Tahun 2012 lalu, Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) menerbitkan piagam penghargaan untuk lembaga pemrakarsa program kurban di seribu lokasi secara serempak di seluruh Indonesia kepada Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU). Dengan mengusung tagline Kurban pak Kumis (Perkampungan Kumuh dan Miskin) Lazismu mampu menyelenggarakan penyembelihan 85.000 (Delapan Puluh limaribu) ekor hewan qurban di berbagai lokasi dan masjid di seluruh Indonesia dalam waktu yang serentak (di hari yang sama) setelah pelaksanaan shalat idhul adha.
Fenomena qurban ini menarik untuk diperhatikan mengingat potensi dana yang dialirkan dari kegiatan qurban ini mulai dari hulu hingga ke hilir sangat besar dan dapat dijadikan salah satu mata rantai gerigi ekonomi masyarakat petani, peternak, dan pedagang hewan qurban. Bisa kita bayangkan, untuk satu lembaga seperti Lazismu saja bisa menghimpun dana qurban sebesar Rp. 212 milyar, bahkan menurut sumber dari Lazismu angka ini bukan merupakan angka maksimal karena tidak seluruhnya data dapat terhimpun pada saat pelaporan diterbitkan. Konon lagi, jika kita menghimpun data sembelihan hewan qurban lembaga-lembaga lain yang melakukan kegiatan ibadah qurban serupa, atau lokasi-lokasi masjid di komplek-komplek perumahan dan komunitas dalam lingkungan masyarakat, mungkin kita akan tercengang melihatnya.
Mengapa ini perlu didiskusikan? Selama ini ummat Islam menyelenggarakan ibadah qurban pada tanggal 10 dzulhijjah sewajarnya karena merupakan ibadah yang sangat dianjurkan (muakkad) dan sudah menjadi rutinitas dan biasa. Secara spiritualitas ianya merupakan ibadah yang akan memperoleh pahala, sedangkan secara fisik kita lihat puncak kegembiraan masyarakat karena adanya kegiatan penyembelihan dan bagi-bagi daging qurban. Sisi lain yang barangkali jarang terfikirkan adalah qurban dari sudut pandang ekonomi karena potensi aliran dana dari kegiatan qurban ini tergolong besar dan fantastik. Karena jarangnya pembahasan secara ekonomi ini pula hingga saat ini kita belum dapat memaksimalkan potensi ekonomi dalam kegiatan qurban menjadi sebuah sharing economic yang dahsyat guna membantu income generating masyarakat petani dan peternak, sekaligus pedagang, bahkan lebih jauh dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Potensi Qurban Aceh dan Sumut
Menurut Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan (Diskeswannak) Aceh, pada tahun 2015 stok hewan kurban di Aceh mencapai 37.053 ekor, jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2014 yang berjumlah 25.798 ekor, atau 69,62 persen. Walau belum ada data yang valid tentang realisasi jumlah hewan qurban yang disembelih, setidaknya, peningkatan jumlah persediaan dari tahun 2014 ke 2015 tersebut dapat ditengarai sebagai indikasi bahwa jumlah hewan qurban 25.798 ekor pada tahun sebelumya tidak mencukupi di tahun 2015, Tidak usah menggunakan 69,62 persen, kita asumsikan saja terjadi peningkatan di tahun 2016 sebesar 25% dari tahun 2015 dikarenakan semakin meningkatnya masyarakat ekonomi menengah ke atas dan tingginya kesadaran ummat Islam melaksanakan ibadah qurban sehingga jumlahnya menjadi lebih kurang 46.316 ekor. Demikian juga Sumatera Utara pada tahun 2015 stock qurban 35.864 ekor meningkat menjadi44.830 ekor dengan asumsi kenaikan yang sama. Maka prediksi total hewan qurban Aceh dan Sumut di tahun 2016 menjadi 91.146 ekor. Perhatikan angka ini, jauh di atas angka perolehan hewan qurban Lazismu yang dicatat dalam Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) pada tahun 2012 lalu.
Perlu diketahui, bahwa jumlah perolehan hewan qurban tersebut tidak seluruhnya dalam bentuk satu macam hewan qurban, tetapi terdiri dari kambing, domba, sapi, dan kerbau. Beberapa informasi wilayah yang penulis kumpulkan, komposisi dari empat macam hewan qurban tersebut jika dibagi dalam dua kategori Kambing/domba dan sapi/kerbau, maka rata-rata jumlah sapi/kerbau 35 persen dari jumlah total hewan qurban, selebihnya adalah kambing/domba sebesar 65 persen. Dengan demikian jika dihitung belanja kambing qurban rata-rata 2,5 juta per ekor akan diperoleh angka Rp. 102,5 milyar dan belanja sapi/kerbau dengan asumsi rata-rata 18 juta per ekor akan diperoleh angka sebesar Rp. 574,2 milyar, sehingga jumlah total belanja qurban Aceh dan Sumut mencapai Rp. 676,7 milyar. Angka yang mestinya sangat cukkup membantu menggerek perekonomian petani dan peternak kambing dan sapi di desa-desa.
Sharing economic
Di Indonesia istilah sharing economic sedang menjadi trending topic seiring hebohnya persoalan GoJek, Uber, GrabCar dan lain-lain yang menyangkut bisnis berbasis aplikasi. Sharing economic secara harfiah berarti ekonomi berbagi. Menurut Rhenald Kasali, sharing economic adalah sikap partisipasi dalam kegiatan ekonomi yang menciptakan value, kemandirian, dan kesejahteraan. Para pemain berpartisipasi dengan melakukan peran mereka masing-masing, sehingga akan terjadi yang namanya bagi hasil dari peran-peran yang dimainkan tersebut. Sharing economic atau Economi berbagi selain menghasilkan kesejahteraan, juga dapat menciptakan efisiensi karena keterlibatan teknologi yang menjadi alat dalam melakukan berbagai bentuk dan jenis transaksi serta memercepat dan mempermudah bertemunya konsumen dan produsen.
Ekonomi berbagi ala Rhenald Kasali merujuk pada alokasi peran dari setiap komponen yang terlibat dalam transaksi bisnis yang terdiri dari penyedia barang, penyedia jasa, konsumen dan peran teknologi sebagai alat penghubung semua komponen yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, setiap komponen akan memperoleh sharing economic sesuai kapasitas masing-masing. Kecenderungan memonopoli hulu ke hilir atau sebaliknya menjadi kecil kemungkinan terjadi karena dalam ekonomi berbagai orientasinya adalah mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang berbedauntuk terlibatke satu titik menjadi sebuah produk yang dapat dijual kepada konsumen baik dalam bentuk jasa atau barang.
Sharing Economic Qurban
Aktifitas qurban juga dapat dijadikan model ekonomi berbagi (sharing economic) jika dikelola dengan manajemen modern.Berdasarkan hitung-hitungan sederhana di atas, uang sebesar ini tentu saja bukan jumlah yang sedikit. Pertanyaannya adalah, selama ini kemana uang tersebut mengalir? Dengan harga dan permintaan hewan qurban yang terus meningkat setiap tahun, mengapa petani dan peternak tidak sejahtera, tatapi pedagang yang justeru menjadi toke?
Dalam praktik qurban konvensional, pequrban umumnya membeli dari pedagang, bukan dari petani atau peternak. Maka, yang menikmati keuntungan besar dari penyediaan hewan qurban hanya pedagang, bukan petani atau peternaknya. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, lembaga zakat, infaq dan sedekah (Lazis) atau instansi pemerintah terkait bisa mendobrak sistem dengan membangun aplikasi yang mempertemukan pequrban, petani/peternak dan lembaga keuangan secara langsung. Rantai distribusi menjadi lebih pendek. Petani atau peternak mendapat keuntungan yang wajar. Pequrban mendapat kambing dengan harga yang wajar. Begitulah ”sharing economy” qurban: mendistribusikan keuntungan kepada lebih banyak orang, yakni kepada para petani dan peternak di desa-desa. ”Sharing economy” qurban akan menciptakan multiple effect yang dahsyat di pedesaan, mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga mengerem laju urbanisasi masyarakat desa ke perkotaan karena alasan tidak ada pekerjaan.
Jika kita berandai-andai dengan asumsi setiap kabupaten di Aceh dan Sumut (56 Kabupaten/kota) memiliki 1 lokasi/desa sentra kambing, berarti setiap lokasi akan menerima penjualan sebesar Rp. 12 milyar. Kalau setiap penjualan memberikan keuntungan Rp. 500ribu per ekor, maka petani dan peternak setiap lokasi akan menerima keuntungan Rp. 1,2milyar. Dan jika hewan qurban tersebut dipelihara oleh kelompok tani/ ternak dengan jumlah anggota 10 kepala keluarga, maka setiap kepala keluarga akan memperoleh keuntungan Rp. 120,8 juta untuk masa pemeliharaan 2 tahun. Ini bermakna bahwa setiap kepala keluarga akan memperoleh penghasilan Rp. 5.035.423 per bulan dari hasil penjualan hewan qurban tersebut, perlu diingat, ini hanya untuk kebutuhan hewan qurban. Jauh di atas Upah Minimum Provinsi Aceh sebesar Rp. 2.118.500dan Sumut Rp. 1.811.875.
Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah yang mampu menjadi operator pemberdayaan ekonomi desa melalui program penyediaan hewan qurban ini? Diperlukan beberapa syarat untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, di antaranya adalah; diperlukan lembaga yang solid dengan manajemen mutakhir, memiliki sumber daya yang kuat, serta memiliki jaringan hingga ke arus bawah. Yang pasti, instansi pemerintah terkait sangat memungkinkan untuk melakukan koordinasi dan pengelolaan proses hulu dan hilir aktivitas ekonomi qurban ini karena memiliki legitimasi yang kuat dan organisasi yang tersruktur.
Sedangkan dari pihak di luar pemerintah, kelompok masyarakat juga dapat melakukan hal yang sama, terutama organisasi-organisasi yang memiliki sumber daya dan jaringan seperti Lazismu dan Lazisnu, atau Alwashliyah untuk wilayah Sumut.Lazismu sanggup menjadi operator pemberdayaan ekonomi desa melalui program penyediaan hewan qurban karena memiliki jaringan organisasi yang mengakar hingga pelosok desa, dengan jumlah anggota yang begitu besar, target 1 juta hewan qurban bukanlah sebuah mimpi. Mengelola aktivitas ekonomi qurban dengan manajemen yang baik dan modern akan sangat membantu mewujudkan ”sharing economy” agar kesejahteraan tidak menumpuk pada satu kelompok kecil saja, tetapi percikan kesejahteraannya dapat juga dinikmati lebih banyak orang.Berqurban tidak hanya menunaikan kewajiban agama, tetapi berqurban juga bisa membuat petani dan peternak di desa-desa sejahtera.
Artikel ini sudah dimuat di hrian Waspada, Medan, 2 Agustus 2016. Epapernya dapat diakses melalui link Epaper Waspada
Baca juga :