Untuk ke sekian kali penulis mengurus pajak kendaraan di SAMSAT Kota Banda Aceh. Yang sudah pasti, tidak ada calo dan pungli. Setelah isi dan masukkan formulir di Loket 1, wajib pajak hanya menunggu proses input data, selanjutnya dipanggil untuk melakukan pembayaran pajak di Loket 2 di ruang yang sama. Jumlah uang yang dibayarkan persis seperti yang tertera di lembaran nota pajak kendaraan, tak lebih dan tidak kurang.
Proses yang wajib pajak (baca: penulis) rasakan, saat mulai mengisi form dan memperoleh antrian nomor 110 di saat antrian panggil nomor 90 pada jam 10.47. Dan dipanggil di loket 2 jam 11.16. Berarti ada 20 antrian di depan WP yang diproses, atau diperlukan waktu 1,55 menit per orang. Sungguh cepat. Kemudian wajib pajak membayar sesuai tertera di TNKB. Setelah melakukan pembayaran menunggu proses cetak TNKB baru yang sudah “hidup kembali”. Dan dipanggil lagi pada jam 12.02. dengan asumsi 20 wajib pajak yang diproses, berarti hanya dibutuhkan waktu 2,01 menit per orang untuk selesai dan memperoleh TNKB baru, total waktu dari awal hingga selesai untuk proses membayar pajak kendaraan bermotor hanya 3.56 menit per orang. SAMSAT Kota Banda Aceh luar biasa. Semoga kantor layanan publik lainnya di lingkungan pemerintahan kota banda Aceh bahkan provinsi bisa meneladani kinerja Samsat Kota Banda Aceh.
Sekelumit cerita pelayanan publik di kota madani ini walau masih sangat jauh tetapi dapat dijadikan teladan untuk merangkai cita-cita para pemimimpin kota di seluruh Indonesia yang tergabung dalam komunitas kota cerdas, Smart City, yang menjadi impian hampir seluruh walikota di seluruh Indonesia. Beberapa kota besar di Indonesia sudah mulai menerapkan konsep “smart city” di antaranya adalah Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Namun belum diperoleh data yang rinci sejauhmanakah indikator-indikator smart city telah dicapai oleh kota-kota tersebut.
Kota cerdas (Smart City) didefinisikan sebagai sebuah kota yang dapat mengetahui (sensing) keadaan kota di dalamnya, memahami (understanding) keadaan tersebut lebih jauh, dan melakukan aksi (acting) terhadap permasalahan tersebut. Tujuan dari adanya smart city adalah untuk membentuk suatu kota yang aman, nyaman bagi warganya serta memperkuat daya saing kota dalam hal perekonomian. Sehingga dapat dijelaskan bahwa tujuan dari smart city adalah untuk menunjang kota di dalam dimensi sosial (keamanan), ekonomi (daya saing) dan lingkungan (kenyamanan).
Untuk dapat mengetahui (sensing) dengan cepat keadaan kota dengan segala persoalannya tentu membutuhkan perangkat yang tidak sederhana, karena melibatkan banyak proses dan transaksi pelayanan publik di setiap unit kerja yang saling berhimpitan atau saling keterkaitan antara satu unit kerja dengan yang lainnya, sehingga poin ini membutuhkan perangkat teknologi tinggi yang mampu mengatur dan menampilkan informasi penting tentang tata kelola birokrasi dalam pemerintahan. Poin ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa untuk menjadi sebuah kota cerdas pengadaan perangkat teknologi informasi adalah merupakan keniscayaan.
Unsur kedua adalah memahami (understanding) keadaan tersebut secara mendalam. Pada tahap ini dibutuhkan peran sumber daya manusia yang benar-benar memiliki kemampuan dalam memahami persoalan dan memiliki kebiasaan problem solving sehingga daftar panjang persoalan kota benar-benar menjadi acuan berfikir para eksekutif untuk bekerja lebih nyata menyelesaikannya.
Ketiga adalah aksi (acting) yang menjadi tombol utama dari semua tahapan dalam prosesi kota cerdas. Yang sangat dibutuhkan dalam tahapan ini adalah keberanian pimpinan untuk mengambil keputusan karena pertimbangan-pertimbangan subjektif akan sangat kuat mewarnai sikap eksekutif. Dari sekian banyak pertimbangan yang dijadikan rujukan, pertimbangan politis adalah yang paling sulit dihindari, bahkan pertimbangan politis dapat mematikan tombol eksekusi jika dibarengi dengan politisasi.
Praktik Kota Cerdas
Surabaya selama dipimpin walikota Tri Rismaharini sudah sejak lama menerapkan konsep kota cerdas, bahkan menjadi pionir penerapan konsep tersebut di Indonesia. Sebut saja misalnya seperti; e-government, e-procurement yang sudah diterapkan di Kota Surabaya sejak tahun 2002. Sedangkan yang lainnya seperti e-budgeting, e-delivery, e-controlling, dan e-monitoring diterapkan menyusul. Dalam konsep e-monitoring, pemerintah kota Surabaya misalnya bisa memantau situasi seluruh kota, mulai dari lalu lintas jalan raya hingga kondisi tempat pembuangan sampah.
Dalam pemantauan sampah, walikota Surabaya bisa mengetahui berapa ton sampah yang masuk ke TPA setiap hari, berapa nomor truk yang mengangkut dan dari mana truk tersebut memungut sampah. Melalui informasi layanan GPS, CCTV, dengan menggunakan inovasi Smart System Platform (SSP), pemerintah dapat memantau secara real time kegiatan-kegiatan yang berkaitan seperti kepegawaian, kesehatan, pendidikan, dan kependudukan sehingga pemerintah dapat mengambil keputusan dan bertindak dengan cepat.
Kontradiksi Kultural
Sekalipun kota cerdas identik dengan teknologi informasi karena konsepnya mengetengahkan sebuah tatanan kota yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan tepat melalui perangkat tekonologi canggih dan cerdas, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor sumber daya manusia adalah faktor utama yang akan menentukan apakah kecerdasan perangkat teknologi tersebut mampu diimbangi dengan kecerdasan sumber daya manusianya. Hal ini merupakan permasalahan besar dalam masyarakat kita, sebagaimana yang disinyalir oleh para ahli teknologi sebagai kontradiksi kultural (cultural lag), teknologi yang tinggi yang disematkan dalam masyarakat yang tidak memahami bahkan tidak mampu mengoperasikan teknologi tersebut, atau tidak memiliki inisiatif melakukan bypass terhadap birokrasi yang dianggap tidak mengganggu substansi kerja. Teknologi cerdas tetapi masyarakatnya tidak cerdas, ini merupakan jurang pemisah antara teknologi dan masyarakat yang tidak searah dan saling membelakangi.
Contoh konkrit dari cultural lag dapat kita saksikan beberapa waktu terakhir ini, bagaimana walikota Surabaya sangat murka kepada jajaran di pemerintahannya karena lambatnya penanganan administrasi pelayanan E-KTP. Padahal sistem IT sudah terintegrasi dengan canggih dan baik. Ternyata disebabkan oleh lambannya tenaga operator melakukan tindakan penting dan ketidakmampuan sumberdaya manusianya memahami substansi masalah yang dihadapi. Akibatnya proses administrasi berjalan sebagaimana birokrasi yang diselenggarakan tanpa keterlibatan teknologi informasi, tetap lambat. Padahal sistem elektronik yang diadopsi ke dalam sistem birokrasi gunanya untuk memangkas birokrasi itu sendiri agar terjadi peningkatan kinerja pemerintahan dalam melayani masyarakat.
Baca juga :
Sorry, the comment form is closed at this time.