Dalam laporan States of Global Islamic Economy (SGIE) 2015-2016, mencatat bahwa nilai pariwisata halal pada 2014 mencapai 142 miliar dolar AS, tumbuh 6,3 persen dibanding 2013. Pelancong asal Timur Tengah dan Afrika Utara adalah penyumbang terbesar untuk pengeluaran di sektor ini dengan nilai 52,3 miliar dolar AS atau 37 persen dari total belanja wisatawan meski populasi mereka hanya tiga persen dari total populasi Muslim global pada 2014. Pada 2020 belanja Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar AS, atau senilai dengan Rp. 3 ribu triliun lebih. Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut tidak termasuk kegiatan haji dan umrah yang jika dimasukkan ke dalam kalkulasi wisata halal pasti angkanya akan membengkak jauh lebih tinggi lagi.
Belanja pariwisata halal dirangkum dari belanja ummat muslim seluruh dunia yang mencakup enam subsektor, yaitu; (1) Sektor makanan halal, (2) keuangan syariah, (3) halal travel, (4) busana muslim, (5) Media dan rekreasi, dan (6) sektor obat-obatan dan kosmetik. Secara umum, GIE indicator score untuk 15 besar, Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki peran sebagai penyedia produk halal dengan skore 116, dan berturut-turut diikuti Uni Emirat Arab di urutan kedua dengan skor 63, Bahrain 58, Saudi Arabia 49, dan pakistan di urutan kelima dengan skore 47. Sedangkan Indonesia bertengger di urutan ke 10 dengan skor yang sama dengan Singapure 34 di urutan ke 11.
Dari enam sub-sektor yang dijadikan variabel tersebut, Malaysia bertengger sebagai negara nomor satu penyedia produk halal untuk tiga sub-sektor, yaitu makanan halal, keuangan berbasis syariah, dan halal travel, dimana dari tiga subsektor tersebut, Indonesia hanya masuk dalam 10 besar di sub-sektor keuangan syariah di urutan ke 9. Sedangkan di sub-sektor lain, Indonesia hanya masuk di 10 besar pada subsektor Obat-obatan dan kosmetik di urutan ke-7. Artinya, dari 6 sub-sektor yang menjadi variable pariwisata halal, tidak satupun Indonesia menempati urutan 5 besar, dan hanya masuk 10 besar, itupun hanya di dua subsektor, yakni subsektor keuangan syariah pada urutan ke 9 dan subsektor obat-obatan dan kosmetik di urutan ke 7. Sedangkan Malaysia menyabet tiga subsektor sekaligus di urutan pertama, dan hanya dua subsektor yang tidak masuk 10 besar yakni pada subsektor fashion dan halal media and rekreasi. Sedangkan untuk sektor obat-obatan dan kosmetik, Malaysia menempati urutan ke 3 dari 10 besar.
Peringkat ini memberikan informasi penting bagi kita bahwa, (1) keberadaan muslim sebagai mayoritas di Indonesia tidak otomatis menjadikan Indonesia memberikan apresiasi yang patut dalam perspektif bisnis global berkaitan dengan potensi pasar syari’ah yang semakin menjanjikan (2) Indonesia kurang peka terhadap pasar syari’ah yang sebenarnya justeru tumbuh pesat, (3) Issu Islamofobia secara latah mampu mempengaruhi Indonesia sehingga ragu-ragu mengambil sikap tegas terhadap label syari’ah. Padahal negara-negara non-muslim sendiri, sekalipun ikut berperan aktif mengkampanyekan isu-isu islamofobia, namun mereka tetap mengambil keuntungan bisnis melalui peluncuran produk-produk syariah/ halal.
Sebut saja misalnya negara-negara yang bukan Islam, seperti Amerika Serikat, Singapura, Toronto (Kanada) dan Britania Raya (United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini telah membulatkan tekad menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Begitu juga dengan Singapura, telah mensosialisasikan diri sebagai pusat keuangan syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan syariah. Di Malaysia, hampir 15% nasabah bank syariah adalah non-Muslim.
Potensi Bisnis
Menurut the Almanac Books of facts, pertumbuhan ummat Islam mencapai 235%, atau lima kali lipat laju pertumbuhan Kristen yang hanya 46%, dengan prediksi bahwa di tahun 2030 kelak 1 dari 3 penduduk dunia adalah muslim. Konsekuensi dari kondisi ini adalah permintaan terhadap produk-produk halal secara global dipastikan juga meningkat.
Besarnya belanja muslim dunia tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran masyarakat muslim dalam tataran ekonomi global dengan kontribusi belanja yang mencapai ribuan triliun. Permintaan terhadap produk halal semakin tumbuh pesat karena jumlah penduduk muslim di seluruh dunia yang kini mencapai 1,7 milyar akan terus meningkat setiap tahun. Selain itu, produk-produk halal/syariah bukan hanya dapat dikonsumsi oleh warga muslim tetapi juga dapat dikonsumsi oleh masyarakt non-muslim.
Dalam posisinya sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia mestinya lebih fokus memikirkan dengan serius pasar syariah ini, setidaknya satu atau dua dari subsektor yang direview oleh States of Global Islamic Economy (SGIE) bisa dijadikan sektor andalan untuk wisata syariah. Misalnya subsektor tavel halal dan subsektor obat-obatan dan kosmetik karena untuk kedua subsektor ini Indonesia memiliki sumber daya alam yang menarik dan bahan baku yang melimpah. Walaupun sebenarnya tidak menghalangi kemungkinan pada sub-sektor lain.
Aceh dan Syariat Islam
Sebagai salah satu provinsi yang memiliki keistimewaan, Aceh telah mendeklarasikan diri sebagai wilayah syariat Islam. Wisata Halal bukanlah menjadi hambatan sama sekali, bahkan bisa menjadi modal utama dalam merespon kondisi global yang semakin menuntut tersedianya produk halal.
Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pemberlakuan syariah Islam di Aceh selama ini secara otomatis dapat terjawab seiring berjalannya waktu. Namun demikian, konteks syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh bukan lah sekedar mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah semata, tetapi juga harus fokus pada pengaturan muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan; seperti jual-beli, sewa, dsb (Munawwir, 1997). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (hablunminannas), hubungan manusia dengan alam, ekonomi, termasuk sistem dan mekanisme perdagangan dan bisnis sudah harus menjadi pembahasan serius.
Disamping itu, situasi ini tentu semakin meyakinkan kita bahwa tidak relevan lagi memblow-up issu-issu yang menyatakan bahwa perda syariat dapat menghambat investasi, karena, faktanya tidak demikian, produk-produk halal yang diturunkan dari produk perda-perda syariah justeru menjadi produk potensial dalam pasar global, salah satu poin penting yang relevan adalah pesatnya pertumbuhan jumlah ummat Islam dunia dan semakin tingginya permintaan terhadap produk halal.
Jika merujuk pada jumlah belanja muslim Timur Tengah dan Afrika Utara saja yang 3ribu trilyun tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa mereka menghabiskan belanja sebesar lebih kurang hampir Rp. 60 juta perkepala untuk wisata halal. Perlu dicatat, itu baru kalkulasi tiga persen penduduk muslim, atau sekitar 51 juta jiwa, dari 1,7 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.
Secara histori, Timur Tengah tidaklah asing bagi Aceh, sebaliknya, Aceh juga bukan nama yang asing di mata masyarakat Timur Tengah, apalagi dengan status Aceh sebagai daerah Syariat Islam, tentu momen dan potensi ini dapat dikumpulkan pada satu titik temu ikatan emosional dengan bisnis global yang berbasis syariah.
Upaya-upaya yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah membangun hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang notabene menjadi negara yang paling banyak mengeluarkan belanja untuk produk-produk halal di dunia. Memperkenalkan Aceh sebagai daerah halal travel yang layak dipertimbangkan karena memang potensi alam Aceh sangat indah. Keseriusan pemerintah untuk membangun infrastruktur serta keterjaminan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat mengundang ketertarikan warga dunia untuk berkunjung ke Aceh.
Sangat disayangkan, label syariah yang kita miliki tidak mampu mengalirkan keuntungan bisnis bagi diri sendiri dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Jika kita mampu mengambil peran sebagai provider bagi produk halal ini, itu artinya kita telah ikut serta menikmati sharing ekonomi yang dimainkan masyarakat global.
Baca juga:
Sorry, the comment form is closed at this time.