Beberapa waktu lalu terdengar kabar bahwa ada komunitas yang menggerakkan anggota mereka untuk melakukan kebaikan melalui kegiatan-kegiatan ringan tetapi sangat bermanfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bentuk kegiatannya sederhana, menghimbau masyarakat luas untuk mendermakan sebagian rezeki mereka agar disalurkan kepada yang berhak, dalam hal ini sasarannya spesifik, yaitu tim kebersihan kota Banda Aceh, lebih tepatnya para pekerja yang ditugaskan menyapu dan membersihkan ruas-ruas jalan di Kota Banda Aceh.
Bantuan yang mereka peroleh tersebut didistribusikan dalam bentuk nasi bungkus untuk sarapan pagi para pekerja kebersihan, dan untuk saat ini, sambil melakukan sosialisasi melalui media sosial, mereka hanya membagikan sarapan pagi gratis tersebut di setiap hari Sabtu dalam jumlah yang terbatas dan di tempat-tempat terbatas. Komunitas ini menamakan diri mereka dengan Ruman Aceh. Selain membagikan sarapan pagi gratis bagi pekerja kebersihan kota, Ruman Aceh yang digerakkan oleh Arif ini juga membuka lapak pustaka setiap minggu pagi di Public Sport Centre Blang Padang. Dan buku-bukunya bisa dipinjam oleh masyarakat untuk dibawa pulang tanpa dipungut biaya. Ruman Aceh memadukan kegiatan kedermawanan di satu sisi dan sekaligus melakukan kegiatan edukasi.
Selain Ruman Aceh, ada warga Aceh lainnya secara pribadi berinisiatif melakukan kegiatan kedermawanan serupa dalam bentuk lain, yaitu Edi Fadhil. Rasa pedulinya muncul ketika melihat banyaknya warga masyarakat yang tinggal di tempat-tempat yang tidak layak huni, bahkan tidak manusiawi, yaitu di kandang sapi, kandang ayam dan tempat-tempat lain yang sangat memprihatinkan, padahal Aceh merupakan daerah yang memiliki APBA sangat luar biasa dibandingkan provinsi lain, dan bahkan memiliki Baitul Mal yang telah memperoleh penghargaan sebagai Lembaga Zakat yang memiliki manajemen terbaik nasional. Edi telah membangun banyak rumah warga miskin di pelosok Aceh, dan masyarakat telah memberikan amanah kepada Edi untuk menyampaikan amanah yang dititipkan kepada beliau untuk pembangunan rumah-rumah warga miskin tersebut, dan hingga saat ini terus berjalan baik.
Fenomena dua cerita singkat di atas mengingatkan kita pada istilah yang baru-baru ini dipopulerkan kembali di Indonesia oleh dosen sekaligus peneliti muda dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Alumni Utrech University Belanda, Hilman Latief, MA, Ph.D, yaitu Filantropi.
Dalam Kamus Wikipedia dikatakan bahwa, Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Menurut Hilman, wujud dari kegiatan filantropi adalah perilaku kedermawanan, dan membangun relasi sosial yang baik antara kaya dan miskin. Inti dari kegiatan filantropi adalah untuk mendorong terciptaanya kemaslahatan, public good, kesejahteraan bersama.
Melihat dan mengamati adanya kegiatan kedermawanan ini di Aceh, sungguh luar biasa dan patut diapresiasi dengan semangat yang tinggi agar tidak berhenti pada dua cerita di atas, tetapi bisa bergerak dan berlaku secara massif hingga pada titik dimana kegiatan ini menjadi suatu gerakan yang memang muncul karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk berderma, bukan karena aktifitas politik guna meraup suara saja.
Konon lagi, Aceh yang merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan Syariat Islam sebagai pedoman hidupnya, maka mestinya filantropi bukan merupakan hal yang asing bagi masyarakat Aceh. Hilman pada presentasinya dalam acara Interdiscplinary Colloquium bulanan yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana STAIN Salatiga, menjelaskan secara singkat bagaimana substansi filantropi dalam Islam dengan menyatakan “Dalam filantropi Islam, hubungan pemberi dan penerima bukan untuk melanggengkan relasi superior-inferior, tetapi lebih pada kemitraan, partnership, sehingga hubungan dalam keseimbangan dan kesetaraan, dan karenanya dapat dihindarkan pemberian yang disertai dengan pesan-pesan tertentu”
Pengelola filantropi bisa ditangani oleh banyak pelaku, mulai dari Negara dengan mendirikan dan mengelola Badan Amil Zakat dll, masyarakat sipil seperti pendirian dan pengelolaan Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat, dll, dan dapat pula korporasi atau perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Beberapa lembaga Filantropi Islam yang didirikan oleh masyarakat antara lain Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, BAZNAS, LAZISMU, Infaq Club (Dewan Dakwah), LAZISNU, PKPU, MDMC, dan banyak lagi. Persoalan yang dihadapi umat Islam negeri ini bukan pada jumlah lembaga pengelola filantropi itu sendiri, tetapi apakah dengan meningkatnya kedermawanan umat Islam dapat menjadi pendorong perubahan pada tingkat individual dan kolektif itu. Maka di sinilah letak pentingnya distribusi dan pemanfaatan dana filantropi Islam untuk kesejahteraan sosial, yang antara lain mencakup bidang kesehatan seperti klinik dan RS, dll; bidang pendidikan: sekolah, madrasah, perguruan tinggi; bidang social seperti panti asuhan, bantuan bencana, dll; dan bidang pemberdayaan ekonomi seperti koperasi, dan BMT.
Walaupun empat hal di atas merupakan tanggung jawab Negara, namun karena keterbatasan negara untuk memenuhinya, atau negara tidak memiliki kebijakan dan kemauan politik yang berpihak, maka masyarakat perlu mengambil sebagian dari peran dan tanggung jawab negara itu.
Mungkin banyak masyarakat baik secara pribadi maupun lembaga yang melakukan kegiatan filantropi di Aceh, tetapi banyak dari mereka yang tidak ingin mempublikasikannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi yang mengatasnamakan lembaga, atau pribadi yang menyalurkan amanah pihak ketiga, penting untuk dipublikasi karena sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada ‘donatur’, sedangkan yang pribadi tidak melakukan hal tersebut karena mereka tidak harus mempertanggungjawabkan kegiatannya. Kedua model ini sama-sama dermawan, semoga mereka dikaruniai kesehatan dan diberi kelapangan atas segala upaya yang mereka lakukan untuk memperbaiki situasi di lingkungan masing-masing.
Baca juga :