Jan 292017
 

Kontrol KekuasaanJika tidak ada aral melintang, pada hari rabu, 15 Februari 2017, sebanyak 101 daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak. Pesta politik lima tahunan yang paling banyak menguras energi seluruh komponen masyarakat, mulai lapisan bawah hingga ke tingkat pusat pemerintahan. Mulai dari energi psikologi, badan dan materi semua akan terlibat.

Dari 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada tersebut terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Aceh termasuk salah satu provinsi yang turut serta dalam pesta demokrasi yang cukup bergengsi ini bersama sama dengan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Untuk diketahui, bahwa Aceh adalah daerah yang paling banyak menggelar pilkada pada tahun 2017; satu pemilihan gubernur dan 20 untuk pemilihan bupati dan walikota. Selain yang terbanyak, Aceh masih memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, yakni keberadaan partai lokal. Hal ini tentu akan memberikan warna politik yang berbeda dan semarak.

Sejak genderang pilkada ditabuh pada 3 Agustus 2016 yang lalu, maka sejak itu pula pintu gerbang tahapan pilkada dimulai. Terlalu bising aliran informasi yang keluar masuk dari seluruh media yang berlomba-lomba menyajikan berita, memancing masyarakat berspekulasi, berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi menciptakan opini masing-masing terhadap pasangan calon yang diduga atau dipastikan maju. Perang kata-kata sudah menjadi biasa di dunia maya, mulai dari yang santun hingga yang tak beretika semua ada. Bahkan para timses tidak segan-segan menggunakan berbagai cara membantu mendongkrak citra paslon dukungannya, termasuk “tega” memperkosa google sebagaimana yang sedang menjadi trending topic para netizen saat ini untuk pilkada DKI jakarta.

Esensi demokrasi

Hiruk pikuk pilkada nyaris membuat masyarakat bahkan para pasangan calon lupa terhadap esensi demokrasi yang digelar melalui pilkada ini. Perilaku politik di negeri kita cenderung memberikan warna berbeda, mendefinisikan demokrasi sebagai ajang kompetisi an sich, yang digunakan untuk memperebutkan jabatan politik, setidaknya fenomena ini sangat jelas terlihat untuk even-even pilkada dari periode ke periode. Bahkan untuk pemilihan umum presiden pun kita masih merasakan aroma perebutan jabatan politik yang bukan merupakan esensi dari demokrasi.

Esensi demokrasi adalah kesejahteraan (setidaknya bagi demokrasi di Indonesia), namun yang kita saksikan dalam setiap pilkada, kesejahteraan baru sebatas slogan yang hanya muncul saat kampanye berlangsung karena pada saat itu merupakan momen dimana opini media begitu masif menyuguhkan informasi politik yang tidak menyisakan waktu kepada masyarakat untuk memilih berita lain. Dan pada saat yang sama tingkat emosional masyarakat sedang dalam klimaks yang luar biasa dan harus menentukan sikapnya agar dapat berpartisipasi dalam argumen-argumen politik di lingkungan masing-masing. Akibatnya kita semua terjebak dalam proses-proses demokratisasi yang kita definisikan sebagai demokrasi itu sendiri, padahal sebenarnya kita sedang mendefinisi ulang demokrasi secara liar menjadi perebutan kekuasaan. Inilah definisi yang sangat mainstream di tengah-tengah masyarakat saat ini.

Berebut Kekuasaan

Bagaimana dengan kesejahteraan? Ya, memang tetap dituntut oleh masyarakat saat pasangan calon terpilih menjadi pimpinan daerah. Tapi bukan rahasia lagi, walaupun hanya sebatas candaan, adagium yang menyatakan perbedaan pilkada dan pil-KB; “Pilkada, kalau jadi dia lupa, sedangkan pil-KB, kalau lupa dia jadi”, memang menjadi hipotesa. Dengan telah melewati banyak pilkada, hipotesa ini sudah bisa dibuktikan dan menjadi tesis. Mengapa bisa demikian? Karena para kontestan pilkada barangkali belum memiliki kapasitas untuk memimpin daerah dalam artian visi dan misinya tidak dipersiapkan untuk mendorong kesejahteraan, tetapi ingin berkompetisi memperebutkan kekuasaan, padahal ini baru merupakan salah satu dari proses-proses demokrasi yang harus dilalui. Celakanya, kebanyakan berhenti pada tahapan ini. Kalaupun ada upaya-upaya untuk mendorong kesejahteraan, maka sulit sekali kesejahteraan tersebut terdistribusi untuk masyarakat luas, tetapi untuk kalangan “terbatas” jelas. Kondisi ini persis seperti bunyi teori John Rawls.

John Rawls dalam Caporaso & Levine (2015) mengajukan sebuah pendekatan berbasis keadilan yang dia sebut sebagai pendekatan Kontraktarian Modern, dimana Rawls mengatakan bahwa semua nilai sosial-kebebasan dan peluang, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar dari martabat individu (self respect)- harus didistribusikan secara merata (equally) kecuali jika distribusi yang tidak merata terhadap sebagian atau semua dari nilai-nilai ini bisa menguntungkan semua orang.

Teori Rawls ini tentu saja beraroma ekonomi politik karena memang Rawls dalam hal ini sedang membahas hubungan ekonomi dan politik. Dalam realitas dunia politik saat ini, memang kalimat terakhir dari pernyataan Rawls sangat relevan. Artinya, proses-proses demokrasi yang diselenggarakan melalui pilkada selama ini lebih cenderung kepada perebutan kekuasaan untuk mengontrol kesejahteraan individu dan kelompok-kelompok tertentu. Rawls membenarkan penguasaan harta yang bertumpuk pada sekelompok orang dengan syarat dapat menguntungkan semua orang, pernyataan yang terbalik dengan logika keadilan yang selama ini dipahami orang.

Berkaitan dengan teori Rawls ini, dapat kita duga bahwa para calon pemimpin barangkali awalnya berniat mengontrol kekuasaan, kemudian menguasai sumber-sumber ekonomi dan mendistribusikannya kepada kolega untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Tetapi pasca terpilih hanya ada satu penggal teori tersebut yang dapat direalisasikan, yaitu penguasaan harta oleh sekelompok orang. Adapun syarat agar menguntungkan semua orang- dalam hal ini rakyat- maka dapat kita lihat dari kondisi sulitnya ekonomi masyarakat selama ini atau dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi serta indikator-indikator kesejahteraan yang dirilis secara resmi oleh badan pusat statistik.

Lantas siapa pihak yang harus kita mitntai tanggungjawab untuk meluruskan pola pikir para calon pemimpin daerah agar orientasi berebut kekuasaan dapat dibelokkan menjadi kesejahteraan? Secara umum kita semua bertanggungjawab melakukan pendidkan politik melalui berbagai media dan institusi pendidikan politik, tetapi karena proses-proses demokratisasi di Indonesia telah melahirkan desentralisasi kekuasaan dengan hadirnya instutusi-institusi politik formal, maka tidak berlebihan jika pekerjaan ini diarahkan menjadi domain-nya partai politik, sesuai definisi partai politik menurut UU No.2 Tahun 2008, yaitu untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Peran Partai Politik

Partai politik yang sejatinya memiliki tanggungjawab moral terhadap pembinaan dan edukasi politik bagi masyarakat dan anggotanya tidak jarang mengusung calon-calon yang lebih populer dari perspektif pencitraan dan mengabaikan kapasitas calon yang benar-benar memiliki visi membangun daerah. Bukan tidak boleh, tetapi alangkah lebih baiknya ada proses pendidikan politik dan kepemimpinan yang memang dipersiapkan sejak dini sehingga calon yang dipersiapkan memang benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Tetapi seperti yang kita saksikan, kecenderungan partai politik memang lebih memilih calon-calon yang populer karena pencitraan, dan ini tentu saja tidak salah karena memang masyarakat kita masih terpukau dengan pencitraan, terdapat titik ekuilibrium atas “permintaan” masyarakat dan “penawaran” yang diajukan oleh partai politik.

Jika partai politik tidak menjalankan fungsi-fungsinya sebagai institusi pendidikan politik, dikhawatirkan menjadi energi yang akan turut serta mempersempit definisi demokrasi pada ruang lingkup perebutan kekuasaan karena keputusan untuk menentukan figur-figur yang diusung didasari oleh tingginya elektabilitas di mata publik yang diperoleh dari tingginya popularitas akibat serangan masif iklan-iklan pencitraan. Setelah kekuasaan dicapai, para pejabat yang berkuasa nyaris tak mampu menampilkan diri sebagai sosok yang dapat menarik benang merah antara demokrasi dan kesejahteraan, terputus pada pencapaian kekuasaan dan terlelap dalam comfort zone. Padahal mestinya selain berkompetisi memperebutkan kekuasaan, pemimpin yang terpilih harus dapat dipastikan bahwa mereka memiliki kemampuan memahami persoalan, mengidentifikasi, menganalisis, dan membuat keputusan hingga memiliki keberanian mengeksekui program-program kesejahteraan bagi masyarakat yang menjadi inti dari perebutan kekuasaan yang dimenangkan.

Baca juga :