Jun 292016
 

takjildaniftharSetiap bulan ramadhan ummat Islam di seluruh Indonesia sangat akrab dengan istilah-istilah yang sudah mapan berkaitan dengan aktifitas bulan puasa, tak terkecuali di Aceh. Menjelang memasuki ramadhan nyaris di seluruh daerah melakukan ‘ritual’ mandi-mandi di sungai atau laut sambil meruamin yang sebenarnya bukan bagian ibadah dalam menyambut ramadhan. Pada saat ramadhan berlangsung, masyarakat melakukan tilawah (membaca) Al-qur’an atau tadarrus (belajar/ mengkaji) Al-Qur’an usai tarawih hingga menjelang shubuh. Ramadhan terasa begitu istimewa karena semua ummat Islam berfikiran sama, beribadah sebanyak-banyaknya di bulan yang penuh berkah dan maghfirah.

Kegiatan yang tidak kalah serunya adalah kegaitan buka puasa bersama di lingkungan masyarakat dari segala lapisan, dari mulai lingkungan keluarga dan sanak famili, kerabat dan sejawat, kelompok-kelompok profesi, lembaga-lembaga sosial, komunitas, bahkan hingga kelompok-kelompok pejabat bahkan satuan kerja eksekutif dan legislatif pun mengadakan kegiatan buka puasa bersama. Hampir setiap hari media memberitakan aktifitas buka puasa bersama yang dilakukan oleh lintas kelompok tersebut yang umumnya mereka lakukan dalam rangkaian menyantuni fakir miskin dan anak yatim di berbagai tempat.

Yang menarik adalah penggunaan istilah-istilah dalam kegiatan buka puasa tersebut; sebagian besar pasti sudah sangat akrab dengan istilah takjil dan ifthar. Keduanya kadang sering diartikan sama, hal ini dapat kita lihat dari spanduk-spanduk, tempat-tempat penjualan makanan berbuka dan bahkan penggunaan kata tersebut di berita media. Misalnya, kalimat yang digunakan oleh penjual makanan, “Menyediakan menu takjil”, di spanduk-sapnduk dan baliho kegiatan buka bersama, tertulis “Berbagi takjil bersama fakir miskin”, ‘takjil gratis” dan banyak lagi penggunaan kata-kata takjil yang diidentikkan dengan makanan untuk berbuka puasa. Pun huruf yang digunakan dalam kata Takjil bukan huruf Kaf (Ka), tetapi ‘ain, sehingga mestinya ditulis Ta’jil.

Arti Ta’jil dan Ifthar

Apa sebenarnya arti dari ta’jil? Jika merujuk pada kamus bahasa Arab, ta’jil berasal dari kata ‘ajjala-yu’ajjilu, yang artinya menyegerakan. Ta’jiilun atau kalau diwaqafkan dibaca ta’jiil yang secara awam merupakan bentuk kata ketiga dari kata kerja ‘ajjala-yu’ajjilu yang berarti penyegeraan. Sehingga Ibnu Hajar Rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari menyediakan satu bab khusus dengan judul “Bab Ta’jil Al Fithr” yang artinya “Bab Menyegerakan Berbuka Puasa.”

Dengan demikian dapat kita tengarai bahwa ta’jil bukanlah merujuk pada benda atau makanan buka puasa sebagaimana yang selama ini kita fahami. Kata ta’jil juga sudah termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diartikan dengan mempercepat (dl berbuka puasa). Kata ‘ajjala ini juga terdapat dalam hadis riwayat Al-Bukhari no. 1757 dan Muslim no. 1098 dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Laa yazaalu an-naasu bikhairin maa ‘ajjaluu al-fithra”, yang artinya “Terus-menerus manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa.”

Selain ta’jil, dalam masyarakat kita juga sering menggunakan kata ifthar untuk menyatakan kegiatan buka puasa bersama. Sebagaimana halnya ta’jil, ifthar juga sering dimaknai dengan makanan berbuka, namun tidak sepopuler penggunaan kata ta’jil. Dalam KBBI juga telah didefinisikan bahwa iftar berarti ‘hal berbuka puasa’. Dalam Al-Munjid hal 619, afthara diartikan sama dengan akala au syariba, makan atau minum, atau berbuka (Al-Munawwir hal: 1.063). Dalam kutipan hadis di atas, ‘ajjala diikuti dengan kata fithra, ‘ajjalul fithra”, kata fithra dalam hadist tersebut sama dengan ifthar yang artinya mereka menyegerakan berbuka puasa. Demikian juga kebiasaan kita sehari-hari saat berbuka puasa selalu membaca doa berbuka “….. Wa’alaa rizqika afthartu”. Yang artinya “… dan dari rizkiMU (Allah) aku berbuka puasa”. Penggunaan kata afthartu disini sudah menjadi kata kerja, yaitu melakukan buka puasa.

Uraian singkat di atas jika kita kembalikan kepada kebiasaan kita sehari-hari tentu memiliki makna yang berbeda dari asal katanya. Terlepas dari kebiasaan yang sudah melekat, kita tidak tahu dari mana asal-muasal sehingga kata ta’jil ataupun ifthar dalam masyarakat kita dimaknai dengan boh rom-rom, kolak seurabi, bakwan, sirup dingin, bubur ayam dan makanan lain untuk berbuka puasa. Barangkali yang lebih sesuai kita menggunakan kalimat; berbagi menu ifthar bersama mustadh’afin.

Membiasakan yang benar

Penggunaan istilah ta’jil atau ifthar yang identik dengan makanan bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, namun apa salahnya kita mencoba untuk membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa, sebab membiasakan yang benar secara psikologis akan mempengaruhi sikap kita untuk tetap berupaya melihat dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Demikian sebaliknya, sikap membenarkan yang biasa, berarti kita tidak mencoba untuk bersikap kritis karena kebiasaan-kebiasaan yang kita benarkan belum tentu memiliki landasan dan makna yang tepat seperti yang dimaksudkan.

Ta’jil bukanlah sejenis makanan kolak dan boh rom-rom, atau ie teube dan timon bruek tetapi kata untuk menganjurkan agar mempercepat berbuka puasa saat waktunya tiba, jangan menunda-nunda. Semoga Ramadhan kali ini kita semua dikaruniai oleh Allah maghfirah serta jangan lupa bersedekah agar harta kita menjadi berkah

Jun 202016
 

Ekonomi KeurakyattanPenduduk miskin di Aceh berdasarkan data BPS Aceh pada September 2015 berjumlah 859 ribu orang, atau 17,11%. Dibandingkan dengan data bulan Maret 2015, jumlah ini meningkat 8ribu orang yang sebelumnya berjumlah 851 ribu orang (17,08%). Angka kemiskinan Aceh ini jauh melebihi angka kemiskinan rata-rata nasional yang berada pada 11,13%.

Jika melihat besarnya APBA Aceh yang mencapai 12 trilyun, jumlah penduduk miskin mestinya dapat ditekan secara signifikan. Bandingkan dengan provinsi lain yang memiliki jumlah penduduk yang sama dengan Aceh seperti Sumatera Barat. Penduduk Aceh berjumlah 5,2 juta jiwa dengan APBA sebesar 12,7 trilyun, sedangkan Sumatera Barat yang penduduknya berjumlah 5,3 juta jiwa hanya memiliki APBD sebesar 4,5 trilyun. Belum lagi jika membandingkannya dengan provinsi tetangga terdekat Sumatera Utara yang jumlah penduduknya 13,9 juta dengan APBD hanya sebesar 8,6 trilyun dan pertumbuhan ekonominya 5,3%. Kita abaikan Sumatera Utara karena tingkat putaran ekonominya sangat tinggi dibandingkan Aceh.

Dengan APBD 4,5 trilyun, ekonomi Sumatera Barat mampu tumbuh 5,41% dan jumlah penduduk miskin hanya 379 ribu jiwa atau 7%. Bandingkan dengan Aceh yang APBA nya tiga kali lipat Sumatera Barat hanya mampu tumbuh 4,2% dan dengan jumlah penduduk miskin yang sangat besar.

Potensi Zakat

Disamping mengandalkan kucuran dana APBA, Aceh masih memiliki potensi sumber dana lain yang cukup besar, yaitu dana Zakat. Tim dari UIN Ar-Raniry yang bekerjasama dengan Baitul Mal Aceh telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui besaran potensi zakat di Aceh. Hasil penelitian tahun 2014 yang disampaikan oleh Bapak DR. Nazaruddin AW (Serambi, 12/6) menyebutkan bahwa potensi zakat di Aceh mencapai 1,3 trilyun, dan pada tahun 2015 potensi tersebut bahkan diduga mencapai 1,4 trilyun, angka yang cukup besar.

Jika merujuk pada Keputusan Menteri Agama (KMA) 333 tahun 2015, tentang pedoman pemberian izin lembaga amil zakat, yang mensyaratkan bahwa lembaga zakat nasional (yang didirikan oleh masyarakat) hanya akan diberi izin operasional jika mampu menghimpun dana paling sedikit Rp. 50 milyar per tahun, untuk tingkat provinsi 20 milyar, dan 3 milyar untuk skala kabupaten/ kota, maka potensi zakat di Aceh akan mampu membentuk 26 lembaga zakat berskala nasional, atau 65 lembaga zakat berskala provinsi, atau paling sedikit 433 lembaga zakat berskala kabupaten/kota.

Potensi zakat sebesar 1,4 trilyun tersebut jika terealisasi akan sama jumlahnya dengan realisasi penghimpunan zakat secara nasional pada tahun 2015. Jika dirata-rata setiap kabupaten kota berpotensi meraup sekitar Rp. 60 milyar dana zakat, atau setara dengan setengah dari jumlah APBD Kabupaten/kota di Aceh.

Berdasarkan keterangan dari ketua Baitul Mal Aceh, DR. H. Armiadi Musa, MA, realisasi penghimpunan dana zakat di Aceh baru mencapai angka 192 milyar atau 14,7%, atau rata-rata 8 milyar per kabupaten/kota. Angka ini memang masih jauh dari harapan jika dibandingkan dengan besarnya potensi zakat yang diperkirakan. Walau demikian, jumlah dana yang terhimpun tersebut sejatinya mampu menjadi penopang perekonomian masyarakat di Aceh selain kucuran dana dari uang APBA/D jika dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif dan tepat sasaran.

Dari dua sumber dana yang disebutkan di atas, rasanya kita tidak percaya melihat kondisi masyarakat Aceh selama ini yang terlihat sangat kesulitan secara ekonomi. Barangkali kampanye pasangan calon gubernur beberapa waktu lalu yang menjanjikan setiap warga Aceh mendapat uang Rp. 1juta/kk adalah benar jika 50% saja dana APBA tersebut dibagi habis dengan jumlah penduduk Aceh, sehingga setiap jiwa baik kaya atau miskin di Aceh dari orang tua hingga bayi sekalipun dapat memperoleh 1,2juta/kk. Demikian juga potensi dana zakat 1,4 trilyun, jika dibagi dengan jumlah penduduk miskin, maka akan diperoleh sejumlah Rp. 1,6juta/jiwa. Pertanyaannya, kemana dana-dana tersebut berputar sehingga tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan tak mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran?

Vacum Cleaner Effect

Di kalangan masyarakat umum sering terdengar obrolan warung kopi tentang mengalirnya dana-dana tersebut hanya di kalangan terbatas saja, bagaimana teknisnya, wallahua’lam. Tapi obrolan tak penting ini ternyata dapat dikonfrimasi di lapangan dengan melihat banyaknya masyarakat miskin, tingginya pengangguran serta sulitnya warga kelas bawah memperoleh dana untuk usaha mereka. Selain itu, didukung pula oleh data-data yang dirilis oleh BPS yang melaporkan besaran terkait angka-angkanya.

Untuk diketahui, di berbagai daerah marak sekali tengkulak-tengkulak beroperasi mencekik para petani dan pedagang kecil. Bahkan di Banda Aceh, kota Madani yang menjadi icon Aceh tidak luput dari praktik-praktik para rentenir yang mereka beri label “BNI 47” ini. Penggunaan istilah BNI 47 barangkali karena para rentenir ini mampu memotong jalur birokrasi perbankan yang selama ini sulit mereka akses. Dan bank yang kebetulan berada di pusat Pasar Aceh dimana tempat para pedagang melakukan aktifitas ekonomi adalah bank BNI 46. Fenomena pelabelan nama ini tentu sesuatu yang menarik untuk difikirkan.

Penulis melalui mediasi LAZISMU (lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Muhamamdiyah) Aceh sudah bertemu langsung dengan pedagang kecil yang tak berkutik menghadapi keadaan dan terpaksa merelakan diri dan menghamba kepada rentenir dengan sistem bunga yang berat dan sulit melepaskan diri. Jangankan untuk mengembangkan usaha dari putaran uang tengkulak, untuk menutup hutang saja mereka kesulitan, dan tidak sedikit yang menjual barang-barang rumah tangga mereka untuk memenuhi janji tutup lobang dengan rentenir.

Fenomena yang ditengarai oleh obrolan warung kopi ini persis seperti fenomena ‘vacuum cleaner effect’ (VCE). yaitu fenomena terserapnya aset kekayaan dan pendapatan ke tangan sebagian kecil kelompok masyarakat, sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin besar. Biasanya ditandai dengan semakin meningkatnya nilai keofisien Gini, yang menjadi alat ukur kesenjangan antar kelompok masyarakat.

VCE ini dapat disebabkan oleh ketidakadilan sistem ekonomi dan tidak berjalannya mekanisme distribusi, terutama dari kelompok kaya pada kelompok miskin. Karena itu, keberadaan APBA sejatinya dapat berfungsi sebagai sumber dana yang dapat dikucurkan tepat sasaran sehingga dampaknya dapat menggerakkan roda ekonomi masyarakat dari bawah. Demikian juga dana zakat sebagai instrumen untuk mengalirkan kekayaan dari orang-orang yang berlebihan kepada orang-orang yang kekurangan sehingga terjadi keseimbangan dalam distribusi aset. Keseimbangan ini dapat menjaga stabilitas dan harmoni di tengah-tengah masyarakat serta jauh dari penyakit-penyakit sosial akut.

Tidak lama lagi, menjelang 2017 ini kita akan disuguhkan kembali pada perhelatan lima tahunan dalam pesta demokrasi. Seperti biasanya, kampanye-kampanye pasangan calon akan bertabur dengan konsep-konsep ekonomi untuk rakyat kecil, peningkatan kesejahteraan rakyat kecil, hingga janji-janji yang sulit dijangkau oleh akal orang-orang awam, bahkan kalkulasi akademis sekalipun.

Ekonomi kerakyatan memang cita-cita para pejuang bangsa ini sejak dulu, dan tetap dijadikan slogan dalam orasi-orasi politik di panggung-panggung kampanye. Niatnya adalah untuk memperlihatkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat jika kelak terpilih. Tapi dalam praktiknya slogan ini dalam konteks ke-Acehan menjelma menjadi Ekonomi Kerakyat-tan []

Artikel ini telah diterbitkan di kolom Opini Harian Serambi Indonesia tanggal 20 Juni 2016. Untuk melihat sumbernya silahkan klik disini

Baca juga: