Demo massa yang merengsek Jakarta dalam dua gelombang yang dahsyat, yaitu 411 dan yang terakhir 212 merupakan yang terbesar dan paling damai dalam sejarah demo di Republik ini. Tidak ada angka pasti berapa jumlah massa yang memadati jalan-jalan ibukota tersebut. Pihak kepolisian mengklaim massa yang hadir pada demo 411 di atas 100ribu orang, sedangkan pihak penyelenggara mengklaim 2juta, sedangkan ustadz Adjae mengklaim 2,3juta.
Menurut keterangan kabid Humas Polri, Boy Rafli Amar, kapasitas lapangan Monas hanya dapat menampung hingga 700 ribu massa. Jika jumlah massa melebih angka tersebut, atau jika diasumsikan dengan mengambil angka di antara klaim-klaim yang beredar, katakanlah 1,5juta peserta, maka dapat dipastikan massa akan membludak hingga Semanggi dan bundaran HI.
Terlepas dari pro kontra dan muat tidaknya tempat penampungan massa di Jakarta, menarik untuk dikaji bagaimana efek ekonomi yang ditimbulkan hajatan ini. Jika yang hadir diasumsikan 1,5 juta orang dan setiap orang akan menghabiskan uang belanja masing-masing 1,5juta saja, maka akan ada uang beredar di Jakarta dalam satu hari tersebut sejumlah Rp. 2,2 triliun, angka yang sangat fantastis. Ini tentu tidak termasuk uang tiket pesawat, bus dan kendaraan lain yang juga membutuhkan biaya operasional. Potensi ekonomi yang dihasilkan dari demo massa ini tidak bisa dianggap remeh. Jakarta kedatangan tamu sekaligus uang segar dari peserta aksi massa yang beredar di tangan para pedagang nasi bungkus, bis kota, pedagang asongan, bahkan para pemulung sampah yang panen dari sampah yang dihasilkan para peserta.
Dibandingkan potensi ekonomi yang dihasilkan oleh kegiatan Pekan Raya Jakarta, maka angka ini tentu jauh berbeda. Rata-rata potensi ekonomi yang dihasilkan melalui transaksi di PRJ berjumlah 4,5 triliun dengan durasi satu minggu. Itu artinya bahwa PRJ hanya memiliki potensi sebesar Rp. 643 milyar per hari. Dapat dibayangkan kalau aksi massa ini ditransformasikan menjadi ajang PRJ dadakan selama satu minggu, tentu akan memiliki potensi ekonomi sebesar Rp. 10,5 triliun. Dua kali lebih besar dari pada potensi ekonomi pekan raya Jakarta.
Aplikasi Ekonomi Berbagi
Sebenarnya potensi ekonomi yang dihasilkan dari aksi massa ini dapat memberikan manfaat ekonomi bukan hanya bagi Jakarta, tetapi juga bagi seluruh daerah dari mana massa berasal karena pada peristiwa ini, seluruh peserta pasti akan membelanjakan uang mereka mulai dari tempat berangkat hingga ke tempat tujuan dan kembali lagi ke kampung halaman. Dan sifatnya sangat liquid, cari-secair-cairnya karena kebutuhan selama aksi diselenggarakan menuntut uang harus dikeluarkan dari kantong sehinga peredaran uang berlangsung cepat dan sangat membantu mengatasi kemacetan sisi-sisi gerigi ekonomi. Rangkaian seluruh aksi massa ini tentu saja akan berdampak pada sharing economic (ekonomi berbagi) yang memberikan kesempatan kepada banyak pihak menikmati belanja para demonstran.
Rush money yang belakangan marak disosialisasikan berkaitan dengan kasus yang sama, barangkali tidak perlu kita persoalkan terlalu berlebihan, karena walau di satu sisi diperkirakan terjadi kegoncangan karena kepanikan, tetapi dana-dana yang ditarik tersebut justeru di sisi lain memiliki nilai kebermanfaatan lebih bagi masyarakat bawah. Sebab penarikan jelas dilakukan oleh warga yang akan melakukan aksi massa, sehingga otomatis uang yang mereka tarik akan dibelanjakan segera, itu artinya bahwa aksi ini dapat membantu melancarkan peredaran uang di masyarakat bawah dibandingkan uang-uang tersebut terpendam di bank dan mengendap dalam waktu yang lama. Barangkali, peristiwa besar 212 ini merupakan salah satu bentuk model aplikasi ekonomi berbagi pada saat-saat uang memang perlu beredar dengan cepat di masyarakat, sebagaimana pemerintah selalu menyelenggarakan even-even besar guna mendongkrak pergerakan ekonomi masyarakat melalu transaki-transaksi yang berlangsung pada even tersebut.
Transformasi Potensi Ekonomi
Sikap sebagian pihak kepolisian di beberapa daerah yang melarang perusahaan angkutan bus mengangkut para peserta aksi massa di satu sisi sangat disayangkan, karena justeru para pengusaha angkutan akan kehilangan transaksi dari momen ekonomi seperti ini, dan tentu saja kehilangan pendapatan, setidaknya untuk satu hari.
Kekhawatiran yang muncul dari aksi massa ini sebenarnya dapat ditransformasikan menjadi potensi, baik secara politik maupun ekonomi. Sikap politik yang berlebihan akan menimbulkan kepanikan yang bisa tak terkendali. Komunikasi yang baik dan intens dengan berbagai pihak barangkali dapat meredakan kepanikan ini. Presiden, Panglima TNI dan Kapolri tentu sangat faham tindakan-tindakan yang pantas untuk dilakukan dalam situasi seperti ini, dengan syarat keberpihakan harus diletakkan pada porsi yang berkeadilan, bukan karena tekanan kelompok tertentu.
Secara ekonomi peristiwa-peristiwa besar seperti ini sangat berpotensi mendongkrak kegiatan ekonomi masyarakat umum dengan syarat tidak terjadi aksi yang dapat merusak suasana apalagi sampai bertindak anarkis yang akan meimbulkan kerugian besar. Semua peristiwa dalam bentuk aksi massa ataupun peristiwa-peristiwa politik dapat dipertemukan menjadi satu titik keseimbangan ekonomi, dalam hal ini, aksi massa 212 telah memberikan jaminan bahwa mereka melakukannya dengan super damai. Konon lagi TNI dan Polri juga sudah memberi isyarat ikut mengamankan aksi. Pertanyaannya adalah, siapakah yang dapat melihat dan mampu serta bersedia mentransformasikan aksi superdamai 212 ini menjadi potensi ekonomi? Yang jelas, warga Jakarta akan mendapat “hadiah” uang beredar dengan potensi sebesar Rp. 2,3 triliun untuk hari ini yang dibawa oleh para pejuang 212 dari berbagai daerah di pelosok nusantara.
Artikel ini sudah diterbitkan pada kolom Opini Harian Waspada Medan, tanggal 06 Desember 2016. Untuk membaca versi online-nya (e-paper) dapat diakses melalui link Opini Waspada
Baca juga: