Maraknya pertumbuhan bisnis ritel dan mini market akhir-akhir ini selain memudahkan konsumen dari segi akses lokasi, juga dimanjakan dengan harga yang terjangkau, tempat yang nyaman dan ketersediaan barang yang lebih lengkap sehingga menjadi one stop shoping yang sangat memadai bagi masyarakat, hal ini tentu akan sangat membantu memudahkan segala aktifitas rumah tangga. Konsep bauran pemasaran yang diracik oleh bisnis ritel berjejaring ini tumbuh bak jamur di musim hujan bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa di seluruh indonesia. Di sisi lain, kehadiran ritel berjejaring tak dapat dipungkiri mampu menggerus keberadaan pedagang-pedagang tradisional yang tidak memiliki kemampuan manajemen dan tidak mungkin menerapkan bauran pemasaran karena tidak memiliki modal yang cukup.
Beberapa daerah melalui kebijakan pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah memberikan batasan-batasan tertentu bagi pelaku bisnis ritel berjejaring yang masuk dengan syarat yang ketat demi menjaga keseimbangan antara pegiat ekonomi modern dan tradisional sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya gesekan sosial di lingkungan masyarkat. Namun masih banyak daerah-daerah yang sama sekali tidak menerbitkan Perda berkaitan dengan keberadaan bisnis ritel berjejaring ini. Abainya beberapa daerah kabupaten dan provinsi terhadap peraturan daerah berkaitan dengan keberadaan toko modern ritel berjejaring ini berdampak terhadap kesenjangan ekonomi suatu daerah karena umumnya ritel berjejaring menguasai seluruh rantai ekonomi mulai dari hilir hingga ke hulu. Potensi tersedotnya uang di desa-desa mengalir ke kota dan bertumpuk pada sekelompok orang sangat besar kemungkinannya. Jika kita perhatikan barang-barang yang dipajang di outlet-outlet ritel berjejaring, nyaris seluruhnya didatangkan dari luar daerah, karena sampai saat ini belum terlihat adanya kemitraan strategis antara masyarakat dengan bisnis ritel modern ini sehingga tidak menampung produk-produk lokal sebagai salah satu barang yang dipajang di rak belanja mereka. Inilah sebenarnya alasan mengapa diperlukan campur tangan pemerintah yang mengatur teknis kemitraan antara bisnis ritel sebagi penjual dengan masyarakat secara individu atau kelompok binaan sebagai supplier.
Era tumbuh kembang toko modern dengan sistem ritel berjejaring walau masih terasa di beberapa tempat, tetapi secara nasional sejak awal 2015 mulai menemui masalah yang serius, tiba-tiba masuk ke area decline di usia yang belum begitu tua. Sebut saja misalnya gerai 7-Eleven (Sevel) yang memiliki 187 gerai pada tahun 2015 menyusut menjadi 166 gerai pada tahun 2016. Namun pada 30 Juni 2017 lalu, PT Modern Internasional Tbk telah mengumumkan penutupan semua gerai 7-Eleven (Sevel) di seluruh Indonesia. Demikian juga PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) pemilik minimarket Indomaret yang mencatat kinerja kurang memuaskan. Melansir bahwa sepanjang semester I-2017 perseroan hanya mampu membukukan laba bersih Rp 30,5 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, Indoritel Makmur Internasional mampu membukukan laba bersih Rp 105,5 miliar. Itu artinya laba bersih perseroan merosot 71,03%.
Selain Sevel dan Indomart, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) juga bernasib tak jauh berbeda. perusahaan pengelola Alfamart ini sepanjang semester I-2017 hanya mampu mengantongi laba bersih sebesar Rp 75,5 miliar. Angka itu turun 16,38% dibanding laba bersih pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 90,37 miliar.
Secara umum, fenomena lesunya pasar dan perlambatan ekonomi yang oleh sebagian pengamat mengatakan bahwa ini gejala bahkan sudah masuk kategori krisis yang ditandai turunnya daya beli masyarakat, dibantah oleh Reynald Kasali dengan mengatakan bahwa fenomena ini bukanlah disebabkan turunnya daya beli masyarkat, tetapi karena terjadinya shifting dan disruption. Secara umum Kasali menjelaskan, “Era sudden shift. Sebab pada era baru ini telah terjadi pemenggalan tren dan kita harus menangani masa depan dengan intuisi baru. Ceritanya begini. Produk- produk tradisional seberapa pun laku dan modernnya, kelak akan digantikan dengan produk-produk yang lebih baru atau cara model bisnisnya berbeda, lebih mudah dicapai, efisien, mampu mengolah data besar, dan seterusnya.”
Pergeseran (shifting) cara konsumen memperoleh barang yang selama ini dilakukan secara konvensional berganti dengan cara yang modern melalui dunia maya. Pasar yang jenuh juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran. Produsen barang dan jasa yang berada sangat jauh sekalipun dari aspek geografis saat ini menjadi penyegar bagi pasar jenuh. Mereka menawarkan kemudahan bertransaksi melalui teknologi canggih dengan menyediakan barang-barang yang berkualitas dan lebih lengkap, cukup menjaga kepercayaan saja, maka netizen yang menjadi konsumen akan ketagihan berbelanja online. Cara-cara konvensional tidak lagi menarik bagi konsumen, apalagi segmen millenial, sudah sangat melekat dengan gadget dan memanfaatkannya untuk aktifitas dan transaksi apa saja. Pergeseran ini bisa jadi persis seperti terjadinya pergeseran pembeli pasar tradisional yang kumuh, jorok dan tidak beraturan kepada pasar modern seperti supermarket, hypermarket atau mall-mall yang menampilkan suasana nyaman dan berkelas.
Teknologi menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan bisnis. Di satu sisi akan sangat membantu memperbaiki dan meningkatkan mutu produk, tapi di sisi lain menjadi perusak bagi produk-produk lama yang enggan berubah. Reynald Kasali mengingatkan, “begitulah teknologi memang mempunyai karakter perusak, istilahnya disruptive. Ia membunuh yang lama, menggantinya dengan yang baru, yang lebih cepat, dan efisien.”
Jika analisis mengenai lesunya perekonomian disebabkan oleh shifting dan disruption, maka perlu studi lebih lanjut, seberapa besar persentase pergeseran tersebut terjadi, apakah barang-barang yang dibeli konsumen tersebut seluruhnya atau sebagian besar memang datang dari produsen baru sama sekali atau sebenarnya produsen-produsen konvensional selama ini juga sudah masuk aktifitas jaringan bisnis modern yang melakukan transaksi dunia maya yang lazim disebut dengan e-commerce.
Kemudian, pertanyaan penting lainnya, benarkah sikap pemerintah yang jelas-jelas menyatakan bahwa lesunya perekonomian disebabkan oleh daya beli masyarakat menurun? Atau arus transaksi dunia maya menyebabkan pemerintah tak mampu mendeteksi aliran jual beli barang sehingga tidak “tertangkap” sebagai barang yang kena pajak, dan angka-angka di badan pusat statistik juga tidak bisa menghimpun data aliran barang tersebut?
Barangkali, ada tangan-tangan yang tak nampak (invisible hand) yang melakukan “intervensi” pasar. Tapi, untuk saat ini, menurut banyak pakar, yang perlu dilakukan untuk menghadapi situasi ini adalah inovasi. Tanpa inovasi dapat dipastikan produsen-produesn pemalas akan angkat kaki.
Lain Kasali, lain lagi pendapat salah seorang tim riset Ekonomi dan Keuangan INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, “Setelah ditelusuri dan dicocokkan dengan berbagai data, kehadiran e-commerce dan generasi milenial tidak bisa menggambarkan kondisi ekonomi secara nasional.”
Bhima melanjutkan, Porsi e-commerce terhadap total ritel nasional masih dibawah 1 persen. Ini artinya teori shifting dari toko konvensional ke online tidak bisa disalahkan sebagai penyebab penurunan penjualan ritel secara nasional.
Meskipun ada fakta omset salah satu perusahaan e-commerce selama Lebaran naik hingga 200 persen, dan sebuah perusahaan logistik dikabarkan merekrut 500 karyawan baru, hal itu tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas kondisi yang terjadi. Faktanya daya beli masyarakat memang menurun tajam sejak 3 tahun lalu. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga berdasarkan data triwulanan BPS terus melambat yakni dari 5,15 persen di 2014 menjadi 4,93 persen di tahun 2017.
Bagi negara dengan 57 persen kue ekonomi yang dibentuk dari konsumsi, tentu tren penurunan tersebut berimbas pada banyak sektor. Otomatis sektor ritel yang menjual consumer goods pasti menurun. Indikator kedua kelesuan daya beli juga bisa ditelusuri dari rendahnya inflasi selama 2 tahun terakhir. Klaim Pemerintah bahwa inflasi terkendali pun menimbulkan tanda tanya.
Ini zamannya ECONOMI DIGITAL broo…!!!
Don Tapscott mengemukakan dua belas karakteristik penting dari ekonomi digital yang harus diketahui dan dipahami, yaitu: Knowledge, Digitazion, Virtualization, Molecularization, Internetworking, Disintermediation, Convergence, Innoavation, Prosumption, Immediacy, Globlization, dan Discordance (Tapscott, 1996).
Baca juga :
Sorry, the comment form is closed at this time.