May 272017
 

P_20170527_130401_1Akhir-akhir ini, warga kota Subulussalam, salah satu kota yang terletak pada bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Lawe Alas (Kabupaten Aceh Tenggara) dan Kabupaten Dairi (Sumatra Utara), bertetangga dengan Kabupaten Aceh Singkil di bagian Selatan sedang heboh atas rencana pemerintah kota membangun patung dampeng dalam bentuk tiga dimensi yang akan diletakkan di simpang jalan Malkusshaleh Kecamatan Simpang Kiri. Bahkan sudah disahkan anggarannya dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) Subulussalam tahun 2017 senilai Rp1,9 miliar melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Subulussalam.

Dampeng merupakan seni tari yang berasal dari Kampong Laemate (Air Mati). Kampung Laemate termasuk salah satu kampung yang mempunyai sejarah panjang di area Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Kota Subulussalam yang bersambung hingga ke Aceh Singkil.

Heboh penolakan terhadap ‘proyek’ patung ini memiliki banyak dimensi, setidaknya, beberapa alasan masyarakat menolak adalah karena (1) tidak sesuai syariat, (2) bertentangan dengan adat istiadat, (3) pemborosan dana dengan keadaan ekonomi Subulussalam kurang baik, (4) masih tingginya angka kemiskinan, dan (5) tingginya angka pengangguran. Barangkali jika diinventaris lebih dalam akan ada beberapa hal lagi yang dapat dijadikan alasan penolakan tersebut.
Terlepas dari hiruk pikuk kepentingan pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan patung tersebut, sejatinya pihak pemerintah dan masyarakat Subulussalam haruslah berfokus pada visi pembangunan Subulussalam sebagai kota yang masih berusia muda dan membutuhkan jaminan ‘nutrisi’ yang baik untuk tumbuh kembang sebagai kota lintas yang strategis. Sangat disayangkan, jika setiap momen pilkada akan tiba, selalu ada issue-issue yang dapat memanaskan suasana masyarakat mengarah pada perpecahan dari kondisi yang selama ini sudah nyaman.

Mengamati perkembangan Subulussalam, secara fisik terlihat terus bangkit, tetapi data-data yang mengkonfirmasi kondisi perekonomian Subulussalam belum bisa dikatakan menggembirakan. Menurut data BPS 2016, tingkat kemiskinan kota Subulussalam tahun 2015 masih tergolong tinggi mencapai 15ribu jiwa atau 20% dari 75ribu jumlah penduduk kota Subulussalam, hanya berbeda 2% di atas Aceh Singkil yang bertengger di posisi kedua daerah termiskin di Aceh. Sedangkan tingkat pengangguran di kota Subulussalam kecenderungannya juga meningkat sejak 2012 berada pada angka 8,25% meningkat pada tahun 2013 pada angka 9,85%. Artinya laju perumbuhan pengangguran mencapai 1,6% setiap tahunnya. Angka pertumbuhan pengangguran dan kemiskinan ini justeru saling kejar-mengejar dengan tingkat perutumbuhan penduduk yang setiap tahun mencapai rata-rata 2,41%. Ini artinya bahwa pemerintah belum dapat menjalankan program pembangunan ekonomi masyarakat kota Subulussalam.

Berkaitan dengan rencana pembangunan patung dampeng, maka ada beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan; pertama, patut kita apresiasi niat pemkot membangun patung untuk menarik perhatian masyarakat agar kota Subulussalam lebih dukenal dan terasa hidup dari kunjungan orang-orang yang datang dan berselfie-ria di lokasi patung tersebut. Tetapi, kita tidak tahu detil, apakah ada dilakukan analisis untuk mengetahui seberapa besar dampak ekonominya terhadap masyarakat kota Subulussalam? Kedua, Manakah lebih besar dampak ekonominya jika dana tersebut di-re-alokasi untuk pembangunan jembatan penyeberangan di desa Dah yang hingga saat ini belum diselesaikan? Atau untuk membangun museum ataupun sanggar seni yang benar-benar menghidupkan seni tari dampeng sebagai tradisi dan budaya seni kota Subulussalam? Atau lebih memfokuskan pada pembinaan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pertanian dan perkebunan? Atau barangkali dapat membantu meningkatkan kualitas syariat, adat istiadat, ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan, dan pengangguran? Atau begitu urgen-kah patung tari dampeng untuk dibangun pada saat kondisi masyarakat seperti saat ini?

Tanpa bermaksud menggurui, barangkali perlu saling mengingatkan bahwa, apapun bentuk aktifitas pembangunan yang dilakukan pemerintah, orientasinya hanya bermuara kepada satu hal, yaitu meningkat kesejahteraan masyarakat yang di dalamnya setidaknya terdiri dari tiga unsur; yakni, pemerintah, pihak pengembang, dan masyarakat.

Pertama, Pemerintah sebagai eksekutif baik dalam perpektif kelembagaan maupun individu yang diberi amanah memerintah. Bahwa pembangunan merupakan program yang harus dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan janjinya pada saat pilkada. Keuntungannya kepada individu adalah bahwa orang-orang yang diamanahkan dalam pemerintahan akan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat jika kemanfaatannya benar-benar menyentuh masyarakatnya.

Kedua, aktifitas pembangunan memang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan orang-orang yang berada di sekeliling eksekutif yang membantunya memperoleh tempat sebagai pemegang mandat eksekutif. Maka mereka niscaya dimasukkan dalam lingkaran aktifitas yang membantu jalannya pembangunan melalui pengalokasian pekerjaan.

Ketiga, masyarakat sebagai pemegang saham terbesar sebuah pemerintahan yang selalu menunggu realisasi dari program-program yang dijanjikan pada saat mereka butuh suara di hari pilkada. Artinya bahwa setiap pembangunan sarana dan prasarana selalu melibatkan dan memikirkan nilai dan manfaatnya bagi peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat sebagai mesin ekonomi sektor riil.

Ketiga unsur ini sebenarnya dapat disinergikan dalam sebuah program yang menyentuh seluruh unsur tersebut, sehingga terlepas dari aroma kepentingan sesaat yang hanya dapat dinikmati oleh salah satu atau dua kelompok saja dan mengabaikan kelompok lain. Konkritnya, pembangunan yang dijalankan harus selalu menguntungkan ketiga stakeholder ini, yaitu; pemerintah (baik secara kelembagaan maupun individu yang ada di dalamnya), pelaku usaha, kontraktor, konsultan, dan pengembang, sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana pekerjaan dan membantu menurunkan tingkat pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja. Dan masyarakat yang juga harus memperoleh manfaat ekonomi dari semua kegiatan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Jika prinsip pembangunan ini menjadi landasan dasar dalam setiap kegiatan pembangunan, maka dapat diapstikan bahwa ekonomi daerah akan ikut bergerak, angka-angka indikator ekonomi daerah akan terus membaik.

Penolakan masyarakat terhadap pembangunan patung tari dampeng ini tidak harus direspon dengan issue-issue keyakinan beragama dalam lingkungan masyarakat, karena dipandang dari perspektif kemanfaatan dan keuntungan material pun sebenarnya pembangunan ini dapat ditunda terlebih dahulu atau ditiadakan pun tidak akan menjadi persoalan. Persoalan ini hanyalah persaoalan dimana masyarakat kota Subulussalam secara umum masih berada pada anak tangga pertama dan paling dasar yang dikategorikan oleh Maslow sebagai kebutuhan fisiologis (physiological). Sebagian berada pada tingkat kebutuhan rasa aman (safety), dan sebagian lagi ada yang berada pada anak tangga kasih sayang ( love). Pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk hal-hal yang lebih mendasar ini sebaiknya menjadi pertimbangan prioritas dalam melakukan pembangunan daerah.

Membangkitkan girah seni tari dampeng sebagai khazanah budaya lokal adalah upaya yang positif, tetap membangun patung dampeng belum memiliki argumentasi yang mencukupi untuk saat ini baik dari sisi sosial masyarakat maupun aspek ekonomi kota Subulussalam.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Waspada Medan, Sabtu, 27 Mei 2017. Versi online-nya dapat diakses di Opini Harian Waspada

Baca juga :

May 092017
 

Menata Ekonomi Berkeadilan_cropToko modern dalam wujud ritel saat ini tumbuh pesat di seluruh Indonesia, pangsa pasarnya semakin melebar dan mengiris pangsa pasar ritel tradisional, jika dihadapkan antara pangsa pasar ritel tradisional dan modern, maka terlihat jelas pangsa pasar ritel tradisional semakin hari semakin mengecil karena digerus oleh keberadaan ritel modern.

KPPU merilis gesekan pangsa pasar antara modern dan tradisional ini dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2000 pangsa pasar ritel tradisional berada pada angka 65% sedangkan ritel modern memiliki pangsa pasar 35%. Namun sejak tahun 2004, pertumbuhan pangsa pasar ritel modern terus meningkat dari 35% mencapai 39%. dengan tingkat pertumbuhan pangsa pasar pada angka tersebut, pada tahun 2008 saja, pangsa pasar ritel modern sudah mencapai 53% sedangkan ritel tradisional menurun menjadi 47%. Angka-angka ini adalah akumulasi dari seluruh pertumbuhan pasar secara nasional. Barangkali persentase ini akan jauh lebih berfluktuasi dan fantastis jika dilihat secara detil per provinsi atau bahkan per kabupaten di seluruh Indonesia.

Kehadiran pengusaha ritel modern ini di satu sisi memang membawa berkah bagi konsumen karena akan dapat menyeimbangkan harga di pasar serta terjaminnya ketersediaan barang yang lebih variatif memenuhi kebutuhan dengan kualitas yang baik, tetapi di sisi lain berdampak pada tergusurnya keberadaan ritel-ritel tradisional yang secara pelan tapi pasti akan kehilangan momen meraih peluang ekonomi dalam skala yang kecil sekalipun, karena dapat dipastikan bahwa ritel tradisional tidak akan mampu bersaing dari aspek apapun dinilai, atau jika dikomparasi kekuatan ritel modern dan tradisional dari aspek bauran pemasaran yang mencakup product (produk) yang memiliki ciri kualitas, kemasan, feature, ukuran, pelayanan dan garansi. Demikian juga dengan dimensi price (harga) yang memiliki ciri harga bersaing dan metode bayar, place (tempat) yang strategis dan interior yang menarik, dan promotion (promosi). Tentu semuanya mutlak dimiliki ritel-ritel modern.

Di samping itu, melihat kenyataan produk-produk yang dijual di etalase ritel-ritel modern terkesan tanpa batas, dalam arti, semua produk-produk kebutuhan hidup rumah tangga dapat dijual sekalipun barng-barang yang sebenarnya jika dilihat dari aspek utility-nya tidak terlalu dipandang penting, bahkan dapat diadakan oleh produsen-produsen lokal yang selama ini kita lihat masih belum ditampung oleh ritel-ritel modern. Ini tentu saja akan menutup kemungkinan berkembangnya usaha ritel tradisional yang selama ini menjadi andalan pencari nafkah masyarakat menengah ke bawah.

Ekonomi Berkeadilan

Jauh-jauh hari, pemerintah telah menyadari fenomena ketidakadilan ekonomi dalam masyarakat Indonesia, dan memberikan signal serta dorongan kuat untuk mewujudkan keadilan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang dinyatakan dalam berbagai aturan. Dalam klausul poin (a) Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 menyatakan bahwa dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran, dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Selanjutnya dinyatakan dalam poin (b) bahwa untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen;

Pesan keras dalam peraturan presiden tersebut mestinya menjadi daya ungkit semangat ekonomi berkeadilan melalui implementasi aktifitas ekonomi yang melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat sebagai salah satu faktor produksi yang dapat dijadikan mitra penyedia/ pemasok barang-barang yang dapat diproduksi di lingkungan masyarkat lokal. Ini menjadi pemicu kuat akan terjadinya sharing economic di antara para pelaku usaha kecil menengah yang bermitra dan terlibat dalam proses-proses transaksi ekonomi yang berlangusng. Dan jika kemitraan ini bertahan dalam jangka waktu yang lama dapat dipastikan bahwa ekonomi berkeadilan bisa mengalami masa yang berbunga-bunga.

Keengganan memanfaatkan produk lokal oleh ritel-ritel modern ini akan menjadi beban berat pemerintah yang visi ekonominya untuk melakukan pemeratan dan keadilan ekonomi justeru menjadi penumpukan kekayaan hanya kepada pemodal-pemodal besar pemiliki ritel modern yang akan terus tumbuh dengan cepat dan menyedot banyak uang masyarakat desa untuk dibawa ke kota karena mereka memiliki sumber daya yang jauh melebihi kapasitas pelaku usaha kecil serta sistem bisnis yang mapan dengan peralatan yang modern dan canggih. Simpul-simpul ekonomi yang dibangun ritel berjejaring ini berdiri bak jamur tumbuh di musim hujan di seluruh pelosok tanah air dan menghimpun uang-uang masyarakat melalui kegiatan transaksi belanja. Salah satu cara untuk mengantisipasi munculnya persoalan ekonomi yang lebih berat ke depan adalah, ritel-ritel modern harus bersedia menampung produk-produk lokal. Dengan demikian sebagian dari uang belanja masyarkat akan tetap berputar di daerah tersebut walaupun persentasenya kecil, tetapi bila rutin dan perputarannya cepat akan sangat membantu berderaknya gerigi-gerigi ekonomi di lingkungan masyarakat.

Barangkali yang menjadi pertanyaan adalah persoalan kualitas produk lokal. Sebagaimana diketahui bahwa produk-produk yang dipajang di outlet dan ritel-ritel modern bukanlah produk yang diletakkan begitu saja, tetapi produk tersebut memiliki standar kualitas yang terukur melalui serangkaian riset yang panjang sehingga menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual di pasar. Inilah tantangan kemitraan bisnis di dunia global saat ini, selain melakukan transaksi ekonomi yang berfungsi untuk mencari profit, kemitraan juga memiliki dimensi pemberdayaan yang dapat mengembangkan dan meningkatkan standar dan kualitas produk lokal yang akan dijadikan sebagai salah satu menu dalam etalase ritel modern. Oleh karenanya, ritel-ritel modern yang memiliki potensi sumber daya manusia yang berkualitas dapat melakukan pelatihan peningktan kapasitas sumber daya manusia dan kualitas produk yang berstandar kepada mitranya (orang lokal). Hal ini akan sangat membantu masyarakat untuk lebih bersemangat dan giat bekerja memperbaiki kualitas diri dan produk yang ditawarkan untuk diakomodir pada etalase ritel-ritel modern.

Keuntungan lain adalah, produk-produk lokal akan dengan cepat dapat menembus pasar-pasar global, setidaknya nasional, karena ritel modern memiliki jejaring di seluruh tanah air bukan hanya di kota-kota, tetapi sudah sampai di pelosok desa. Dengan modal jejaring ini, ritel modern dapat melakukan pertukaran silang barang-barang lokal untuk dijual di daerah lain, dan bahkan suatu saat produk-produk lokal ini akan menjadi menu baru dalam daftar produk nasional.

Sangat disayangkan, pada butir-butir setiap pasal pada Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tidak ada kalimat tegas yang menyebutkan bahwa sumber-sumber barang produksi yang dijual toko-toko dan ritel modern harus menampung produk-produk lokal dalam kuantitas tertentu dimana ritel tersebut berdiri. Perpres tersebut hanya mengatur persoalan administrasi kemitraan guna mengikat antara pemasok dan toko modern dalam urusan sengketa jika kemudian hari muncul persoalan hukum. Namun demikian, masih ada harapan yang bisa digantungkan kepada pemerintahan daerah melalui penerbitan peraturan daerah yang berisi tuntutan untuk memasok produk lokal pada toko dan ritel-ritel modern berjejaring.

Artikel ini sudah dipublikasWaspada Medan, Selasa, 9 Mei 2017. Versi onlinenya dapat diakses di link Opini Waspada.

Baca juga :

May 082017
 

Geliat Ekonomi PENAS KTNAMemasuki awal bulan Mei 2017 ini suasana kota Banda Aceh terasa berbeda, laju kendaraan di seluruh ruas jalan tiba-tiba melambat bahkan macet di sebagian tempat karena terjadi penambahan jumlah kendaraan yang berlalu-lalang, konon lagi beberapa ruas jalan masih dalam proses pengerjaan untuk pelebaran dan pembenahan. Padatnya lalu lintas jalan tidak terlepas dari even tingkat nasional yang akan diselenggarakan di kota Banda Aceh, yaitu PENAS-KTNA XV yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 6 – 11 Mei 2017 dengan kegiatan dipusatkan di stadion Harapan Bangsa Lhong Raya.

Sepanjang sejarah even nasional yang menghadirkan peserta dalam jumlah puluhan ribu, Aceh baru memperoleh kesempatan dua kali sebagai tuan rumah, yaitu Mukatamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada tahun 1995 yang menghadirkan peserta dan penggembira mencapai 35ribu muktamirin dari seluruh Indonesia plus perwakilan negara-negara ASEAN yang ditempatkan di rumah-rumah penduduk masyarakat di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, bangunan sekolah serta kantor-kantor pemerintah. Jika dibandingkan dengan penduduk kota Banda Aceh pada waktu itu yang berjumlah 209 ribu jiwa, maka jumlah muktamirin yang hadir mencapai lebih kurang 16%. Hal yang sama persis kita alami kembali melalui even PENAS-KTNA XV yang diprediksi akan dihadiri 35ribu peserta dengan durasi waktu yang sama dengan muktamar Muhammadiyah 43, yaitu selama sepekan. Ini artinya jumlah ‘penduduk’ kota Banda Aceh lebih kurang dalam sepekan di awal bulan Mei ini akan bertambah 13% dari total warga kota Banda Aceh yang saat ini berjumlah 267 ribu jiwa.

Dalam perspektif ekonomi, gerakan-gerakan dalam dinamika kependudukan menjadi salah satu faktor yang turut dipertimbangkan sebagai pengungkit pergerakan ekonomi masyarakat yang menjadi tuan rumah even-even besar yang menghadirkan peserta dalam jumlah yang sangat besar. Logikanya sederhana, bahwa setiap orang akan membawa uang baru yang akan dibelanjakan di wilayah dimana even tersebut berlangsung, uang-uang ini tentu akan memiliki efek bilyard yang sangat membantu mendorong kegiatan ekonomi masyarakat di akar rumput, mulai dari pedagang asongan, warung kopi, warung nasi, labi-labi, becak, taxi, usaha rental, penginapan, catering, pedagang souvenir bahkan para pemulung sekalipun akan memperoleh manfaat dari semua sampah-sampah yang dihasilkan para peserta. Bergeraknya semua simpul-simpul kegiatan masayarakat bawah ini merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa even-even besar memiliki dampak yang sangat membantu meningkatkan gairah perekenomian masyarakat.

Produksi Tani

Sebagaimana tercantum dalam klausul Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 448/kpts/OT.050/7/2016 bahwa Pekan Nasional (PENAS) Petani Nelayan merupakan wahana para petani nelayan Indonesia untuk membangkitkan semangat, tanggung jawab dan melakukan konsolidasi organisasi dalam rangka meningkatkan peran serta dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Hal ini seiring dengan tema PENAS-KTNA XV untuk memantapkan kelembagaan tani nelayan sebagai mitra kerja pemerintah dalam rangka kemandirian, ketahanan pangan dan kelautan menuju kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia.

Dari 6 bidang yang menjadi agenda dalam perhelatan PENAS-KTNA XV kali ini, selain membincangkan mengenai penguatan kelembagaan tani dan nelayan yang melibatkan para pelaku usaha tani dan nelayan, juga melibatkan para pangambil kebijakan pada tingkat menteri. Hal ini tentu saja berita gembira karena apa-apa yang menjadi tuntutan kebutuhan dalam memajukan bidang pertanian dan nelayan akan didengar langsung oleh pemerintah yang berwenang mengambil keputusan dan dapat dieksekusi dalam rencana tindak lanjut.

Namun yang paling penting menjadi perhatian kita adalah, jangan sampai gagal fokus kegiatan ini menghabiskan energi untuk ritual dan seremonial belaka. PENAS-KTNA XV Aceh harus mampu mendorong pertumbuhan produksi bidang pertanian dan perikanan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagaimana kita ketahui, bahwa 70% penduduk Aceh tinggal di pedesaan, dan 70% merupakan penduduk yang berprofesi sebagai petani dari total 5juta penduduk Aceh. Demikian juga terdapat lebih kurang 65ribu atau 26% masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai nelayan. Itu sebabnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2012-2017 mencantumkan pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu program prioritas pemerintah Aceh, terutama untuk komoditi padi, jagung, dan kedelai. Namun, melihat potensi pertanian dan kelautan Aceh yang begitu besar, program prioritas bisa saja diperluas berdasarkan potensi lokal daerah dari seluruh kabupaten/kota se-Aceh. Alasan lain dijadikannya produk pertanian sebagai prioritas adalah karena menurut catatan dalam laporan pemerintah Aceh, kontribusinya terhadap PDRB mencapai 25 persen. Perhelatan PENAS tentu saja menjadi sangat relevan dengan prioritas RPJM Aceh.

Data BPS tahun 2016 menunjukkan betapa tingginya kontribusi bidang tani dan nelayan bagi struktur perekonomian Aceh, merujuk pada kategori lapangan usaha Triwulan I-2016 masih tetap didominasi oleh tiga lapangan usaha utama yaitu: Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (29,55 persen); Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-Sepeda Motor (15,76 persen); dan Konstruksi (9,86 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap bidang ini melalui penguatan usaha tani dan nelayan agar lebih produktif dan memenuhi standar kualitas sehingga memiliki daya saing di pasar global.

Kelaziman yang kita lihat selama ini, pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan belanja, selain mengejar tingkat serapan anggaran, belanja pemerintah masih diyakini sebagai salah satu faktor pendorong giat ekonomi daerah. Dalam setiap laporan economic outlook yang dirilis kita hanya bisa melihat angka-angka belanja pemerintah berlomba-lomba dengan belanja rumah tangga. Belanja pemerintah sejak tahun 2015 bahkan sudah mencapai “lampu merah” baik untuk belanja pegawai langsung dan tidak langsung. Ke depan, pemerintah harus mampu menggeser alokasi belanja yang diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan melalui upaya peningkatan belanja pemerintah yang digunakan untuk membiayai kegiatan program pembangunan seperti infrastruktur irigasi, ketersediaan benih dan pupuk, riset dan teknologi, pembiayaan, dan lain-lain. Ketepatan dalam alokasi anggaran belanja pemerintah diperlukan agar mampu mendongkrak output pertanian.

Schiff (2016) berpendapat bahwa belanja hanyalah salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur produksi, karena segala sesuatu yang diproduksi pada akhirnya akan dikonsumsi. Produksilah yang menambah nilai. PENAS-KTNA XV Aceh diharapkan bukan sekedar kegiatan seremonial yang memamerkan berbagai bentuk produk pertanian dan perikanan yang bisa saja dikreasi secara instan menjelang perhelatan even ini, namun benar-benar menjadi landasan dan semangat yang tinggi terhadap tindak lanjut giat tani dan nelayan di ranah lapangan yang selama ini selalu menjadi persoalan yang rumit diselesaikan dan sulit dieksekusi akibat diinflitrasi oleh kekuatan-kekuatan ‘politik ekonomi’.

Sebagai warga kota Banda Aceh, kita patut berbangga mendapat kehormatan menjadi tuan rumah even besar yang memiliki setidaknya tiga keuntungan, taktis jangka pendek dengan kehadiran para peserta yang akan berbelanja di pasar-pasar, keuntungan strategis jangka panjang melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan dari hasil PENAS-KTNA XV, dan promosi gratis Aceh bagi masyarakat Indonesia melalui kesan-kesan yang dibawa pulang oleh para peserta. Kepada Peserta PENAS-KTNA XV Aceh, Selamat datang di Aceh. Selamat menikmati keindahan dan keramahan masyarakat Aceh.

Artikel ini sudah dipublikasikan di halaman Opini Harian Serambi Indonesia, Senin, 6 Mei 2017. Versi online-nya dapat diakses di link Opini Serambi Indonesia.

Baca juga :