Apr 172017
 

P_20170417_153556Pelabelan kota madani sudah tak asing lagi di telinga warga Banda Aceh, begitu melekatnya istilah madani yang dibranding oleh Walikota Illiza Sa’aduddin selama memimpin Kota Banda Aceh, bahkan disangga lagi dengan program smart city dengan indikator-indikator kerja yang mengarahkan kota Banda Aceh sebagai kota yang nyaman, aman, kemudahan akses informasi serta upaya-upaya kemandirian dalam urusan perekonomian. 

Menurut Ryaas Rasyid (2000), civil sociaty atau masyarakat madanai adalah suatu gagasan masyarakat yang mandiri yang dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan serta lembaga-lembaga yang saling berhadapan dengan negara. Dengan demikian, kemandirian merujuk pada sikap hilangnya ketergantungan terhadap sesuatu. Dalam konteks pembangunan perekonomian daerah, kemandirian dapat diterjemahkan sebagai hilangnya ketergantungan ekonomi secara berlebihan terhadap daerah lain pada saat daerah sendiri memiliki potensi ekonomi yang memungkinkan untuk dikelola secara produktif dengan syarat adanya sumberdaya manusia yang kapabel dan amanah.

Konsep jaringan-jaringan produktif dalam masyarakat madani merupakan eksistensi perekonomian rakyat yang berproses bersama institusi ekonomi yang memiliki sistem yang mapan dalam membangun dan menumbuhkan giat ekonomi dalam lingkungan masyarakat dengan mengutamakan pemberdayaan sumber-sumber ekonomi masyarakat setempat, bukan menjadi institusi yang membentuk jaringan-jaringan oligopoli bahkan monopoli sumber-sumber ekonomi mulai dari hulu hingga ke hilir oleh satu entitas pemilik modal besar saja, karena ini akan berdampak pada runtuhnya sendi-sendi ekonomi masyarakat yang belum memiliki kemampuan dalam mengelola dan menjual produk-produk mereka berhadapan dengan jaringan-jaringan ekonomi yang mapan secara manajemen dan modal tersebut.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 dengan tegas mencantumkan pokok fikirian ini dengan menyatakan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.

Kemandirian Aceh
Aceh belum bisa dikatakan mandiri secara ekonomi, ketergantungan Aceh terhadap luar, bilkhusus Medan, masih cukup bahkan sangat tinggi karena Aceh belum mampu mengelola potensi ekonomi yang dimiliki untuk menjadi kekuatan swadaya ekonomi. Secara sederhana, kita dapat menyaksikan setiap hari di seluruh terminal-terminal bus Aceh di sepanjang Jl. Ringroad/ gagak Hitam Medan yang memuat barang-barang kebutuhan pokok untuk dibawa ke Aceh mulai dari bawang, kentang, tomat, wortel, terong, cabai, yang sebenarnya bisa tumbuh subur di Aceh. Ini baru dari bus-bus penumpang saja, belum lagi truck-truck kontainer petikemas yang masuk membawa barang kebutuhan pokok lainnya.

Aliran keluar masuk barang ini tentu saja menjadi gambaran umum bagaimana perilaku transaksi keuangan Aceh di dalam maupun di luar wilayah. Data bank Indonesia tahun 2015 dapat mengkonfirmasi situasi ini. Pada tahun 2014 uang yang masuk ke Aceh (inflow) mencapai Rp. 2,8 triliun dan 79% atau sebesar Rp. 2,1 triliun uang tersebut ditransaksikan di luar Aceh (outflow). Artinya, hanya 21% atau sebesar 588 milyar saja uang tersebut yang transaksinya dilakukan di Aceh. Pada tahun 2015, uang masuk ke Aceh menurun menjadi Rp. 824,1 milyar, dan yang ditransaksikan di Aceh sebesar 596,6 milyar atau 28%. Sedangkan sisanya 72% ditransaksikan di luar Aceh. Walau terlihat meningkat persentasenya, namun besaran uang yang ditransaksikan tentu jauh lebih kecil, hanya Rp. 227,2 miliar. Barangkali, ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan daya ungkit ekonomi Aceh tidak kuat sehingga Aceh belum pernah merasakan pertumbuhan ekonomi yang baik, dan bahkan saat ini memperoleh rangking ekonomi yang buruk di regional Sumatera dengan jumlah masyarakat miskin yang membludak.

Melihat kenyataan ini, perlu difikirkan upaya-upaya yang serius diantaranya adalah; memformulasikan model ekonomi di Aceh dengan konsep keberpihakan pada ekonomi masyarakat melalui qanun yang mengatur sistem perekonomian dimana pihak ketiga yang memiliki modal dan membuka usaha di Aceh harus bersinergi dalam bentuk menampung produk-produk lokal Aceh, baik itu bentuknya outlet berjejaring, supermarket, mall maupun supermall yang suatu saat nanti akan bermunculan di Aceh dan tidak dapat dihindari karena seiring perkembangan zaman kebutuhan manusia semakin tinggi dan beragam sehingga mengundang produsen untuk hadir memenuhi permintaan pasar.

Saat ini kita bisa menyaksikan sejumlah outlet berjejaring yang sudah mucul di kota bahkan hingga ke pelosok desa memasarkan produk-produk yang sangat lengkap dan beragam untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mereka bawa dari luar. Hal ini bukanlah sesuatu yang salah dari perspektif bisnis, tetapi konsep ekonomi yang diusung cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang bergelut dalam sektor yang sama guna memenuhi ekonomi keluarga tetapi tidak memiki modal cukup untuk mengembangkan usahanya dan dipaksa berkompetisi di pasar terbuka.

Selain itu, keengganan menampung produk-produk lokal akan mengakibatkan semakin cepatnya aliran uang keluar dari Aceh karena modal kerja usaha akan ditransfer ke produsen pemilik barang yang semuanya berasal dari luar. Artinya, keberadaan outlet jejaring sangat potensial menyedot banyak sekali uang masyarakat lokal yang dihimpun melalui outlet-outlet yang bertebaran di kota bahkan desa-desa untuk kemudian dibawa keluar. Sebaliknya, jika mereka menerima produk lokal sebagai daftar barang dalam outlet tentu saja uang konsumen yang dibelanjakan akan dikembalikan ke masyarakat lokal dan setidaknya ada upaya-upaya untuk menahan atau memperlambat arus keluarnya uang sehingga terdapat waktu yang cukup untuk proses perputaran uang di Aceh yang dapat membentuk pusaran ekonomi baru guna menggerakkan ekonomi daerah.

Perlu menjadi catatan, bahwa keberadaan outlet atau retail jejaring tidak harus menjadi penghambat, tetapi harus ada kerjasama yang saling menguntungkan dengan masyarakat. Sinergisitas masyarakat dengan outlet-outlet tersebut akan memudahkan produk-produk lokal sampai ke seluruh daerah dan saling melengkapi sehingga akan menjadi model pengembangan ekonomi berkemajuan di tengah masyarakat global yang semakin membutuhkan dan melengkapi satu sama lainnya. Ekonomi berkemajuan tercermin dari sifat-sifat kebaikan, keadilan, kesejahteraan serta kemakmuran bersama.

Kemandirian harus dilihat dari kemampuan suatu daerah mengembangkan perekonomiannya dengan semaksimal mungkin mempergunakan sumber daya sendiri, potensi-potensi yang dimiliki Aceh di setiap daerah memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi produk yang kompetitif dan mampu menjadi salah satu produsen yang mengisi persaingan pasar.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini Harian Rakyat Aceh. Linknya dapat diakses disini

Baca juga :

Apr 172017
 

ResikoBencanaSebagai wilayah beriklim tropis Indonesia mengalami dua musim, yaitu hujan dan panas. Beberapa waktu terakhir ini terasa semakin ekstrim. Artinya, gejolak iklim berubah-ubah secara ekstrim, hujan yang turun tiba-tiba sangat lebat melebihi intensitaas normal hingga luapan air tak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang ada, jika panas kemarau kering kerontang. Pada awal 2016 lalu tiga wilayah Aceh, yakni Aceh Utara, Lhokseumawe dan Bireuen diterjang banjir yang meluas. Lebih dari 1.000 warga terdampak banjir mengungsi. Menjelang akhir 2016 saat ini bencana serupa masih terjadi, khususnya di wilayah Barat Selatan Aceh, dan yang terparah adalah Aceh Jaya dan Nagan Raya.

Menarik dikaji hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Global Canopy Programme (GCP), 2015, berkaitan dengan besarnya kerugian akibat bencana banjir di Aceh. Menurut catatan GCP terdapat 1209 peristiwa banjir unik di Aceh sejak tahun 2010-2015. Peristiwa-peristiwa ini ditemukan meningkat dari tahun ke tahun, terutama di sepanjang pantai barat Aceh dengan nilai kerusakan mencapai 1,7 triliun yang terdiri dari kerusakan lahan pertanian, kerusakan properti pribadi, kerusakan infrastruktur, serta yang belum dapat dinotasikan ke angka atas kematian dan pengungsian akibat bencana banjir tersebut. Angka tersebut hampir setara dengan PAD Aceh tahun 2015 sebesar 1,9 triliun, dan bahkan masih surplus jika digunakan untuk belanja pegawai tahun 2015 sebesar 1,4 triliun.

Lebih dahsyat jika merujuk pada data yang dirilis Walhi Aceh hanya satu tahun pada 2015 saja untuk kerugian akibat bencana ekologi mencapai 1,39 triliun yang terdiri dari bencana longsor sebesar Rp 426 miliar, pencemaran lingkungan Rp 35 miliar, akibat abrasi Rp 203 miliar, angin puting beliung Rp 85 miliar, perambahan hutan dan perkebunan Rp229 miliar, kekeringan lahan Rp78 miliar, konflik atau kehilangan satwa (hewan) mencapai Rp289 miliar.

Barangkali banyak data-data kuantitatif lainnya yang dapat digunakan sebagai rujukan guna memperoleh informasi yang dapat dianalisis dan sangat berguna bagi pemerintah dalam kaitannya dengan manajemen dan pengambilan keputusan sehingga ada program pembangunan yang berkelanjutan untuk Aceh yang lebih maju. Jika data dan informasi ini hanya menjadi angka-angka untuk sekedar kewajiban membuat laporan tanpa dijadikan landasan untuk menyusun rencana selanjutnya, maka dapat dipastikan pembangunan di Aceh selalu berhenti di tengah dan dikonsep ulang setiap periode pergantian pimpinan, dan situasi ini dapat kita saksikan di setiap periode kepemimpinan Aceh sepanjang waktu.

Komitmen Aceh

Sebagai provinsi yang rawan bencana, Aceh harus memiliki komitmen yang kuat terhadap pembangunan berbasis pada pengurangan risiko bencana. Secara umum upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan alokasi dana untuk mitigasi bencana secara harfiyah sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 24 Tahun 2007, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Lazim kita saksikan bahwa setiap terjadi peristiwa bencana, pemerintah dan hampir seluruh elemen masyarakat melakukan tindakan tanggap darurat hingga upaya rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap masyarakat dan lokasi bencana. Memberikan bantuan makanan, peralatan kebersihan, perlengkapan sekolah bagi pelajar, nutrisi, hingga pembangunan kembali perumahan yang mengalami kerusakan.

Tindakan tersebut sesuai dengan tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah berkaitan dengan fungsinya untuk menjamin pemenuhan hak korban bencana, perlindungan dari dampak, pengurangan risiko yang diselaraskan dengan program pembangunan, dan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pro mitigasi bencana (Pasal 8 UU Nomor 24 Tahun 2007). Namun demikian, pengurangan risiko yang diselaraskan dengan program pembangunan belum dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini dapat dilihat melalui besarnya jumlah kerugian yang dialami setiap terjadi bencana. Yang umumnya dilakukan adalah pemenuhan hak korban bencana dan perlindungan dari dampak, dimana kedua hal ini merupakan tindakan pasca bencana, bukan merupakan tindakan preventif.

Tulisan singkat ini mencoba untuk tidak memfokuskan argumentasi pada upaya-upaya mitigasi bencana secara konvensional dengan hanya melihat upaya mitigasi bencana melalui alokasi anggaran pembangunan dan pengadaan peralatan atau anggaran untuk aktifitas pencegahan bencana dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat untuk tidak melakukan illegal loging atau sejenisnya, tetapi lebih pada upaya pemerintah sendiri menjadikan dana pembangunan benar-benar mampu berperan ekonomis, efisien dan efektif sehingga pembangunan benar-benar memiliki makna substantif ekonomis dengan memasukkan konsep mitigasi bencana dalam setiap proyek.

Pembangunan fisik mesti dilihat dari perspektif yang lebih longgar, penyadaran bukan hanya bagi masyarakat tetapi juga harus dilekatkan pada aktifitas pembangunan fisik agar peningkatan kemampuan menghadapi bencana sebagaimana bunyi pasal tersebut benar-benar bermakna. Artinya, proyek pembangunan fisik harus melihat dan membandingkan sisi ekonominya. Setiap proyek-proyek yang dijalankan dapat dikalkulasi benefitnya dan seberapa besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, proyek-proyek yang diadakan juga harus dianalisis seberapa kemampuan proyek tersebut dapat mengantisipasi dampak dari suatu bencana yang terjadi ke depan. Jika ternyata kerugian yang timbul karena ketidakmampuan proyek pembangunan tesebut mengurangi dampak bencana sangat besar, maka proyek-proyek seperti ini tentu tidak memiliki kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi karena keberadaannya tidak mampu mengurangi kerugian akibat bencana.

Ketidakmampuan menganalisis sisi manfaat dari proyek-proyek ini akan mengakibatkan kerugian yang berlipat bagi pemerintah karena telah mengeluarkan dana sangat besar untuk suatu proyek pembangunan yang kurang berperan terhadap pengurangan dari kerugian atas risiko bencana, atau dapat dikatakan bahwa pengadaan proyek-proyek tersebut tidak lebih dari sekedar berbagi kue balas jasa kepada pengembang-pengembang yang berpartisipasi saat bertarung untuk memenangkan pilkada, karena itu kepedulian untuk menyatukan konsep mitigasi bencana dalam proyek pembangunan infrastruktur menjadi terabaikan, akibatnya, bencana alam yang dapat diketahui kehadirannya, tetapi sulit untuk diprediksi waktu terjadinya akan menjadi bom waktu yang kita pelihara sepanjang waktu.

Pertimbangan risiko bencana dalam setiap pembangunan merupakan bagian dari proses analisis ekonomi yang sangat penting untuk memastikan bahwa manfaat pembangunan di daerah-daerah rawan bencana bersifat berkelanjutan. Pemerintah dengan alokasi dana pembangunan yang begitu besar akan merasakan investasi tidak langsung yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah.

CIRCLE Indonesia menengarai bahwa selama ini baru sedikit upaya untuk memasukkan isu-isu risiko bencana ke dalam analisis ekonomi proyek-proyek pembangunan atau menggunakan perangkat analisis ekonomi untuk mencermati cara-cara yang mungkin dilakukan guna menguatkan ketangguhan dalam menghadapi bahaya, bahkan di daerah-daerah berisiko tinggi sekalipun. Setidaknya ada dua langkah penting yang diperlukan sebagai bagian dari proses penilaian ekonomi untuk memastikan bahwa risiko bencana dikaji dan dikelola secara memadai ; (1) Risiko bencana harus dianggap sebagai bagian proses analisis ekonomi dalam perancangan semua proyek dalam wilayah yang rawan bahaya. (2) Penilaian ekonomis terkait yang memasukkan analisis tentang risiko bencana harus diterapkan pada tahap awal siklus proyek. Dengan demikian temuan-temuannya dapat diperhitungkan dalam perancangan proyek-proyek pengurangan risiko bencana serta dalam proyek-proyek pembangunan lain di wilayah-wilayah rawan bahaya untuk membantu memperkuat ketangguhan dalam menghadapi bahaya alam.

Keberhasilan memasukkan konsep mitigasi bencana ke dalam setiap proyek-proyek pembangunan akan sangat membantu pemerintah melakukan efektifitas dan efisiensi. Setidaknya angka kerugian akibat bencana yang mencapai triliunan tersebut dapat dihindari, dan cost yang dikeluarkan untuk proyek pembangunan menjadi bermakna secara ekonomi.