May 292019
 

Dampak Ekonomi Internet ShutdownBabak akhir proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia sudah hampir selesai diproses, seluruh fikiran masyarakat Indonesia sedang bertumpu pada satu titik kesimpulan, menunggu presiden “baru”. Tetapi negeri ini harus berhadapan dengan masalah lain yang terdampak dari perilaku politik para elit karena perbedaan sikap dalam menerima hasil akibat dari proses yang bermasalah. Sehingga masyarakat pemilih yang merasa proses demokrasi ini tidak jurdil melakukan aksi demo di ibukota dalam jumlah massa yang sangat besar.

Demo yang berlangsung 22 Mei 2019 baru-baru ini harus diakui berdampak signifikan terhadap roda ekonomi masyarakat karena adanya tekanan psikologis terhadap para pedagang dan pebisnis di pusat ibukota Jakarta. Pasar Tanah Abang yang merupakan pusat grosir terbesar di Indonesia shutdown sementara saat aksi demo berlangsung. Jika kita deskripsikan, terdapat lebih kurang 11.000 pedagang yang membuka lapak di blok A, B, PGMTA, dan di areal jembatan Tanah Abang. Menurut rilis KADIN Pusat, rata-rata omzet para pelapak mencapai 4iuta – 5juta perhari yang diperoleh dari 140ribu pengunjung setiap harinya, dan pada bulan ramadhan biasanya pengunjung melonjak mencapai 250ribu orang perhari dengan peningkatan omzet mencapai 10juta – 15juta per orang. KADIN memperkirakan kerugian akibat tutupnya Tanah Abang akibat aksi demo pada bulan ramadhan ini mencapai 165 milyar.

Kekhawatiran para pedagang pasar terhadap kerusuhan merupakan alasan yang kuat untuk tidak membuka toko karena akan sangat beresiko terjadinya penjarahan barang-barang dagangan mereka. Walau sebenarnya, dalam konteks proses politik di Indonesia masa kepemimpinan Jokowi-JK telah terjadi beberapa kali aksi massa, ternyata tidak terjadi kerusuhan sebagaimana yang diblow-up oleh sebagian media mainstream dan media sosial di dunia maya, tetapi aksi masa yang terakhir ini tercium aroma yang berbeda dari aksi massa sebelumnya, dimana kemungkinan kerusuhan terjadi karena pertarungan para elit politik sudah berada pada puncaknya dan sebagai final countdown yang menentukan siapa yang akan menjadi the next president. Karena hanya ada dua calon, maka para pihak yang berkepentingan terhadap pemenangan calonnya akan all out bertarung sehingga situasi diperkirakan kurang kondusif bagi para pedagang di pasar Tanah Abang dan pasar-pasar lain yang terdampak.

Tutupnya pasar Tanah Abang sebagai urat nadi perdagangan, bukan merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi menurunnya giat ekonomi nasional, khususnya Jakarta, kebijakan pemerintah melalui kementrian Kominfo yang membatasi penggunaan media sosial dalam rangka memutus arus keluar masuk informasi terkait dengan situasi politik saat ini dimana seliweran informasi hoax semakin sulit dibendung dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkeruh suasana. Namun di satu sisi menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan terhadap bisnis online yang selama ini juga menjadi prioritas pemerintahan Jokowi dalam upayanya mendorong para pelaku bisnis online agar dapat berkompetisi dengan baik. Justeru spektrumnya lebih luas berdampak melintasi batas karena pasar yang disasar para bisnis online bukan hanya lokal, tetapi bisnis global.

Ekonomi Internet Shutdown
Perhatian presiden Jokowi terhadap bisnis digital bukan tanpa alasan, sebagaimana beliau sampaikan saat menghadiri acara pembukaan Digital Start Up pada tahun 2018 lalu, bahwa ekonomi digital berkontribusi 8,5% terhadap pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Angka tersebut meningkat dibanding tahun 2017 yang hanya berkontribusi sebesar 7,3%. Dan Jokowi menyatakan bahwa angka tersebut jauh tumbuh dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,1%. Bahkan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa PDB Indonesia tahun 2018 mencapai sekitar Rp. 14 Triliun dengan kontribusi ekonomi digital mencapai Rp. 1 triliun. Pencapaian ini merupakan lompatan-lompatan yang perlu diperkuat dengan memperkokoh kebijakan yang serius berkaitan dengan kelancaran proses transaksi bisnis digital. Terbitnya kebijakan Kementrian Kominfo terkait pembatasan penggunaan medsos khususnya untuk konten gambar dan video, maka dapat ditengarai menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Berapa besar kira-kira kerugian yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut?

Saat ini sudah tersedia tool yang memilki kemampuan untuk memperkirakan dampak ekonomi dari gangguan internet, pemadaman data seluler, atau pembatasan aplikasi yang disebut dengan The NetBloks Cost of Shutdown Tool (COST). Aplikasi ini menggunakan indikator dari Bank Dunia, ITU, Eurostat (Statistical Office of the European Communities/ Kantor Statistik Komunitas Eropa), dan Sensus AS. Aplikasi ini menggunakan angka PDB nasional dan populasi regional untuk melakukan penilaian dampak ekonomi subnasional, menggunakan metode Brookings Institution dengan indikator pembangunan, selain itu, juga menggunakan teknik GDP (Gross Domestic Product) klasik untuk menilai shutdown internet secara parsial terhadap platform media sosial yang dibatasi atau difilter.

Berdasarkan hitungan COST terhadap pembatasan media sosial di Indonesia yang dikalkulasi untuk satu hari; dampak kerugian yang dialami Jakarta berdasarkan layanan yang diblokir dan difilter, untuk 3 (tiga) jenis media sosial, yakni; WhatsApp, Facebook dan Instagram mencapai $1,577,469 atau setara dengan 22,5 milyar per hari dengan nilai kurs per tanggal 22 Mei 2019 sebesar Rp. 14.328. Hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai berapa hari pemerintah akan memberlakukan pembatasan ini. Jika sampai seminggu saja, itu artinya akan ada kerugian yang mencapai 158 milyar per minggu untuk wilayah Jakarta. Untuk Surabaya, dengan layanan pembatasan media sosial yang sama, kerugian mencapai 6,2 milyar per hari, Bandung mencapai angka 4,4 milyar, Medan mencapai 4,6 milyar, dan Semarang 3,3 milyar per hari. Kalkulasi kerugian ini hanya parsial dan belum memasukkan media youtube dan twitter. Jika dikalkulasi secara nasional tentu angka kerugiannya terlihat sangat besar bagi ekonomi Indonesai akibat dari pembatasan tiga jenis media sosial tersebut.

Melihat situasi terkini, pembatasan penggunaan medsos oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi justeru menjadi bumerang bagi kebijakan umum pemerintah dalam memajukan dunia bisnis digital, fungsi koordinasi antara kementiran dalam Kabinet Kerja Jokowi belum terlihat padu. Di satu sisi memberikan peluang yang positif, tetapi kebijakan lain secara sepihak dapat menurunkan kinerja ekonomi. Keputusan parsial yang merupakan sub-sistem dari sistem besar dalam pemerintahan belum bergerak searah, konon lagi menyangkut persoalan politik dan hukum, sering sekali mengabaikan aspek dan dampak ekonomi yang ditimbulkan di kalangan masyarakat bawah.

Kondisi politik bisa saja stabil dalam waktu cepat, tetapi bisa jadi semakin memanas pasca pengumuman pemenang pilpres dalam waktu dekat ini. Artinya, kemungkinan pemerintah memberlakukan pembatasan penggunaan media sosial akan terus berlangsung hingga persoalan politik pilpres ini selesai dan semua pihak sudah menerima. Semakin panjang durasi pembatasan media sosial, maka akan semakin lama dampak buruk ekonomi digital ini melanda Indonesia dan akan semakin luas, karena pengguna internet yang mencari nafkah menghidupi keluarga dari bisnis online memiliki kesabaran yang terbatas. Pada tahap awal barangkali mereka masih bisa mengatasi dalam jangka waktu pendek karena masih memiliki tabungan, tetapi untuk jangka panjang akan menjadi masalah baru yang menimbulkan kepaninkan.

Situasi saat ini menjelaskan bahwa kalkulasi ekonomi di dunia serba digital saat ini tidak bisa semata-mata dilihat dari aspek perdagangan bisnis yang menggunakan sistem konvensional dengan mematok Tanah Abang sebagai ukuran tunggal, tetapi harus memasukkan perspektif bisnis digital yang menjadi media utama penyampaian pesan-pesan bisnis secara lebih luas dalam aspek pasar dan pemasarannya. Tanpa peran internet, arus lalu lintas barang-barang bisnis dan perputaran uang akan melambat dan mengganggu sistem perekonomian negara yang selama ini sudah berkomitmen untuk mendukung dan mendorong bisnis digital sebagai sarana untuk memicu pertumbuhan ekonomi.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Rabu 29 Mei 2019. Untuk membaca melalui e-paper, silahkan klik Link ini

May 012019
 

20190430_173614Efisien dan efektif merupakan frasa yang selama ini menjadi satu-satunya formula yang “didoktrinasi” oleh organisasi bisnis menghadapi persaingan pasar. Pasalnya adalah, organisasi harus hidup dalam jangka waktu yang lama di masa depan (going concern) untuk memenuhi hasrat kesejahteraan anggotanya melalui upaya-upaya mendatangkan profit secara progresif di setiap periode pembukuan. Profitabilitas yang progresif adalah harga mati karena selain adanya tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan, ianya juga harus berlomba dengan nilai barang yang terus meningkat setiap saat, dimana akan berpengaruh kepada ongkos produksi yang berdampak pada pengambilan keputusan penetapan harga. Muara utama dari seluruh aktifitas bisnis bukan semata mensejahterakan anggota secara umum, tetapi secara lebih khusus adalah pemilik modal yang menginginkan pertumbuhan aset mereka dalam skala yang terus meningkat.
Mulanya eksistensi teknologi diharapkan dapat membantu mengaplikasikan konsep ekonomi berbagi (sharing economy), yang merujuk pada sikap sebagaimana yang disebut Rhenald Kasali, yaitu partisipasi dalam kegiatan ekonomi yang menciptakan value, kemandirian, dan kesejahteraan, yakni partisipasi dari para pemain yang terlibat dalam ekosistem ekonomi berbagi tersebut melalui perannya masing-masing. Sementara yang idle, atau aset-aset yang menganggur lebih diberdayakan. Proses ini kemudian akan menciptakan pola bagi hasil yang akan meningkatkan kesejahteraan (welfare) dan efisiensi. Situasi ini dapat kita asumsikan sebagai sebuah kondisi dimana ekonomi dalam konteks income generating berada pada tataran desentralisasi ekonomi karena simpul-simpul profit tidak menumpuk pada sekelompok kecil pemilik modal besar, tetapi terdistribusi merata secara sebaran walau tidak mungkin terdistribusi merata secara kuantitas. Meratanya sebaran distribusi ini dapat dikatakan sebagai terdistribusi secara kualitas, karena semakin luas sebarat distribusinya, maka akan semakin memperkuat perekonomian di berbagai tempat dan tentu saja semakin meningkatkan kesejahteraan manusia secara global.
Pertanyaannya adalah apakah kemudian para pemilik modal melalui agensi mereka di berbagai organisasi bisnis menikmati situasi sharing economy yang membentuk desentralisasi ekonomi ini?

Efisiensi Mesin dan Manusia
Sebagaimana saya mengawali tulisan ini, efisiensi, setidaknya hingga saat ini, adalah the only way to increase profits, satu-satunya jalan untuk meningkatkan profit agar bisnis tetap berada pada posisi progresif. Cara-cara lain sudah banyak ditempuh untuk meningkatkan profit dan diadopsi oleh banyak organisasi bisnis, sebut saja; memperluas pasar dan meningkatkan jumlah produksi, menaikkan harga, dan menurunkan ongkos produksi secara konvensional. Tetapi nyatanya tingkat profitabilitasnya belum memuaskan para pemilik modal karena beberapa faktor diantaranya adanya kenaikan harga-harga di pasar yang menyebabkan meningkatnya tuntutan karyawan untuk dinaikkan gaji mereka. Selain itu dipastikan bermunculan pemain-pemain baru yang memproduksi barang yang sama di pasar yang sama sehingga akan menghambat pertumbuhan pasar bisnis di perusahaan yang telah lebih dulu eksis karena tergerus oleh pemain baru tersebut.
Pada kondisi ini, sudah lazim perusahaan mengadopsi berbagai model teknologi untuk meningkatkan kualitas produksinya, tetapi harus diingat bahwa adopsi teknologi tentu saja bisa dilakukan oleh semua perusahaan sehingga perlombaan dalam hal mengadopsi teknologi tak dapat dipungkiri akan membutuhkan biaya yang besar, karena keberadaan teknologi harus diiringi dengan peningkatan sumber daya manusia sebagai operator teknologinya. Kedua faktor produksi ini memiliki peran yang sangat penting. Di satu sisi harus memiliki mesin yang bersifat statis, tetapi di sisi lain harus ada sumber daya manusia sebagai operator yang bersifat dinamis dan dibutuhkan untuk menganalisis lingkungan internal dan eksternal perusahan yang belum dapat didelegasikan kepada mesin-mesin yang statis tersebut. Tetapi, sekali lagi, ongkos yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kedua faktor produksi tersebut (manusia dan mesin) sangat besar. Pada titik inilah bertubrukan konsep desentralisasi dan sentralisasi ekonomi, karena terjadi paradox, yakni ekpektasi meningkatnya profit sebagai dampak penggunaan teknologi, tetapi juga belum tentu menurunkan biaya/ pengeluaran untuk kebutuhan gaji karyawan serta pelatihan peningkatan SDM guna menyesuaikan dengan adopsi teknologi baru.

Revolusi Industri 4.0 dan Re-sentralissasi
Terminologi yang paling populer yang dilahirkan oleh konsep Revolusi Industri 4.0 adalah Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT). AI secara singkat dapat digambarkan sebagai kecerdasan buatan dimana kemampuan otak manusia disalin, diadopsi dan ditanamkan (diisntall) ke sebuah mesin sehingga mesin tersebut memiliki kemampuan menafsirkan data eksternal yang ada di lingkunannya sebagaimana manusia berfikir untuk melakukan sesuatu setelah mendapat informasi dari lingkungan sekitarnya. Kemampuan AI menafsirkan data diperkuat dengan IoT sebgai perangkat yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan berbagai data dari berbagai tempat dan lokasi baik jarak dekat maupun jarak jauh melalui sistem sensorik sehingga seluruh penafsiran data yang dilakukan oleh AI menjadi sebuah tindakan/ aktifitas yang interaktif layaknya manusia melakukan tindakan. Untuk menyederhanakan kedua istilah ini, kita bisa melihat bagaimana robot melakukan aktifitas. Dulu robot hanyalah sebuah mesin yang tidak memiliki kemampuan interaktif dan otomatisasi. Tetapi, saat ini robot bukan sekedar perangkat keras manual, karena dalam kepala robot juga sudah ditanamkan perangkat otak yang sistem kerjanya diadopsi dari sistem kerja otak yang memiliki kemampuan berfikir dan bertindak dengan sistem otomatisasi.
AI dan IoT di satu sisi menciptakan lompatan teknologi yang menghasilkan profitabilitas yang tinggi, tetapi di sisi lainnya akan mengeliminasi eksistensi sumber daya manusia demi efektifitas dan efisiensi untuk sebagian kecil manusia. Seluruh proses pencarian metode efisiensi oleh organisasi bisnis pada akhirnya juga menarik kembali alur ekonomi berbagi jauh ke belakang dimana simpul-simpul ekonomi yang tadinya didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang sangat luas, radiusnya semakin menyempit karena penggunaan teknologi dalam memproduksi barang dan jasa hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar yang memiliki kemampuan mengadakan perangkat teknologi canggih tersebut, selebihnya adalah konsumen yang terpaksa merelakan diri untuk mengkonsumsi seluruh hasil produksi tersebut dikarenakan munculnya kebutuhan, keinginan ataupun kebutuhan yang dimunculkan untuk membenarkan bahwa suatu produk dibutuhkan oleh masyarakat. Seluruh kekuatan ekonomi yang pasarnya seluas keberadaan masyarakat global, tetapi simpulnya tersentralisasi di sebuah sistem global yang pemiliknya tidak lebih dari ratusan orang dibanding jumlah penduduk bumi yang milyaran. Revolusi industri 4.0 atas nama efisen dan efektif, me-resntralisasi ekonomi dari entitas simpul-simpul ekonomi digital di belahan bumi terpusat ke sebuah sistem yang diciptakan perusahaan pemilik modal besar.
Sumber daya manusia, walaupun dipuja-puja sebagai aset yang tak dapat dibandingkan nilainya dengan aset lain dalam organisasi, sebagaimana dimaktub oleh Fitz-enz dalam bukunya The ROI of Human Capital, bahwa “All the assets of an organization, other than people are inert”, seluruh aset organisasi selain manusia tidak bergerak”, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa eliminasi juga menanti.
Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki bonus demografi, jumlah millenial yang besar dengan sumber daya alam yang melimpah. Revolusi Industri 4.0 adalah arus besar yang tidak bisa dibendung yang dapat mendatangkan keuntungan, tetapi juga bisa menjadi kegelapan dalam dunia kerja yang akan mengganggu stabilitas negara jika tidak mengantisipasi bonus demografi sebagai sebuah keunggulan bersaing dalam dunia global.

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Waspada, Medan, 30 April 2019. Versi e-paper dapat dibaca DISINI