Data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2015 mencatat bahwa penduduk mancanegara yang berkunjung ke Indonesia (wisatawan mancanegara dalam arti luas) mencapai 10,41 juta kunjungan, dengan rincian 9,73 juta kunjungan wisatawan mancanegara reguler, 370.869 kunjungan warga negara asing (WNA) yang memasuki wilayah Indonesia melalui Pos Lintas Batas (PLB), serta 306.540 merupakan kunjungan singkat WNA atau kunjungan khusus lainnya.
Data kunjungan ini masih sulit diidentifikasi karena pencatatannya dilakukan secara umum, sehingga tidak dapat diketahui jenis kunjungan untuk kepentingan apa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Pengamat Pariwisata Ida Bagus Surakusuma, yang menyatakan bahwa pencatatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia masih dicampur penduduk mancanegara di pos lintas batas.
Walau demikian, setidaknya kita masih dapat mengetahui besaran devisa yang masuk atas kunjungan wisman tersebut. Di tahun 2015 jumlah kunjungan wisman sebanyak 10 juta; jumlah perjalanan wisnus 255 juta; kontribusi pariwisata terhadap PDB Nasional sebesar 4%; devisa yang dihasilkan sekitar Rp 155 triliun, dan lapangan kerja yang diciptakan sebanyak 11,3 juta ; angka indek daya saing naik signifikan 20 poin menjadi ranking 50 dari 141 negara. Dan ditahun 2016 ditargetkan mencapai 12juta kunjungan dengan proyeksi devisa 172 trilyun, kontribusi pariwisata naik menjadi 5%, hanya 1% dari tahun sebelumnya. Ini tentu angka yang sangat pesimistis jika dilihat dari potensi wisata luar biasa yang dimiliki Indonesia. Salah satu kelemahan yang terlhat dari rasa pesimis ini disebabkan karena tidak adanya data statistik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bentuk, jenis dan ragam wisata yang berlangsung di Indonesia, sehingga dalam kampanye pariwisata tidak menyentuh pada sasaran yang benar-benar memiliki potensi belanja wisata yang optimal sesuai segmentasi pasar yang ada. Jenis pariwisata saat ini semakin beragam dan memiliki pasar yang semakin tersegmentasi. Salah satu pasar wisata global yang memiliki potensi belanja yang besar adalah wisata halal.
Dalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.
Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu; (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63, Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.
Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.
Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.
Sebut saja misalnya negara-negara yang bukan berpenduduk muslim, seperti Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura, telah mensosialisasikan diri sebagai pusat keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank syariah adalah non-Muslim.
Potensi Bisnis
Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat non-muslim.
Selain fenomena pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia, dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.
Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan Perda yang ditengarai berbau syariah di beberapa daerah selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Faktanya memang segmentasi pasar syariah tumbuh sangat pesat sehingga permintaan terhadap produk-produk halal otomatis semakin meningkat. Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda berbau syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang lahir dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.
Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3.000 trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia. Belum lagi untuk belanja muslim di luar dua kawasan tersebut sebagaimana data pertumbuhan ummat Islam dunia di atas.
Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Indonesia, sebaliknya, Indonesia juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.
Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah adalah; (1) membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. (2) Memperkenalkan potensi wisata Indonesia sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Indonesia dengan seluruh cakupan wilayahnya sangat indah yang juga dihuni oleh warga yang ramah. (3) Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke tempat-tempat destinasi wisata di seluruh Indonesia dengan perasaan aman dan nyaman. (4) tidak terjebak pada perangkap isu-isu islamofobia yang kecenderungannya dalam perspektif bisnis ingin mengalihkan potensi pasar syariah ke negara-negara lain yang.
Sangat disayangkan, jika Indonesia tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat dalam perspektif bisnis syariah. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global. Issu-issu islmaofobia yang dihembuskan, mestinya kita tengarai sebagai upaya untuk meruntuhkan percaya diri masyarakat bisnis Indonesia yang ingin bergelut dalam bisnis halal, karena kenyataan yang kita lihat saat ini, produk-produk halal (syariah) diproduksi oleh negara-negara lain yang penduduknya bukan mayoritas muslim. Jadi, tidak perlu “inferior” dengan label halal atau syariah, karena inferioritas yang tertanam dalam diri masyarakat Indonesia justeru dimanfaatkan oleh negara lain untuk memperkuat superior mereka dalam konteks bisnis halal/syariah.
Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan. Epaper Waspada dapat diakses melalui link Waspada
Baca juga