Efisien dan efektif merupakan frasa yang selama ini menjadi satu-satunya formula yang “didoktrinasi” oleh organisasi bisnis menghadapi persaingan pasar. Pasalnya adalah, organisasi harus hidup dalam jangka waktu yang lama di masa depan (going concern) untuk memenuhi hasrat kesejahteraan anggotanya melalui upaya-upaya mendatangkan profit secara progresif di setiap periode pembukuan. Profitabilitas yang progresif adalah harga mati karena selain adanya tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan, ianya juga harus berlomba dengan nilai barang yang terus meningkat setiap saat, dimana akan berpengaruh kepada ongkos produksi yang berdampak pada pengambilan keputusan penetapan harga. Muara utama dari seluruh aktifitas bisnis bukan semata mensejahterakan anggota secara umum, tetapi secara lebih khusus adalah pemilik modal yang menginginkan pertumbuhan aset mereka dalam skala yang terus meningkat.
Mulanya eksistensi teknologi diharapkan dapat membantu mengaplikasikan konsep ekonomi berbagi (sharing economy), yang merujuk pada sikap sebagaimana yang disebut Rhenald Kasali, yaitu partisipasi dalam kegiatan ekonomi yang menciptakan value, kemandirian, dan kesejahteraan, yakni partisipasi dari para pemain yang terlibat dalam ekosistem ekonomi berbagi tersebut melalui perannya masing-masing. Sementara yang idle, atau aset-aset yang menganggur lebih diberdayakan. Proses ini kemudian akan menciptakan pola bagi hasil yang akan meningkatkan kesejahteraan (welfare) dan efisiensi. Situasi ini dapat kita asumsikan sebagai sebuah kondisi dimana ekonomi dalam konteks income generating berada pada tataran desentralisasi ekonomi karena simpul-simpul profit tidak menumpuk pada sekelompok kecil pemilik modal besar, tetapi terdistribusi merata secara sebaran walau tidak mungkin terdistribusi merata secara kuantitas. Meratanya sebaran distribusi ini dapat dikatakan sebagai terdistribusi secara kualitas, karena semakin luas sebarat distribusinya, maka akan semakin memperkuat perekonomian di berbagai tempat dan tentu saja semakin meningkatkan kesejahteraan manusia secara global.
Pertanyaannya adalah apakah kemudian para pemilik modal melalui agensi mereka di berbagai organisasi bisnis menikmati situasi sharing economy yang membentuk desentralisasi ekonomi ini?
Efisiensi Mesin dan Manusia
Sebagaimana saya mengawali tulisan ini, efisiensi, setidaknya hingga saat ini, adalah the only way to increase profits, satu-satunya jalan untuk meningkatkan profit agar bisnis tetap berada pada posisi progresif. Cara-cara lain sudah banyak ditempuh untuk meningkatkan profit dan diadopsi oleh banyak organisasi bisnis, sebut saja; memperluas pasar dan meningkatkan jumlah produksi, menaikkan harga, dan menurunkan ongkos produksi secara konvensional. Tetapi nyatanya tingkat profitabilitasnya belum memuaskan para pemilik modal karena beberapa faktor diantaranya adanya kenaikan harga-harga di pasar yang menyebabkan meningkatnya tuntutan karyawan untuk dinaikkan gaji mereka. Selain itu dipastikan bermunculan pemain-pemain baru yang memproduksi barang yang sama di pasar yang sama sehingga akan menghambat pertumbuhan pasar bisnis di perusahaan yang telah lebih dulu eksis karena tergerus oleh pemain baru tersebut.
Pada kondisi ini, sudah lazim perusahaan mengadopsi berbagai model teknologi untuk meningkatkan kualitas produksinya, tetapi harus diingat bahwa adopsi teknologi tentu saja bisa dilakukan oleh semua perusahaan sehingga perlombaan dalam hal mengadopsi teknologi tak dapat dipungkiri akan membutuhkan biaya yang besar, karena keberadaan teknologi harus diiringi dengan peningkatan sumber daya manusia sebagai operator teknologinya. Kedua faktor produksi ini memiliki peran yang sangat penting. Di satu sisi harus memiliki mesin yang bersifat statis, tetapi di sisi lain harus ada sumber daya manusia sebagai operator yang bersifat dinamis dan dibutuhkan untuk menganalisis lingkungan internal dan eksternal perusahan yang belum dapat didelegasikan kepada mesin-mesin yang statis tersebut. Tetapi, sekali lagi, ongkos yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kedua faktor produksi tersebut (manusia dan mesin) sangat besar. Pada titik inilah bertubrukan konsep desentralisasi dan sentralisasi ekonomi, karena terjadi paradox, yakni ekpektasi meningkatnya profit sebagai dampak penggunaan teknologi, tetapi juga belum tentu menurunkan biaya/ pengeluaran untuk kebutuhan gaji karyawan serta pelatihan peningkatan SDM guna menyesuaikan dengan adopsi teknologi baru.
Revolusi Industri 4.0 dan Re-sentralissasi
Terminologi yang paling populer yang dilahirkan oleh konsep Revolusi Industri 4.0 adalah Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT). AI secara singkat dapat digambarkan sebagai kecerdasan buatan dimana kemampuan otak manusia disalin, diadopsi dan ditanamkan (diisntall) ke sebuah mesin sehingga mesin tersebut memiliki kemampuan menafsirkan data eksternal yang ada di lingkunannya sebagaimana manusia berfikir untuk melakukan sesuatu setelah mendapat informasi dari lingkungan sekitarnya. Kemampuan AI menafsirkan data diperkuat dengan IoT sebgai perangkat yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan berbagai data dari berbagai tempat dan lokasi baik jarak dekat maupun jarak jauh melalui sistem sensorik sehingga seluruh penafsiran data yang dilakukan oleh AI menjadi sebuah tindakan/ aktifitas yang interaktif layaknya manusia melakukan tindakan. Untuk menyederhanakan kedua istilah ini, kita bisa melihat bagaimana robot melakukan aktifitas. Dulu robot hanyalah sebuah mesin yang tidak memiliki kemampuan interaktif dan otomatisasi. Tetapi, saat ini robot bukan sekedar perangkat keras manual, karena dalam kepala robot juga sudah ditanamkan perangkat otak yang sistem kerjanya diadopsi dari sistem kerja otak yang memiliki kemampuan berfikir dan bertindak dengan sistem otomatisasi.
AI dan IoT di satu sisi menciptakan lompatan teknologi yang menghasilkan profitabilitas yang tinggi, tetapi di sisi lainnya akan mengeliminasi eksistensi sumber daya manusia demi efektifitas dan efisiensi untuk sebagian kecil manusia. Seluruh proses pencarian metode efisiensi oleh organisasi bisnis pada akhirnya juga menarik kembali alur ekonomi berbagi jauh ke belakang dimana simpul-simpul ekonomi yang tadinya didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang sangat luas, radiusnya semakin menyempit karena penggunaan teknologi dalam memproduksi barang dan jasa hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar yang memiliki kemampuan mengadakan perangkat teknologi canggih tersebut, selebihnya adalah konsumen yang terpaksa merelakan diri untuk mengkonsumsi seluruh hasil produksi tersebut dikarenakan munculnya kebutuhan, keinginan ataupun kebutuhan yang dimunculkan untuk membenarkan bahwa suatu produk dibutuhkan oleh masyarakat. Seluruh kekuatan ekonomi yang pasarnya seluas keberadaan masyarakat global, tetapi simpulnya tersentralisasi di sebuah sistem global yang pemiliknya tidak lebih dari ratusan orang dibanding jumlah penduduk bumi yang milyaran. Revolusi industri 4.0 atas nama efisen dan efektif, me-resntralisasi ekonomi dari entitas simpul-simpul ekonomi digital di belahan bumi terpusat ke sebuah sistem yang diciptakan perusahaan pemilik modal besar.
Sumber daya manusia, walaupun dipuja-puja sebagai aset yang tak dapat dibandingkan nilainya dengan aset lain dalam organisasi, sebagaimana dimaktub oleh Fitz-enz dalam bukunya The ROI of Human Capital, bahwa “All the assets of an organization, other than people are inert”, seluruh aset organisasi selain manusia tidak bergerak”, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa eliminasi juga menanti.
Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki bonus demografi, jumlah millenial yang besar dengan sumber daya alam yang melimpah. Revolusi Industri 4.0 adalah arus besar yang tidak bisa dibendung yang dapat mendatangkan keuntungan, tetapi juga bisa menjadi kegelapan dalam dunia kerja yang akan mengganggu stabilitas negara jika tidak mengantisipasi bonus demografi sebagai sebuah keunggulan bersaing dalam dunia global.
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Waspada, Medan, 30 April 2019. Versi e-paper dapat dibaca DISINI