga sangat terburu-buru, sehingga calon pembeli yang semula ingin membelli, menunda terlebih dahulu sambil melihat situasi permintaan pasar, jika permintaan melemah, dengan sendirinya harga akan turun, jika asumsi ini berlaku umum bagi calon pembeli, maka pebisni batu akik akan merasa terpukul karena ekspektasi dan prediksi mereka terlalu tinggi dengan mematok harga tinggi. Mestinya, jika memang harga yang lebih murah atau sedang saja banyak yang ingin membeli, sebaiknya dilepas saat itu juga, jangan menunggu terlalu lama, disamping jeda waktu menunggu tersebut akan dapat menyatukan persepsi calon pembeli yang tiba-tiba kompak menunggu harga turun, penundaan jual tersebut juga akan berdampak pada perlambatan perputaran uang, secara ekonomis, rugi.
Dua benda unik yang saya munculkan di atas memiliki kesamaan trend, dimana masa jayanya sangat singkat. Dalam kasus tanaman hias, juga terjadi hal yang sama, beberapa kerabat saya yang memiliki bunga Anthurium jenis yang mahal, pernah ditawar pembeli Rp. 50juta per batang, tetapi dia tidak mau menjualnya, dan hanya akan melepasnya jika ada pembeli yang mau membayar Rp. 75juta. Akhirnya memang bunga tersebut tak terjual hingga sekarang, dia pun menyesal, karena sekarang, jangankan 50juta, 500ribu pun ditawarkan, orang sudah tak mau membeli.
Saya meyakini bahwa kondisi ini disadari oleh pebisnis batu akik saat ini, tetapi, mereka tetap berspekulasi dengan harga tinggi. Untuk menutupi celah waktu yang dapat memberi peluang calon pembeli berfikir serempak untuk membeli pada saat harga turun, maka asosiasi pebisnis batu akik mengadakan ‘show of force’ pameran di beberapa provinsi seperti Jakarta, Medan, dan Aceh agar nilai tawar batu akik dapat ditingkatkan, paling tidak bertahan, dan memperoleh perpanjangan waktu di harga yang stabil. tapi yakinlah, ini tidak bertahan lama, karena selama ini memang tidak ada upaya sistematis dan terkonsep serta terorganisir untuk mengupayakan adanya komunitaa-komunitas baru penggemar batu akik. Mereka dari tahun ke tahun hanya itu itu saja, sehingga pasarnya stagnan dan tidak berkembang. Asosiasi penggemar batu akik pun hanya muncul pada saat booming yang tidak disetting dan tidak terorganisir dengan sistematis.
Saran, sebelum masa declining benar-benar tiba, sebaiknya pebisnis batu akik menstandarkan harga agar lebih terjangkau di berbagai kalangan dan pasarnya dapat lebih luas hingga mencapai ke semua lapisan masyarakat. Adapun kalangan berkelas, yang tidak ingin sama dengan masyarakat awam, dengan mereka dapat dilakukan komunikasi jalur khusus yang ekslusif dengan tetap menjaga identitas mereka sebagai pengguna kelas atas.
Selamat berbisnis…
Baca juga:
- Kualitas Asah Batu di Aceh
- Mengenal Tingkatan Kualitas Batu Akik
- Sertifikasi Batu Akik
- Batu Mulia Aceh Naik Daun, Siapa Untung?