Sep 022016
 

Baitul Asyi dan Filantropi Para HajiDana kompensasi Baitul Atsyi khusus untuk jama’ah haji Aceh telah dibayarkan sebesar 1.200 riyal, setara dengan Rp. 4.4 juta rupiah per orang (serambi Indonesia, 22 Agustus 2016). Tahun ini masyarakat Aceh yang berangkat ke haji mencapai 3.140 jam’ah (menurut kuota). Dengan demikian, jumlah keseluruhan dana kompensasi yang dibayarkan mencapai 13,8 milyar.

Jama’ah haji Aceh tentu bergembira mendapatkan dana kompensasi tersebut karena sangat membantu mengurangi beban biaya selama menjalankan proses dan rangkaian ibadah haji selama di Mekkah dan Madinah. Selain untuk kebutuhan-kebutuhan dasar, uang tersebut juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para jama’ah terhadap barang-barang sekunder dan oleh-oleh untuk kerabat di kampung halaman, sebagaimana telah menjadi kebiasaan para jama’ah Indonesia pada umumnya.

Sebagaimana diketahui, dana kompensasi Baitul Atsyi berasal dari wakaf berupa rumah pemondokan di Qasasiah, tempat antara Marwah dan Masjidil Haram, dekat pintu Bab Al-Fatah, oleh Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang hidup pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam. Beliau telah menghadap Hakim Mahkamah Syar’iyyah Mekkah pada 1224 H/ 1809 M untuk mendaftarkan harta wakafnya tersebut. Wakaf rumah pemondokan tersebut  diperuntukkan bagi warga Aceh yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau bagi siswa siswi Aceh yang belajar di Mekkah. Disamping itu, Habib Bugak Asyi meniatkan pemondokan ini untuk tempat tinggal bagi warga Aceh yang bermukim di Mekkah.

Ruang Lingkup Diperluas

Berkaitan dengan rencana pemerintah Aceh mengundang nadhir Baitul Atsyi ke Aceh untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan dana kompensasi tersebut, serta kemungkinan memperluas ruang lingkup penyalurannya, maka diperlukan kajian yang konprehensif dan melibatkan pakar/ ahli dalam bidang ini agar tujuan wakaf itu sendiri tidak melenceng. Sebagaimana wacana yang telah dilontarkan pemerintah Aceh, bahwa ruang lingkup penggunaan dana kompensasi Baitul Atsyi akan diperluas, yakni (1) penggunaannya tidak hanya untuk Jama’ah calon haji saja, (2) pembagian dana kompensasi dilakukan di Aceh setelah jama’ah haji kembali, (3) digunakan untuk beasiswa warga Aceh yang studi di Timur Tengah.

Wacana tersebut sangat penting untuk diapresiasi karena nilai kemanfaatannya semakin tinggi dan penerima manfaatnya semakin menyebar luas sehingga lebih banyak masyarakat Aceh yang akan merasakan dampak dari kebaikan aset wakaf ini. Bahkan, jika memungkinkan, calon jama’ah haji yang notbene sebenarnya telah masuk dalam kategori mampu (menunaikan haji secara mental dan material) untuk berfikir jauh lebih maju dengan “menolak” menerima uang tunai wakaf tersebut, dan mengikrarkannya untuk disalurkan kepada masyarakat Aceh lainnya yang masuk dalam kategori fakir dan miskin, bentuknya bisa saja dalam bentuk beasiswa, pembangunan rumah dhuafa, modal dan pembinaan usaha kecil masyarakat pinggiran. Maka dana kompensasi 14 milyar tersebut akan sangat membantu Aceh dalam membangun masyarakat.

Wacana tentang pembagian dana kompensasi dilakukan di Aceh setelah jama’ah haji kembali dengan tujuan agar uang tersebut berputar di Aceh merupakan ide yang baik dari perspektif ekonomi. Namun demikian, jika dana tersebut tetap dibagikan kepada jama’ah haji, tentu sejak awal para jama’ah sudah memperkirakan bahwa uang tersebut mereka terima, dan sebelum berangkat haji, para jama’ah juga meningkatkan jumlah rencana belanjanya selama musim haji di Mekkah dan Madinah, setidaknya setara dengan dana kompensasi baitul Atsyi, artinya tujuan dari wacana tersebut tidak dapat dicapai karena uang yang dibawa keluar dari Aceh oleh jama’ah calon haji untuk dibelanjakan di Mekkah dan Madinah sudah setara dengan dana kompensasi yang akan mereka terima saat pulang.

Untuk wacana ketiga, digunakan untuk beasiswa warga Aceh yang studi di Timur Tengah. Kita semua belum mengetahui persis secara detil isi dari butir-butir lembaran wakaf yang dihadapkan pada Mahkamah Syar’iyyah Mekkah oleh Habib Bugak 207 tahun yang lalu itu. Secara umum yang berkembang di masyarakat bahwa sang Wakif meniatkannya untuk kompensasi bagi jama’ah haji yang tidak menginap di baitul atsyi, atau bagi masyarakat warga Aceh yang bermukim di Mekkah, atau bagi warga Aceh yang sedang menjalankan studi di Mekkah. Dengan menyebutkan nama tempat secara khusus berarti memiliki ikatan teritorial batas wilayah dimana dana kompensasi tersebut boleh disalurkan. Jika wacana pemerintah menyebutkan Timur Tengah, berarti yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang secara politis, dan budaya merupakan bagian dari benua Asia, atau Afrika-Eurasia. Dimana pusat dari wilayah ini adalah daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab dan Semenanjung Sinai. Setidaknya kawasan Timur Tengah mencakup lebih kurang 27 negara. Perluasan ruang lingkup ini menjadi menarik dan jika terwujud tentu secara nilai, harta wakaf yang dikandung oleh aset baitul atsyi ini semakin meningkat dan kemanfaatannya dirasakan oleh lebih banyak masyarakat Aceh.

Filantropi Masyarakat Aceh

Kedermawanan sang wakif, Habib Bugak Al-Asyi ini tak mungkin lagi kita pungkiri. Dalam banyak catatan dan cuplikan cerita mengenai baitul asyi ini, hanya kebaikan-kebaikan beliau saja yang disebut, bahkan untuk sosok pribadi beliau sendiri pun sangat sulit untuk ditelusuri, karena di dalam surat wakaf yang beliau tandatangani hanya menyebutkan dirinya sebagai Habib Bugak Asyi. Jika seorang Habib Bugak Asyi sudah jauh-jauh hari berfikir untuk seluruh masyarakat Aceh yang tidak beliau kenal tanpa kecuali mendapatkan kompensasi dengan tidak menetapkan batas waktu, maka nilai-nilai kebaikan itu sangat pantas kita teladani dengan melakukan hal yang sama dalam ruang lingkup yang kecil dan tanpa mengurangi suatu apapun dari diri kita. Tidak ada salahnya masyarakat Aceh, khususnya yang menjadi sasaran dalam lembaran wakaf baitul atsyi tersebut secara serentak menjadi dermawan massal, menunjukkan bahwa pribadi-pribadi kita sebagai masyarakat Aceh memang memiliki ruh-ruh filantropi yang dahsyat. Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusian, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Bagaimana caranya? Dengan merelakan dana kompensasi tersebut dialokasikan untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kapasitas masyarakat fakir dan miskin di seluruh wilayah Aceh. Sikap ini barangkali akan sangat membantu menginternalisasi nilai-nilai luhur yang melambangkan kepedulian bersama terhadap keadaan yang tidak menguntungkan bagi sebagian masyarakat. Sebagaimana pedulinya sang wakif Habib Al-Asyi kepada masyarakat Aceh.

Karena wacana ini akan menyeret beberapa konsep yang berbeda di waktu yang bersamaan, yaitu; konsep wakaf, ekonomi, dan di satu sisi filantropi masyarakat Aceh, khususnya jama’ah calon haji, maka akan dibutuhkan kajian yang mendalam yang melibatkan banyak pihak untuk sama-sama memikirkan nilai dan kemanfaatan aset wakaf ini sehingga apa yang menjadi cita-cita sang wakif dapat terwujud dan menularkan sifat-sifat kebaikannya bagi masyarakat Aceh secara umum.

Sebagai penutup, wacana pemerintah untuk memperluas penggunaan dana kompensasi baitul atsyi merupakan ide yang penting untuk didiskusikan dengan berorientasi pada manfaat yang lebih luas dengan cakupan sasaran yang lebih banyak serta membantu fakir dan miskin meningkatkan kualitas hidup mereka. Masyarakat Aceh memiliki banyak kesempatan menjadi filantropis, jiwa-jiwa dermawan yang telah ditanamkan oleh para endatu harus dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku nyata dalam keseharian, bukan sekedar menjadi cerita nostalgia masa lalu (MY)

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 2 September 2016. Versi onlinenya dapat diakses melalui link Opini Serambi Indonesia.

Baca juga :